Merdeka dari Tambang Nikel: Pelajaran dari Komik One Piece

Robby Irfany Maqoma Penulis

16 Agustus 2025

total-read

4

5 Menit membaca

Merdeka dari Tambang Nikel: Pelajaran dari Komik One Piece

Kredit foto: Toei Animation

 

Belakangan ini warga masyarakat ramai mengibarkan bendera One Piece menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-80. Pengibaran ini menjadi bentuk kritik simbolis terhadap pemerintah dan kondisi bangsa yang dianggap semakin merosot.

 

One Piece adalah seri manga dan anime yang ditulis oleh mangaka asal Jepang, Eiichiro Oda. Seri ini menceritakan serangkaian petualangan bajak laut Topi Jerami pimpinan Monkey D. Luffy yang bercita-cita menjadi raja bajak laut.

 

Serial One Piece identik dengan upaya masyarakat melawan ketidakadilan. Misalnya, terdapat kisah bajak laut Topi Jerami membebaskan ilmuwan yang mencoba meneliti sejarah terlarang. Ada juga perjuangan mereka memerdekakan para budak yang dipaksa tunduk karena diskriminasi ras.   

 

Salah satu cerita dalam One Piece juga mengisahkan tentang penambangan yang membuat sengsara masyarakat. Kisah ini masih cukup relevan dengan pertambangan mineral kritis Indonesia yang menjadi bahan baku berbagai infrastruktur energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin.

 

Sengsara Wano karena Tambang dan Pabrik

 

One Piece mengisahkan sebuah “Negeri Emas” bernama Wano yang kaya akan mineral berharga seperti logam, perak, dan platinum. Negara ini juga menyimpan cadangan logam langka bernama “Kitetsu-kō” (liquor iron ore) yang disebut-sebut menjadi bahan baku strategis dalam pembuatan senjata.

 

Namun, kekayaan tersebut membawa sial setelah Wano dikuasai oleh grup bajak laut Kaido. Kelompok ini memperoleh monopoli pertambangan setelah bersekongkol dengan salah satu elit di Wano, Kurozumi Orochi, yang mengkudeta shogun Kozuki Oden.

 

Kaido menambang mineral secara ugal-ugalan. Banyak warga Wano yang menjadi budak: menambang dengan ancaman penyiksaan dan mendapatkan sedikit makanan. Sebagian di antaranya juga merupakan tahanan politik Kaido ataupun Kurozumi. Tak heran banyak tahanan yang lebih memilih mati ketimbang menjadi budak tambang. 

 

Hasil tambang maut merupakan mineral bahan baku pabrik senjata yang marak dibangun Kaido. Pabrik-pabrik ini pun beroperasi 7x24 jam tanpa memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Sementara itu, senjata buatan Kaido bahkan diperjualbelikan secara ilegal kepada pemerintah dunia yang represif terhadap masyarakat. Dalam cerita One Piece, pemerintah dunia adalah organisasi beranggotakan 170 negara.

 

Foto Provinsi Kuri di negara Wano yang menjadi tandus karena pabrik senjata Kaido (Toei Animation/Fandom.com)

 

Maraknya pabrik dan tambang menghancurkan tiga dari enam provinsi di Wano. Tanah Wano yang subur karena di dekat gunung berapi berubah menjadi tandus. Udara berpolusi. Air sungai tak bisa diminum. Ikan-ikan mati. 

 

Kondisi tersebut memicu krisis pangan massal di Wano. Untuk mengisi perut, banyak warga terpaksa makan buah beracun bernama “Smile” yang merusak syaraf sehingga mereka tertawa terus menerus. 

 

Penderitaan warga kenyataannya tidak dihiraukan oleh Kurozumi yang menjadi shogun Wano. Di tengah Ibu Kota Bunga yang gemerlap, Kurozumi berpesta tanpa henti bersama para kroni dan samurai yang selalu bersiaga melindunginya. Ia bahkan tak segan melakukan eksekusi massal di alun-alun kota bagi warga yang terang-terangan melawan kekuasaannya. 

 

Sejumlah warga dan bekas simpatisan shogun sudah benar-benar gerah dengan tirani Kurozumi dan Kaido, tapi tak punya cukup daya untuk melawan. Maklum, Kaido adalah satu dari empat kaisar laut yang sangat kuat.

 

Perlawanan dari warga

 

Perlawanan warga menyala kembali saat kelompok Topi Jerami tiba di Wano. Mereka merancang revolusi langsung ke jantung persoalan: Markas Kaido di Pulau Onigashima. Kelompok ini juga bekerja sama dengan anak Kozuki Oden, Kozuki Momonosuke, beserta eks pengawal shogun terdahulu.

 

Setelah upaya habis-habisan selama kurang lebih dua pekan (dan korban yang tak sedikit), Luffy bersama warga Wano berhasil menumbangkan Kaido. Mereka pun berhasil mengakhiri kekuasaan Kurozumi sekaligus mengembalikan tahta sebenarnya ke Momonosuke.

 

Guna memulihkan lingkungan di wano, Momonosuke memerintahkan penghancuran pabrik-pabrik dan tambang yang merusak di Wano. Ia juga menghapuskan sistem kerja paksa yang menyengsarakan masyarakat, sekaligus membagikan makanan dari Ibu Kota Bunga sebagai aksi simbolik pembangunan kesejahteraan di negaranya.

 

80 tahun Indonesia: Merdeka dari Tambang yang Merusak

 

Kisah Wano dapat menjadi refleksi Indonesia yang memasuki usia ke-80. Sebagai negara yang kaya akan mineral kritis seperti nikel, pemerintah masih membiarkan pertambangan secara ugal-ugalan.

 

Foto udara salah satu desa pesisir di Pomala, Sulawesi, yang tercemar karena tambang. (Dokumentasi Satya Bumi

 

Sebagai contoh, industri nikel masih menggunakan energi batu bara yang bisa menciptakan emisi sekitar 150 megaton CO2 pada 2030. Angka ini setara 15% emisi sektor energi Indonesia pada 2023. Ini belum dihitung polusi abu pembakaran dan limbah cair PLTU batu bara.

 

Industri nikel menjadi sorotan karena praktik pembuangan limbah yang mencemari laut. Perairan sekitar pabrik nikel terintegrasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Sulawesi misalnya, mengalami pencemaran kromium heksavalen—zat kimia beracun dan memicu kanker—yang melebihi baku mutu air dan biota laut.

 

Studi terbaru dari Nexus Foundation bersama Center for Research of Energy and Clean Air (CREA) menemukan kandungan logam berat seperti merkuri dan arsen dalam ikan dan juga darah manusia di sekitar kawasan industri nikel. Paparan merkuri berlebihan berisiko merusak sistem pencernaan, pernapasan, hingga saraf. Sementara arsen dapat memicu kanker dan berbahaya bagi jantung, sistem hormon, dan kecerdasan anak.

 

Sayangnya, hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meredam kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat akibat industri nikel. Momen hari ulang tahun atau HUT RI ke-80 semestinya dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah: perketat kebijakan penambangan dan pengolahan nikel dan mineral kritis lainnya agar masyarakat merdeka dari dampak lingkungan industri ini. Industri nikel dan mineral kritis lainnya yang vital bagi agenda transisi energi dunia semestinya turut berbenah seiring kebutuhan kita melawan krisis iklim dan ketidakadilan.

Populer

Terbaru