Kendaraan Listrik: Alternatif Solusi Polusi Udara dan Beban Fiskal Negara
Cintya Faliana • Penulis
22 Desember 2025
3
• 5 Menit membaca

Emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor transportasi berkontribusi hingga 20-24% secara global pada 2024. Secara rinci, International Energy Agency (IEA) mengungkapkan tiga perempat dari total emisi disumbang perjalanan darat.
Kendaraan dengan penumpang seperti mobil dan bus berkontribusi 45,1% emisi. Sementara truk pengangkut barang menyumbang 29,4% lainnya. Secara akumulatif, transportasi darat bertanggung jawab atas 15% dari total emisi CO₂.
Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi lebih besar lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan jumlah kendaraan bermotor yang signifikan. Pada 2024, tercatat jumlah kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil berpenumpang, bus berpenumpang, dan mobil barak) telah menembus angka lebih dari 166 juta unit.
Angka ini meningkat lebih dari 19% dari tahun 2019 dengan jumlah kendaraan 133 juta unit. Menurut Kementerian ESDM, emisi yang dikeluarkan dari mobil yang mengaspal menghasilkan lebih dari 35 juta ton CO₂. Sementara untuk truk mengeluarkan lebih dari 50 juta ton CO₂. Selain itu, secara keseluruhan, transportasi darat menyumbang 40% konsumsi energi sektor transportasi.
Untuk mengatasi persoalan ini, kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang memiliki emisi lebih rendah bisa menjadi salah satu alternatif untuk meredam emisi GRK global.
Dampak buruk transportasi berbahan bakar energi fosil
Dampak dari emisi transportasi darat dirasakan langsung lewat memburuknya kualitas udara. Sebab, saat ini transportasi darat masih menggunakan bahan bakar energi fosil yang mengeluarkan polutan particulate matter berukuran 2,5 (PM 2,5).
Polutan PM 2,5 memiliki kaitan erat dengan penurunan kualitas kesehatan dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan pernapasan, hingga kematian. Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahun terdapat tujuh juta kematian akibat polusi udara. Data terakhir State of Global Air (SoGA) 2024 menunjukkan ada 129,3 ribu orang di Indonesia yang meninggal akibat polutan PM 2,5 pada 2021. Kerugian ekonomi yang ditanggung pun sangat besar. Angka ini akan terus meningkat seiring waktu dengan bertambahnya jumlah kendaraan yang beredar.
Laporan Clean Air Asia (CAA, 2025) mengungkapkan, jika tidak ada intervensi kebijakan yang signifikan di sektor transportasi, kematian dini akibat paparan PM 2,5 diperkirakan mencapai 1,8 juta jiwa per tahun pada 2060 mendatang.
Beban emisi yang dihasilkan juga akan meningkat hingga lebih dari 160 ribu juta ton pada 2060, hanya dari sektor transportasi saja. Sedangkan, konsentrasi PM 2,5 dari sektor transportasi diproyeksikan mencapai 85 µg/m³, jauh melampaui ambang batas WHO.
Sebagai referensi, standar WHO hanya 0-15 µg/m³ untuk rata-rata harian dan maksimal 5 µg/m³ untuk rata-rata tahunan.
Sementara itu, jika pemerintah melakukan intervensi kebijakan di sektor transportasi dan mengalihkan kendaraan beremisi tinggi kepada EV, polusi udara dapat ditekan hingga setengahnya. Artinya, jika pada 2060 Indonesia mencapai 95-100% elektrifikasi di sektor transportasi, maka emisi yang dikeluarkan ‘hanya’ mencapai 80 juta ton saja.
Sumber: Laporan Clear Air Asia (2025)
CAA menghitung empat skenario kematian dini berdasarkan kemampuan pemerintah mengintervensi kebijakan transportasi. Skenario pertama yang paling pesimistis mengacu pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060. Skenario ini menghitung hanya 23% kendaraan yang menggunakan EV.
Skenario kedua (moderat) memasang target 95% transisi penggunaan EV pada 2060. Kemudian, skenario ketiga yang paling ambisius memproyeksi 100% elektrifikasi kendaraan bermotor. Dengan perhitungan tersebut, jika elektrifikasi transportasi darat dilakukan dengan persentase 95-100%, pemerintah dapat menghindari 36% kematian dini akibat polusi udara, atau sekitar 650-700 ribu nyawa.
Sementara, jika pemerintah hanya berhasil menggunakan skenario pesimis, nyawa yang berhasil ‘diselamatkan’ hanya 8% dari 1,8 juta jiwa atau sekitar 120 ribu nyawa.
Sumber: Laporan Clear Air Asia (2025)
Kendaraan listrik ringankan beban fiskal
Secara ekonomi dan fiskal, penggunaan mobil konvensional (ICE) terbukti lebih merugikan negara dibandingkan kendaraan listrik. Riset INDEF menunjukkan bahwa struktur fiskal kendaraan berbasis energi fosil bersifat tidak efisien. Penyebabnya sebagian besar penerimaan pajak yang dipungut justru kembali habis untuk menutup subsidi energi.
Setidaknya 60% penerimaan pajak tahunan kendaraan konvensional terserap untuk subsidi BBM. Rata-rata mobil konvensional menyumbang penerimaan pajak Rp136 juta per kendaraan dari pajak pembelian dan pajak tahunan.
Namun, pada 2024 saja, subsidi pertalite dan solar mencapai Rp145 triliun. Secara rinci, subsidi pertalite menelan Rp56,1 triliun untuk lebih dari 157 juta kendaraan, sedangkan solar memakan Rp89,7 triliun hanya untuk 4 juta kendaraan.
Artinya, kontribusinya terhadap pendapatan bersih negara menjadi sangat terbatas. Kondisi ini mencerminkan distorsi kebijakan fiskal, ketika negara mensubsidi konsumsi energi fosil sekaligus menanggung eksternalitas emisi yang ditimbulkannya.
Sebaliknya, EV memiliki potensi penerimaan pajak yang lebih besar dengan Rp156 juta per kendaraan, dari pajak pembelian hingga pajak tahunan. Beban kompensasi energi EV jauh lebih kecil dibandingkan BBM. Kompensasi listrik hanya sekitar 7% dari potensi penerimaan fiskal EV, menunjukkan struktur biaya publik yang jauh lebih ringan.
Dengan demikian, peralihan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik tidak hanya relevan dari sisi lingkungan, tetapi juga membuka ruang penghematan belanja negara dan memperkuat ketahanan fiskal ke depan.
Meskipun saat ini kesenjangan daya beli menjadi penghambat utama adopsi mobil listrik. Sekitar 50% masyarakat hanya mampu membeli mobil dengan harga hingga Rp150 juta, yang didominasi LCGC dan mobil bekas. Sedangkan harga mobil listrik saat ini masih jauh di atas kemampuan beli sebagian besar konsumen di Indonesia.
Sumber listrik lebih baik
Seiring dengan upaya elektrifikasi sektor transportasi, pemerintah juga perlu memperhatikan sumber listrik yang akan menjadi sumber energi EV. Untuk mendorong penurunan emisi yang signifikan, sektor transportasi dan sektor ketenagalistrikan harus berjalan beriringan menuju transisi yang lebih baik. Jika bersumber pada energi terbarukan, jumlah emisi dari EV tentu akan lebih rendah lagi.
Lebih jauh, pemerintah perlu menciptakan tata kota yang tidak bergantung pada kendaraan bermotor milik pribadi. Dengan meningkatkan penggunaan transportasi umum berbasis listrik, jumlah emisi tentu akan semakin kecil. Perjalanan menuju net zero emission 2060 bukan hanya sekadar cita-cita, namun target yang bisa diraih.




