Patriot Bond Danantara: Modal Transisi Energi atau Upaya Greenwashing?

Sita Mellia Penulis

19 September 2025

total-read

7

5 Menit membaca

Patriot Bond Danantara: Modal Transisi Energi atau Upaya Greenwashing?

Danantara baru saja meluncurkan Patriot Bond, instrumen keuangan berupa surat utang. Tujuannya, mendapatkan dana sebesar 50 triliun dari para superkaya untuk mendanai proyek sosial-ekonomi Presiden Prabowo Subianto, salah satunya transisi energi. 

 

Dengan kupon yang hanya 2% alias jauh di bawah dari rata-rata obligasi lain, sejumlah konglomerat seperti Salim Group dan Djarum langsung membeli obligasi ini. Taipan yang bergerak cepat layaknya ‘patriot’ ini juga harus tetap mengawasi bagaimana proyek transisi energi benar-benar mengurangi emisi. Jika tidak, mereka akan merugi dua kali—jatuhnya reputasi dan keuntungan yang didapat.

 

Kontroversi pembangkit sampah

 

Salah satu prioritas dari Patriot Bond adalah proyek waste-to-energy, yaitu mengubah sampah menjadi energi. Danantara mengklaim proyek ini dipilih karena masalah menumpuknya sampah perkotaan.

 

Namun, pembangunan PLTSa memiliki ongkos yang mahal, sekitar US$5 juta per megawatt. Jika harga listrik dari sampah sudah ditetapkan pemerintah sebesar 20 sen dolar AS per kilowatt jam (kWh), maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga perlu menyiapkan ruang fiskal yang besar untuk memberikan subsidi. Sementara ruang fiskal untuk memberi jaminan dan perlindungan sosial buat warga berpotensi terkikis.

 

Dengan harga yang mahal ini pun tak menjamin warga mendapat udara yang bersih. Sebab, proyek sampah menjadi energi ini kemungkinan tidak akan signifikan menurunkan emisi. Singkatnya, proyek yang diklaim sebagai ‘transisi energi bersih’ ini jauh dari kata hijau. 

 

Proses mengubah sampah menjadi energi melalui teknik gasifikasi dan insinerasi juga menghasilkan residu berupa polutan berbahaya (Khan et al, 2022). Infografis: penulis.

 

Mayoritas karakteristik sampah di Indonesia yang basah (organik) dan tercampur, menuntut sampah harus dikeringkan dan dipecah dahulu dengan pembakaran sebelum diubah menjadi energi. Masalahnya, teknologi insinerator ini menimbulkan banyak risiko lingkungan dan ekonomi. Biasanya, PLTSa menggunakan kombinasi kedua teknik—gasifikasi dan insinerasi. Teknik gasifikasi adalah mengubah sampah menjadi gas sintetik (syngas) untuk menghasilkan energi listrik, sementara teknik insinerasi dilakukan dengan membakar sampah secara langsung.

 

Teknik gasifikasi bekerja dengan cara memecahkan sampah padat dengan pembakaran yang minim oksigen. Teknik ini sering diklaim pemerintah ramah lingkungan. Namun, teknik ini justru berisiko menjadi greenwashing karena melepas zat beracun, limbah arang dan abu—yang membahayakan kesehatan warga. Hal ini dikarenakan karakteristik sampah di Indonesia yang tercampur—antara organik dan nonorganik—semakin menambah risiko tingginya kadar zat beracun.

 

PLTSa Benowo di Surabaya, misalnya, menggunakan teknik landfill gas dan gasifikasi. Dampak kesehatan akibat teknik ini tak main-main. Warga sekitar menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) selama tahun 2020 hingga 2021

 

Warga pun tak menerima sosialisasi terkait ancaman pelepasan polutan hasil pembakaran sampah seperti dioksin, merkuri, dan logam berat. Padahal, semua polutan ini berisiko mencemari udara dan perairan, serta bersifat karsinogenik bagi manusia.

 

Pemerintah sebetulnya telah menyediakan regulasi untuk meminimalkan risiko lingkungan pembangkit sampah. Misalnya, pembakaran sampah dengan insinerator wajib memiliki standar efisiensi penghancuran dan penghilangan dioksin minimal 99,99%. 

 

Sayangnya, pemeriksaan dioksin yang seharusnya dilakukan setiap 3 atau 6 bulan sekali tak berjalan semestinya. Sebab, biaya untuk menguji dioksin mahal. Indonesia juga belum memiliki infrastruktur yang memadai sehingga sampel harus dikirim ke luar negeri terlebih dahulu.

 

Selain itu, keberadaan PLTSa juga berisiko melanggengkan kebiasaan “angkut - buang” dalam pengelolaan sampah di berbagai kota di Indonesia, ketimbang mengurangi sampah sejak awal. Saat ini saja, baru 38% sampah yang terkelola dengan baik.

 

Kiat buat konglomerat

Sejatinya konglomerat tidak bisa melepas begitu saja uang yang telah mereka gelontorkan dalam patriot bond. Mereka justru harus berperan sebagai watchdog atau pengawas dari proyek yang diklaim sebagai proyek transisi energi ini.

 

Climate Bonds Initiative—organisasi yang mensertifikasi obligasi hijau dan obligasi berkelanjutan—pada Juni 2025 telah mengeluarkan panduan investor untuk mengawasi seberapa ambisius proyek transisi dan seberapa jauh proyek bisa berkelanjutan, dan tidak tertipu oleh proyek greenwashing. 

 

Pertama, investor perlu melihat seberapa ambisius targetnya. Dalam konteks ini, misalnya, investor harus mengawasi target pemerintah untuk mengurangi polutan di PLTSa. 

 

Selain itu, investor juga perlu mengawasi jangan sampai patriot bond membiayai solusi palsu transisi energi. Caranya, investor harus meminta jaminan bahwa PLTSa tidak menciptakan masalah pencemaran baru bagi warga. Jika tidak berjalan demikian, pemerintah tidak boleh mengklaim proyek ini sebagai transisi energi yang berkeadilan. Dampaknya investor juga akan memiliki portofolio buruk di tengah tren investasi hijau.

 

Untuk menjamin proyek ini betul-betul hijau, pilar kedua yang harus diperhatikan investor adalah kebijakan pemerintah yang konkret untuk mencapai target. Misalnya, investor bisa melihat apakah pemerintah menyiapkan teknik pengolahan gas buang yang layak untuk polutan berbahaya seperti furan dan dioksin, atau menyiapkan tenaga kerja hijau yang mumpuni. Jika tidak, proyek ini berpotensi mangkrak akibat kemarahan warga, seperti yang terjadi di Cina.

 

Terakhir dan sangat fundamental ialah investor perlu memastikan Rp 50 triliun dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk transisi energi, bukan menguntungkan segelintir orang berkepentingan. Ini sejalan dengan Prinsip Santiago yang dipegang oleh International Forum of Sovereign Wealth Funds (IFSWF)—platform untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman antar dana kekayaan negara atau SWF. 

 

Memaksimalkan Rp50 triliun 

Indonesia bisa menilik Jepang yang memanfaatkan transition bond dengan baik sehingga bisa mengurangi energi kotor. Di sana, dana yang dikumpulkan dari transition bond sama sekali tidak membiayai batu bara dan gas fosil. 

 

Obligasi mereka benar-benar dimanfaatkan untuk dekarbonisasi—mengurangi emisi—dengan signifikan. Selain itu, sebanyak 55% dari pembagian dana hasil obligasi dialokasikan untuk melakukan riset dan pengembangan. Artinya, kebijakan dekarbonisasi mereka berbasiskan data.

 

Dana sebesar Rp50 triliun lebih baik digunakan untuk transisi energi yang menghasilkan udara bersih, seperti mengakhiri PLTU batu bara yang selama ini merugikan masyarakat dan memperparah krisis iklim.  Dengan asumsi biaya menutup PLTU sebesar US$ 700 ribu – US$ 1 juta per megawatt (MW), uang Rp50 triliun bisa dipakai untuk menutup satu hingga 2 PLTU besar. 

 

Biaya ini dapat pula dipakai untuk membiayai proyek PLTS berskala besar untuk memasok listrik khusus ke pabrik-pabrik tertentu yang menginginkan listriknya 100% dari energi terbarukan. Soal ini, Indonesia telah memiliki permintaan energi terbarukan khusus, salah satunya dari koalisi RE100 yang ingin memiliki portofolio pembiayaan hijau. Keberadaan PLN yang berada di bawah Danantara tentunya dapat mempermudah eksekusi proyek ini.

 

Selain itu dana tersebut juga bisa digunakan untuk membangun ekosistem rantai pasok PLTS yang demokratis—mulai dari pembiayaan, pengadaan infrastruktur, pemeliharaan—untuk merangsang penggunaan PLTS skala kecil. Dengan begitu, manfaat Rp50 triliun ini bisa menyentuh masyarakat.

Populer

Terbaru