Pentingnya Partisipasi dalam Transisi Energi: Pelajaran dari PLTMH Narmada
Sita Mellia • Penulis
14 Mei 2025
46
• 5 Menit membaca

Mahni dan Yuliani, dua warga desa Buwun Sejati di Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tak pernah merasa tenang setiap musim hujan. Mereka khawatir rumahnya akan kebanjiran tumpahan tanggul air untuk dua Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di desa mereka. Pembangkit energi terbarukan ini mengaliri listrik untuk rumah warga desa sejak 2019.
Kekhawatiran keduanya beralasan. Rumah mereka sempat dua kali kebanjiran lantaran air meluap dari tanggul yang hanya berjarak tiga meter dari permukiman warga. Tingginya mencapai selutut orang dewasa.
Selain Mahni dan Yuliani, ada dua keluarga lainnya yang ketiban sial akibat longsor di atas tebing saluran air PLTMH pada tahun lalu. Bencana ini terjadi di tengah seretnya dana Desa Buwun Sejati. Tak ada pula bantuan ataupun uang kompensasi yang mengucur dari PT. Tirta Daya Rinjani selaku pengelola pembangkit.
Menurut Kepala Desa Buwun Sejati, Muhidin, masalah-masalah ini terjadi karena warga hanya menjadi penonton dalam pembangunan pembangkit. Misalnya, warga desa baru mengetahui rencana pembangunan PLTMH ini ketika melihat mobil angkutan material berlalu-lalang.
Mereka pun tidak dilibatkan dalam perekrutan tenaga kerja PLTMH sejak awal pembangunan. Padahal, menurut Muhidin, ada beberapa pekerjaan terkait pengelolaan dan perawatan pembangkit yang semestinya bisa digeluti warga.
Masalah PLTMH di Buwun Sejati menjadi potret buram proyek energi terbarukan yang minim partisipasi masyarakat. Sekalipun tak menghasilkan masalah emisi, proyek energi bersih malah berisiko menciptakan persoalan baru jika tidak dijalankan secara berkeadilan.
Membumikan energi
Partisipasi warga adalah hal fundamental ketika membangun energi terbarukan. Tujuannya untuk memupuk rasa memiliki, rasa aman, serta memastikan tidak ada yang tertinggal—no one left behind. Keterlibatan warga juga bertujuan agar mereka meraup manfaat sebesar-besarnya sehingga ujungnya adalah dukungan masyarakat yang lebih besar bagi energi terbarukan.
Dukungan ini sangat penting bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Apalagi, masih ada 6.700 desa di negara ini yang belum teraliri listrik. Agar berjalan lebih mulus, transisi energi yang secara langsung menimbulkan disrupsi tentunya membutuhkan dukungan masyarakat lebih luas.
Kurangnya partisipasi, selain menciptakan bencana dan masalah sosial, juga membuat manfaat energi terbarukan tidak terbagi secara merata. Seperti di Desa Buwun Sejati yang hanya menerima uang Rp60 juta sebagai bagi hasil penjualan listrik PLTMH ke PLN. Duit itupun harus dibagi rata ke Desa Sesaot—tempat sumber mata air.
Warga pun tak pernah merasakan manfaat PLTMH lainnya, termasuk biaya listrik yang harus dibayar warga dengan tarif normal sebagai pelanggan PLN. Tidak ada penurunan biaya hidup, apa lagi peningkatan ekonomi.
Partisipasi yang tidak optimal juga berisiko meminggirkan aspirasi kelompok rentan, termasuk perempuan. Dalam kasus PLTMH di Desa Buwun Sejati, perempuan yang seharusnya berpeluang mencari nafkah melalui perawatan saluran air pembangkit, justru tidak diberi kesempatan sama sekali oleh pengelola.
Tumpukan sampah daun di tanggul air Dusun Batu Asa yang bisa mengganggu aliran air dan produksi listrik di Kecamatan Narmada. Dokumentasi: penulis
Meningkatkan partisipasi
Partisipasi warga dalam pengembangan energi terbarukan tentunya tak sebatas mengundang mereka dalam seremoni pembangunan ataupun operasi perdana pembangkit.
Menurut White Paper World Economic Forum, pelibatan ini perlu dimulai sejak perencanaan proyek yang harus berbasiskan pemetaan para pemangku kepentingan, termasuk kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas. Harapannya, pengembang energi terbarukan dapat mengembangkan energi yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Tak cukup dengan pemetaan, pengembangan proyek energi terbarukan juga perlu dilandasi dengan konsultasi masyarakat, serta mekanisme pengajuan komplain dan kekhawatiran di setiap tahapan. Perlu juga ada kerangka kerja yang jelas untuk menjaring aspirasi warga secara inklusif. Pelibatan pun termasuk penentuan manfaat bersama yang dapat diperoleh masyarakat, pengelola proyek energi, maupun pihak terkait lainnya.
Belajar partisipasi dari Dusun Kedungrong
Pelibatan warga yang bermakna juga membantu meningkatkan keberterimaan warga terhadap proyek pembangunan, sehingga proyek lebih berkelanjutan. Ini terjadi di Dusun Kedungrong, Kulonprogo, Yogyakarta, yang mengembangkan PLTMH melalui kerja sama akademisi, pemerintah daerah, dan warga setempat.
Misalnya, sebelum proyek dibangun, sosialisasi telah dijalankan dan menjadi ruang bagi warga untuk menyampaikan kekhawatiran akan dampak dari pembangunan.
PLTMH yang mengaliri listrik ke 55 kepala keluarga (KK) di Dusun Kedungrong ini dikelola oleh Komunitas Mikrohidro Terpadu Indonesia (KMTI) Kedungrong—didirikan oleh warga. Berbagai macam posisi pekerjaan, mulai dari operator hingga petugas pemeliharaan, juga diisi oleh masyarakat.
Hasilnya, warga Dusun Kedungrong hanya membayar iuran listrik sebesar Rp12.000 setiap 35 hari untuk mengakses listrik tanpa batas—lebih hemat 88% dari biaya listrik PLN yang memakan Rp 100.000 per bulan.
Tidak hanya itu, KMTI Kedungrong juga berkomitmen melakukan knowledge-transfer untuk berbagi pengetahuan kepada warga sekitar. Ini merupakan kunci agar proyek hijau di desa dapat berkelanjutan.
PLTMH Dusun Kedungrong juga berkontribusi menguatkan perekonomian warga. Caranya, warga—melalui koperasi desa—mengelola dana sosial dari hasil penjualan listrik untuk kegiatan usaha rumahan. Dengan begitu, warga Kedungrong bisa naik kelas sembari pelan-pelan berdaulat.
Menggenjot partisipasi, memperkuat ekonomi
Jika Presiden Prabowo Subianto serius ingin menyentuh pertumbuhan ekonomi di angka 8% serta swasembada energi, maka investasi energi terbarukan berbasis komunitas adalah opsi strategis untuk mencapai keduanya.
Potensi ini terungkap dalam studi Center of Economics and Law Studies (CELIOS). Studi ini menyoroti energi terbarukan berbasis partisipasi komunitas berpotensi menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang pada 25 tahun ke depan. Potensi sumbangan PDB dari kegiatan ini juga tidak main-main: Rp10,5 ribu triliun—angka yang signifikan untuk mendorong perekonomian nasional.
Hal tersebut realistis, mengingat sektor energi terbarukan lebih mudah menyerap tenaga kerja dengan lulusan SMA maupun di bawahnya, dibandingkan pekerjaan-pekerjaan di sektor energi fosil seperti batu bara.
Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga memiliki peran penting untuk mencegah persoalan energi di Desa Buwun Sejati. Untuk mendorong transparansi perusahaan seperti PT Tirta Daya Rinjani, pemerintah daerah dapat menyisipkan klausul wajib pelaporan publik dalam nota kesepahaman—mulai dari laporan keuangan, besaran dana bagi hasil, hingga implementasi CSR. Ketentuan ini bisa diperkuat dengan Peraturan Daerah tentang keterbukaan informasi proyek sumber daya alam.
Selain itu, dalam konteks kasus seperti Desa Buwun Sejati, warga desa dapat memanfaatkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008) untuk meminta transparansi penggunaan sumber daya publik. Untuk menguatkan warga, model kerja sama berbasis public-private-community partnership (PPCP) dapat mendorong warga menjadi mitra pengelola proyek, bukan hanya kelompok terdampak—sehingga memiliki posisi tawar dalam pengawasan dan pengambilan keputusan.