Sebelum Terlambat, Indonesia Perlu Banting Setir Arah Hilirisasi Nikel

Sita Mellia Penulis

19 Desember 2025

total-read

3

5 Menit membaca

Sebelum Terlambat, Indonesia Perlu Banting Setir Arah Hilirisasi Nikel

Indonesia benar-benar perlu berpikir ulang untuk mencapai ambisinya menjadi salah satu poros industri kendaraan listrik dunia. Ambisi ini, yang turut ditopang oleh segudang insentif serta dukungan investasi dari lembaga keuangan pelat merah sejak beberapa tahun belakangan, justru menjadi bibit risiko yang membahayakan iklim investasi nasional.

 

Upaya mendorong ini tak lepas dari narasi bahwa Indonesia sebagai pemilik cadangan sekaligus produsen nikel terbesar di tingkat global. Nikel sebagai salah satu komponen baterai kendaraan listrik dianggap menjadi bekal Indonesia untuk terlibat lebih banyak dalam rantai pasok dunia.

 

Nyatanya, analisis Energy Shift Institute justru menyebutan, nikel Indonesia hanya akan terserap kurang dari 1% dalam baterai kendaraan listrik sepuluh tahun mendatang. Peran nikel dalam kendaraan berbasis setrum juga tak sepenting anggapan para elite Indonesia: hanya 2% dari total ongkos produksi.

 

Selain karena oversupply nikel global, kendaraan listrik di dunia mengalami perubahan tren kebutuhan baterai dari nikel mangan kobalt (NMC) menjadi besi seperti LFP (lithium iron phosphate). Merek kendaraan listrik paling laris di Indonesia, BYD, bahkan sudah mengandalkan LFP dibanding nikel.

 

Berdasarkan skenario yang dibuat oleh Energy Shift Institute (2025), jika asumsinya Indonesia memproduksi 500 ribu kendaraan listrik pada 2035, maka yang terserap di tahun yang sama hanya sebanyak 9.600 ton atau 0,4% dari total produksi nikel. ESI pun secara gamblang menyebut bahwa klaim pemerintah atas nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik menjadi ‘oversimplifikasi’.

 

Di lain pihak, sektor metalurgi justru dapat menyerap nikel lebih banyak. Mayoritas (70%) nikel Indonesia dipasok untuk bahan baku pembuatan baja tahan karat. Tren ini seharusnya lebih mendorong Indonesia untuk mendukung hilirisasi nikel yang sedang berjalan ke pengembangan industri metalurgi, khususnya baja tahan karat. 

 

Mengapa baja tahan karat?

ESI memaparkan bahwa Indonesia merupakan produsen baja tahan karat terbesar kedua di dunia, dengan produksi sebesar 5 juta ton pada 2024. Mayoritas (4,7 juta ton) dijual ke luar negeri dengan nilai ekspor US$8,2 miliar. Namun, ekspor ini juga dibarengi impor produk jadi yang terbuat dari baja tahan karat seperti sekrup, peralatan dapur, hingga mesin pengolahan. Nilai impornya cukup besar, pada tahun yang sama sebesar US$4,2 miliar.  

 

Dua data ini menjadi cerminan bagaimana lemahnya industri manufaktur domestik untuk bisa memasok barang jadi yang dibutuhkan di dalam negeri.  Dukungan pemerintah terhadap industri manufaktur untuk logam jenis ini juga tak semasif insentif hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik. Dukungan tersebut mencakup insentif sejak nikel ditambang, hingga subsidi yang memprioritaskan kendaraan listrik dengan baterai NMC.

 

Hal ini menjadi paradoks mengingat nikel Indonesia lebih banyak digunakan untuk  baja tahan karat, tapi dukungannya masih minim.

 

Bagaimana seharusnya?

Indonesia sepatutnya melengkapi hilirisasi nikel dengan kebijakan pembangunan industri manufaktur yang sesuai dengan ‘kekuatan’ domestik sebenarnya, yakni baja tahan karat. Penyelarasan ini dapat dimulai dengan mengarahkan dukungan untuk investasi pabrik-pabrik pengguna baja tahan karat. 

 

Adapun tujuan utama pabrik ini adalah produksi barang-barang akhir yang bisa digunakan untuk mengurangi impor barang jadi berbasis baja tahan karat. Tengok saja barang-barang konsumen seperti shower untuk mandi, peralatan memasak, dan lain-lain yang pertumbuhan konsumsinya dapat sejalan dengan perkembangan ekonomi. 

 

Potensi ini, berdasarkan analisis ESI, sudah ada dan bisa dikembangkan. Sebab, sektor produsen barang berbasis baja tahan karat ini berkembang hingga masuk sepuluh besar di Indonesia, khususnya yang berskala kecil dan menengah. Mendorong pabrik-pabrik ini untuk naik kelas, ataupun merangsang pertumbuhan pabrik-pabrik baru, juga berpotensi menyerap lebih banyak tenaga kerja.

 

Selain industri yang sudah ada, Indonesia juga bisa menjajaki peluang baru untuk streamlining produksi baja tahan karat  untuk bahan pabrik infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Baja tahan karat merupakan salah satu komponen penting dalam lapisan panel surya. Bahan baku ini juga digunakan dalam komponen pendukung seperti pengikat panel (fastener).

 

Peluang ini juga semakin mendapatkan momentumnya seiring dengan rencana Presiden Prabowo Subianto menambah kapasitas PLTS hingga 100 gigawatt (GW) di desa-desa. Rencana ini seharusnya diimbangi dengan pasokan modul surya yang memadai dari dalam negeri. Hingga saat ini, modul surya Indonesia masih kalah saing dengan produk luar negeri. Ini terbukti dari tren impor modul surya yang naik sejak lima tahun terakhir.

 

Meredam dampak sosial dan lingkungan

Memastikan pemanfaatan nikel untuk baja tahan karat perlu dibarengi dengan mitigasi risiko lingkungan yang ditimbulkan. Baja tahan karat sebenarnya merupakan material yang bisa didaur ulang. Namun, Indonesia perlu memperhatikan emisi yang ditimbulkan dari bahan bakunya, yakni nikel.

 

Perusahaan nikel di Indonesia masih lekat dengan jejak pelanggaran HAM dan risiko kerusakan lingkungan. Studi CELIOS dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia pada 2025 menemukan, sebanyak 60% perusahaan energi terkait nikel—yang sahamnya diperjualbelikan pada Bursa Efek Indonesia—memiliki skor buruk dalam hal risiko HAM dan rantai pasok. 

 

Tiga dari lima perusahaan nikel yang diteliti tersebut juga merupakan perusahaan nikel terbesar yang akan bertanggung jawab terhadap pelepasan emisi sebanyak 38,5  juta ton setara CO2 ekuivalen (MTCO2e) pada 2028 akibat PLTU captive. Selain memperburuk emisi, smelter berbasis PLTU captive akan memperburuk reputasi produksi nikel di pasar global yang semakin memperketat standar keberlanjutan bagi komoditas mineral kritis. 

Oleh karena itu, tanpa pembenahan serius, ambisi hilirisasi justru berisiko menjadi beban baru. Penguatan hilirisasi nikel harus berjalan seiring perbaikan tata kelola, pengurangan emisi, dan perlindungan HAM. Jika tidak, daya saing nikel Indonesia akan menurun bukan karena pasar, tetapi karena kegagalan memenuhi standar global yang terus mengeras.

Populer

Terbaru