Memaknai Plastic Treaty: Melawan ‘Ketidaknyamanan’
Cintya Faliana • Penulis
15 Agustus 2025
3
• 4 Menit membaca

Jumlah sampah plastik di dunia terus meningkat setiap tahunnya. Setiap tahun, terdapat 400 miliar ton sampah plastik yang diproduksi di seluruh dunia. Sayangnya, hanya 10% di antaranya yang berhasil didaur ulang.
United Nations (UN) memperkirakan terdapat 19-23 juta ton sampah berakhir di ekosistem perairan, baik sungai hingga laut. Bahkan, pada 2040, PBB memprediksi jumlah sampah yang masuk ke ekosistem perairan akan meningkat hingga 50%.
Secara global, mayoritas plastik tidak terolah dengan baik sehingga mencemari lingkungan. (Sumber: WRI)
PBB juga berusaha menginisiasi perjanjian yang mengikat negara-negara untuk mengurangi penggunaan plastik lewat Plastic Treaty. Awal Agustus lalu, sejumlah negara bertemu di Geneva, Swiss untuk membicarakan langkah-langkah lanjutan.
Namun demikian, sejumlah negara penghasil minyak dan gas menunjukkan resistensi atau penolakan dalam pertemuan ini karena mereka menganggap pencegahan pencemaran plastik lebih terkait ke masalah pengelolaan sampah. Negosiasi kini memasuki tahap akhir, dengan draf perjanjian yang mengecewakan publik karena tidak berusaha membatasi produksi plastik maupun bahan bakunya.
Lantas, apa sebenarnya makna plastic treaty?
Plastic treaty, upaya mengurangi produksi dan konsumsi plastik
Plastic Treaty atau Perjanjian Plastik bertujuan untuk menetapkan komitmen yang mengikat secara hukum bagi negara-negara untuk mengurangi produksi plastik, meningkatkan upaya daur ulang, dan mempromosikan alternatif yang berkelanjutan.
Bermula pada 2022, Sidang Lingkungan PBB (United Nations Environment Assembly) mengadopsi Resolusi 5/14 yang menyepakati akan segera mengesahkan perjanjian plastik global yang mengikat secara hukum pada akhir 2024.
Lebih dari 180 negara bergabung dalam pertemuan INC untuk membahas perjanjian ini. Kesepakatan tersebut direalisasikan lewat Komite Perunding Antar-Pemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee/INC) yang mengadakan lima kali pertemuan untuk membahas detail lebih lanjut.
Pada INC-4 di Ottawa, Kanada terdapat 28 negara, termasuk Australia, Nigeria, dan Filipina, meluncurkan “Bridge to Busan: Declaration on Primary Plastic Polymers”. Deklarasi ini menegaskan bahwa perjanjian global tentang polusi plastik tidak hanya fokus pada konsumsi, tapi juga harus membahas isu produksi.
Terbaru, pertemuan di Swiss pekan lalu adalah pertemuan kelima serta diharapkan menjadi yang terakhir untuk mengambil keputusan final terkait langkah hukum tiap negara mengatasi polusi plastik.
Tantangan
Rencana pertemuan INC untuk membatasi produksi plastik berbahan baku minyak mentah serta mengurangi penggunaan bahan kimia yang sangat berbahaya menuai tantangan. Terutama dari perusahaan minyak dan gas serta negara-negara yang masih bergantung pada pendapatan dari sektor ini. Negara-negara yang disebut like-minded countries ini adalah Amerika Serikat, Arab, India, China, dan Rusia.
Pelobi (lobbyist) industri bahkan dianggap menjadi hambatan dalam negosiasi yang berlangsung. Pada INC-4 di Ottawa, Kanada, hampir 200 pelobi industri bahan bakar fosil hadir atau meningkat 37% dibandingkan INC sebelumnya. Kehadiran para pelobi menimbulkan kekhawatiran bahwa kepentingan korporasi akan mengalahkan kepentingan umum.
Sebelum INC-5 di Korea tahun lalu, organisasi lingkungan InfluenceMap menemukan bahwa 93% keterlibatan negatif terhadap perjanjian plastik berasal dari perusahaan bahan bakar fosil dan petrokimia. Sikap negatif ini bertujuan untuk melemahkan proses negosiasi.
Alih-alih mendorong produsen plastik ikut bertanggung jawab, fokus mereka lebih banyak pada pengelolaan limbah semata. Selain itu, mereka juga menghindari regulasi pengurangan produksi plastik.
Padahal, dari studi tentang plastik ditemukan 60 perusahaan ternama bertanggung jawab atas lebih dari setengah polusi plastik di dunia. Laporan tahunan Brand Audit menyebutkan Coca-Cola sebagai pencemar utama untuk enam kali berturut. Jumlah potongan limbah plastik mencapai 33.820 sejak proyek ini dimulai.
Untuk itu penting bagi negara melakukan langkah tegas. Mulai dari mewajibkan perusahaan mengurangi produksi plastik, hingga memastikan perusahaan pencemar bertanggung jawab membiayai pengolahan limbah yang mereka timbulkan.
Plastic treaty & transisi energi
Ketika plastik masih terus diproduksi, artinya konsumsi minyak dan gas akan tetap meningkat. Sebab, 99% plastik diproduksi dari bahan bakar fosil. Dengan produksi gas dan minyak yang tidak menurun, maka upaya untuk menjaga suhu Bumi meningkat di bawah 1,5° seperti termaktub di Perjanjian Paris akan sulit tercapai.
Indonesia, bersama negara-negara lain penghasil minyak bumi dan gas, harus menyadari bahwa kegiatan ekstraktif yang terus dilakukan berarti memberikan risiko bagi keberlanjutan Bumi dan dunia. Pemerintah perlu menggenjot upaya untuk membatasi produksi plastik sebagai bagian vital dalam transisi energi yang berkeadilan dan penanganan pencemaran.