Mempertanyakan Arah Investasi Danantara dalam Hilirisasi Nikel
Cintya Faliana • Penulis
23 September 2025
5
• 6 Menit membaca

Kontroversi sovereign wealth fund (SWF) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) seakan tak surut. Meski telah mengelola aset perusahaan negara lebih dari US$900 miliar (Rp14 ribu triliun), sejumlah keputusan kucuran modal Danantara masih menjadi perdebatan di publik.
Misalnya, Danantara akan berinvestasi Rp180 triliun di proyek gagal gasifikasi batu bara untuk memproduksi dimethyl ether (DME)—bakal calon pengganti gas elpiji. Ada juga penerbitan Patriot Bonds, yakni surat utang yang menyerap duit Rp50 triliun, tapi sebagian justru digunakan untuk proyek yang marak ditolak warga: pembangkit listrik tenaga sampah.
Terbaru, Danantara bakal menggelontorkan sekitar US$1,42 miliar setara Rp23,6 triliun untuk pembangunan fasilitas High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Kawasan Industri Morowali (IMIP), Sulawesi Tengah. HPAL adalah fasilitas pengolahan nikel untuk menjadi salah satu bahan baku baterai.
CEO Danantara Rosan Roeslani menggaet perusahaan dari Cina GEM Co., Ltd., dan PT Vale Indonesia Tbk yang telah lebih dulu mengerjakan proyek hilirisasi nikel ini. Padahal, sejak beberapa tahun lalu, marak kabar kerusakan lingkungan dan kecelakaan kerja akibat hilirisasi nikel di Morowali.
Lantas, dengan investasi ini, bagaimana Danantara membuktikan dirinya benar-benar berperan mengelola pendanaan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab?
Jejak kelam hilirisasi nikel
Aktivitas pengolahan nikel di berbagai daerah, terutama di kawasan industri seperti IMIP dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), menciptakan banyak kerugian bagi masyarakat sekitar. Belum lagi jika dampak negatif dari pertambangan juga masuk dalam perhitungan.
Sebagai contoh, masyarakat Morowali tidak menikmati buah dari keuntungan hilirisasi nikel. Riset Aksi Ekologi dan Emanispasi Rakyat (AEER, 2023) mengungkapkan bahwa, alih-alih meningkatkan perekonomian, hilirisasi justru merugikan masyarakat Morowali dan Morowali Utara, dua kabupaten penghasil utama nikel di Indonesia.
Pada 2022, 95,65% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Morowali dan 84,11% di Kabupaten Morowali Utara mengalir keluar daerah. Artinya, masyarakat Morowali hanya menikmati sebagian kecil kue ekonomi dari hilirisasi nikel.
Pada tahun yang sama, tingkat kemiskinan di kedua daerah tersebut masih tergolong tinggi. Pada 2022, tingkat kemiskinan di Morowali berada di level 12,58% dan di Morowali Utara 12,97%, berada di atas rata-rata Sulawesi Tengah di level 12,33%.
Selain tingkat kemiskinan meningkat, masalah lainnya adalah degradasi lingkungan. Para nelayan mulai kesulitan mencari ikan. Padahal, 90% dari penduduk Desa Kurisa, Morowali berprofesi sebagai nelayan. Pun jika bisa melaut, ikan-ikan di laut sekitar wilayah smelter terkontaminasi mineral berat akibat pembuangan limbah.
Dalam disertasinya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia bahkan mengakui bahwa hilirisasi nikel di Morowali mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) bagi warga sekitar. Pada tahun 2023 saja, terdapat 52,94% masyarakat menderita ISPA.
Belum lagi kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian pekerja smelter sangat tinggi. Sepanjang 2019-2025 telah terjadi 104 kecelakaan kerja di seluruh smelter nikel Indonesia hingga mengakibatkan 107 orang meninggal dan 155 luka-luka.
Berdasarkan pendanaannya, smelter nikel di Morowali disokong oleh Cina lewat berbagai perusahaan termasuk GEM. Sedangkan, PT Vale memiliki konsesi tambang nikel terbesar di Indonesia.
Kerja sama Danantara dengan Vale dan GEM justru seolah-olah menjadi ‘lampu hijau’ negara atas sederet ekses negatif hilirisasi nikel yang sudah dihasilkan selama ini.
Peran Danantara & kebijakan pemerintah
Ketika Danantara memilih terjun ke proyek nikel berdarah di Morowali atau gasifikasi batu bara, Danantara sebenarnya berjalan berlawanan dengan arah tren investasi global. Kini investor asing semakin selektif dengan memperhatikan proyek yang berkelanjutan dan memberikan manfaat jangka panjang.
Masuknya Danantara ke sektor yang penuh persoalan seperti hilirisasi nikel seolah menjadi sinyal bahwa pemerintah Indonesia memberikan lampu hijau pada aktivitas bisnis yang ‘tidak sehat’. Padahal, sebagai lembaga SWF, Danantara bisa menjadi simbol baru arah pembangunan Indonesia.
Untuk itu Danantara harus bisa memastikan aspek kepatuhan lingkungan dan environment, social, and governance (ESG) dalam setiap proyek hilirisasi nikel, sekaligus mengawasi ketat prosesnya. Untuk pertambangan, Danantara bisa menggunakan indikator yang telah disusun oleh lembaga lain seperti The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).
Sebelum memutuskan mendanai proyek nikel, Danantara pun perlu melakukan due diligence terkait kepatuhan secara komprehensif. Proses ini harus melibatkan para pakar, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas terdampak. Ini penting karena aturan yang ada selama ini terbukti belum cukup untuk mencegah dampak negatif, baik bagi lingkungan maupun masyarakat.
Ketika arah pendanaan Danantara masih serampangan tanpa memiliki arah jelas, portofolio yang dimiliki tidak akan menarik untuk investor jangka panjang. Danantara sebagai ‘wajah’ pemerintah sudah saatnya memperbaiki yang rusak selama ini.
Sebaliknya, apabila Danantara bisa memastikan perusahaan-perusahaan yang didanai memenuhi standar etika lingkungan dan HAM serta akuntabel, maka publik tak akan ragu mendukung Danantara
Belajar dari ahlinya, SWF Norwegia
Langkah Danantara seharusnya bisa meniru SWF Norwegia. Government Pension Fund Global Norwegia yang memiliki nilai US$1,6 triliun ini mencabut investasinya di perusahaan pertambangan Prancis Eramet sebesar US$6,8 juta.
Keputusan menarik 0,44% saham Eramet dibuat setelah Dewan Etik Norwegia menyimpulkan bahwa ada “risiko tak bisa diterima” yang dilakukan. Terutama risiko terhadap potensi kerusakan lingkungan berat dan pelanggaran HAM yang serius dari operasi tambang nikel Eramet di Halmahera, Maluku Utara.
Dewan Etik Norwegia berpendapat bahwa klaim Eramet soal rencana “net biodiversity gain” lewat kompensasi tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Praktik tambang yang dilakukan justru menunjukkan hal berbeda. Nyatanya, hutan dengan nilai konservasi tinggi sulit digantikan sehingga restorasinya juga sulit dilakukan.
Keputusan divestasi Norwegia menjadi tanda bahwa investor kelas kakap semakin memperhitungkan aspek lingkungan hidup dan hak komunitas dalam investasi. Termasuk di sektor mineral yang dianggap “hijau” seperti nikel untuk baterai kendaraan listrik.
Keputusan Norwegia juga mempertegas bahwa permintaan global terhadap bahan baku “hijau” tidak otomatis menyelesaikan isu keberlanjutan. Apalagi jika ekstraksi dan produksinya merusak alam atau melanggar HAM.
Danantara harus mampu ikut berperan dalam melindungi kebutuhan Indonesia dalam jangka panjang dan tidak berlindung di balik keuntungan jangka pendek. Salah satunya dengan mendorong transisi menuju energi terbarukan.
Sayangnya, dari daftar panjang proyek nasional yang bakal didanai Danantara, proyek energi terbarukan justru hampir nihil. Danantara baru memasuki ‘tahap penjajakan’ dengan Jepang di sektor ini, meski belum ada angka yang disebutkan.
Jika Danantara mengalihkan nilai investasi hilirisasi nikel ke energi terbarukan, maka akan ada belasan PLTS sebesar PLTS Apung Cirata senilai Rp1,7 triliun. Dengan melihat tren investasi global yang semakin mengarah ke energi terbarukan, Danantara bisa menggaet investor yang mementingkan sustainability.
Untuk itu, jangan sampai Danantara mereplikasi prioritas dan tata kelola seperti yang sudah-sudah. Ketika Danantara mengambil jalan yang sama, kredibilitas lembaga justru dipertaruhkan. Pada akhirnya, investor besar dari luar akan enggan bergantung pada Danantara.