Surutnya Permintaan Batu Bara Dunia, Ujian Arah Kebijakan Energi Indonesia

Cintya Faliana Penulis

15 Desember 2025

total-read

10

7 Menit membaca

Surutnya Permintaan Batu Bara Dunia, Ujian Arah Kebijakan Energi Indonesia

Kredit foto: Greg Goebel/Wikimedia Commons

 

Produksi batu bara Indonesia yang meningkat pesat beberapa tahun terakhir menyebabkan oversupply atau kelebihan pasokan di tingkat global. Akibatnya, harga batu bara menjadi tertekan sehingga menyebabkan pendapatan negara menurun. Belum lagi emisi metana yang dilepaskan semakin tinggi.

 

Ketika produksi batu bara dalam negeri meningkat, EMBER justru memperkirakan jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara global tidak akan bertambah hingga 2025 berakhir. 

 

Sebaliknya, negara dengan kebutuhan batu bara besar seperti China dan India, justru menunjukkan tren menuju pembangkit listrik energi terbarukan seperti surya, angin, dan air.  Alhasil, permintaan batu bara yang ‘lebih moderat’ dari China dan India menunjukkan bahwa PLTU batu bara tidak akan tumbuh untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19.

 

Lantas, bagaimana pemerintah dan perusahaan harus menyikapi perubahan tren dan permintaan global yang mengarah pada energi terbarukan, alih-alih energi fosil? 

 

Memetakan tren penurunan permintaan batu bara

Produksi batu bara Indonesia terus meningkat dari 614 juta ton pada 2021 menjadi 836 juta ton pada 2024. Peningkatan sebesar 36% ini disebabkan ekspor ke sejumlah negara seperti China dan India. 

 

Namun, pada 2025, turunnya permintaan ekspor membuat produksi batu bara diperkirakan turut terpangkas. Hingga akhir tahun, diproyeksi hanya 750 juta ton batu bara yang akan diproduksi atau turun sekitar 10%.

 

Jika dibandingkan dari tahun ke tahun, China dan India menyerap sekitar 65% dari total ekspor batu bara Indonesia pada 2023. Pangsa India sekitar 20%. Selebihnya sebanyak 45% ekspor ditujukan untuk China dengan 220 juta ton. Angka ini pun meningkat pada 2024, dengan 241 juta ton untuk China. 

 

Secara akumulatif ekspor batu bara Indonesia mencapai 555 juta ton pada 2024. Angka ekspor diperkirakanterkoreksi menjadi 500 juta ton hingga akhir tahun ini. 

 

Penurunan permintaan ekspor dan kebutuhan domestik membuat produksi batu bara turun sebesar 33 juta ton pada periode Januari-Juni 2025. Tren ini diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun, dengan ekspor diproyeksikan turun 46 juta ton, sedangkan permintaan domestik diperkirakan meningkat 14 juta ton.

 

Baik China maupun India mengurangi impor akibat ekspansi pembangkit energi terbarukan dan meningkatkan pasokan batu bara domestik mereka. India, misalnya, menargetkan peningkatan produksi batu bara hingga 1,5 miliar ton pada akhir dekade ini. Bahkan, untuk pertama kalinya India mencapai produksi 1 miliar ton pada 2024-2025.

 

Selain itu, batu bara Indonesia yang memiliki kalori lebih rendah mulai ditinggalkan dan beralih ke kalori lebih tinggi seperti milik Australia, Afrika Selatan, dan Mongolia. 

 

Permintaan domestik meningkat akibat pertumbuhan smelter dan PLTU captive. Sepanjang 2025-2026, jumlah PLTU captive akan meningkat sebanyak 11 Giga Watt (GW). Ditambah dengan 132 PLTU captive yang telah beroperasi dengan kapasitas 15,2 GW, maka total kapasitas PLTU captive mencapai 26,2 GW.

 

Padahal di dunia, ​​meski permintaan listrik terus meningkat secara signifikan, tidak ada pertumbuhan pembangkitan listrik berbasis fosil pada 2025. Kenaikan permintaan listrik dipenuhi oleh pertumbuhan pembangkit rendah emisi, terutama tenaga surya dan angin. 

 

Penurunan PLTU batu bara di Cina dan India berpengaruh signifikan bagi dunia. Terhitung sampai September 2025, tren penurunan terus tercatat sejak 2024. Di China, selama satu tahun terakhir (Q4 2024–Q3 2025), PLTU batu bara turun sebesar 0,7% dibandingkan tahun sebelumnya. 

 

Seiring penurunan ini, kapasitas energi terbarukan Cina juga semakin besar, bahkan bisa memenuhi seluruh tambahan permintaan listrik di negeri tersebut. Dalam tiga tahun, kapasitas PLTS dan PLTB di China meningkat dua kali lipat dari 635 GW menjadi 1.408 GW pada 2024. Angka ini memasok 18% bauran energi di China, dan diproyeksi akan terus meningkat hingga 2030 mendatang. 

 

Tren penggunaan energi fosil yang semakin menurun di dunia diproyeksikan berlanjut hingga tahun-tahun ke depan. Jika Indonesia dan sektor swasta masih bergantung pada batu bara, penurunan pendapatan tidak akan terelakkan lagi.

 

Dibandingkan dengan 2022 lalu, penurunan harga batu bara dan kenaikan biaya produksi memangkas laba perusahaan hingga 67%. Meskipun, menurut EMBER, perusahaan batu bara terus berupaya mempertahankan pendapatan dengan meningkatkan produksi. 

 

Sayangnya, langkah ini justru memperparah kelebihan pasokan global dan semakin menekan harga batu bara. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor batu bara juga terus turun. Pada 2023, PNBP dari subsektor mineral dan batu bara (minerba) mencapai Rp172,1 triliun. Kemudian menurun pada tahun berikutnya menjadi Rp140 triliun. Per November 2025, PNBP semakin menurun menjadi hanya Rp114 triliun dari target Rp126 triliun. 

 

Diversifikasi bisnis, beralih dari batu bara

Melemahnya permintaan batu bara global perlu direspons perusahaan-perusahaan domestik melalui diversifikasi usaha. Riset Publish What You Pay (PWYP) menampilkan sejumlah potensi diversifikasi usaha yang bisa dilakukan oleh perusahaan batu bara di Indonesia. Menggunakan prinsip triple bottom line (TBL), perusahaan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan skala produksi dan kapasitas modal.

 

Untuk perusahaan berskala besar, diversifikasi usaha ke pengembangan energi terbarukan seperti surya, angin, dan air adalah pilihan terbaik. Perusahaan berskala besar ini contohnya adalah Adaro dan Bukit Asam dengan produksi tahunan batu bara masing-masing mencapai 65,9 juta ton dan 41,9 juta ton. 

 

Pada 2022, Bukit Asam memulai diverisifikasi usaha dengan rencana membangun PLTB berkapasitas 1.300 Mega Watt (MW) di China Selatan. Perusahaan ini juga mulai menjajaki pemanfaatan lahan bekas tambang untuk pembangunan PLTS dengan kapasitas 20–200 megawatt (MW).

 

Untuk perusahaan berskala menengah, seperti seperti Harum Energy dan Multi Harapan Utama, cenderung menerapkan strategi diversifikasi yang lebih selektif dibandingkan perusahaan besar. Perusahaan tersebut memproduksi batu bara masing-masing 6,7 juta ton dan 10 juta ton pada 2023.

 

Kelompok ini lebih memilih proyek energi dengan skala yang relatif lebih mudah dikelola. Misalnya akuisisi PLTA dan pengembangan PLTS berkapasitas 1,3-3 Mega Watt peak (MWp). Pola ini dianggap mencerminkan strategi transisi yang lebih berhati-hati.

 

Sementara, perusahaan batu bara berskala kecil cenderung memiliki arah diversifikasi usaha yang lebih moderat. Sebagai contoh, TBS Energy Utama merencanakan pengembangan PLTS Apung Trembesi di Batam dengan kapasitas 46 MWp bersama PLN Nusantara Renewables. Nilai investasinya mencapai sekitar US$50 juta. 

 

Selain sektor pembangkit listrik, perusahaan batu bara juga bisa masuk ke jenis usaha dengan prospek pendapatan yang lebih cepat. Mulai dari tambak udang sampai pengelolaan limbah. 

 

Sayangnya selama ini, industri batu bara masih 97-100% bergantung pada pertambangan tanpa ada diversifikasi. Penelitian Energy Shift Institute (ESI) menunjukkan ketergantungan ini juga diperparah oleh konsentrasi produksi pada satu tambang utama yang menyumbang hingga 89-90% dari total produksi. 

 

Minimnya diversifikasi komoditas ini berisiko membatasi akses perusahaan terhadap pasar modal. Terutama di tengah semakin ketatnya persyaratan pendanaan dari investor global terhadap bisnis berbasis batu bara, sehingga penundaan diversifikasi justru akan memperbesar risiko ke depan.

 

Peran pemerintah percepat diversifikasi usaha

Secara keseluruhan, pola diversifikasi perusahaan batu bara di Indonesia masih mengarah pada dua arah utama, yaitu pengembangan energi bersih dan hilirisasi batu bara. Sementara, sektor non-energi seperti peternakan, logistik, dan agroindustri belum menjadi pilihan utama bagi sebagian besar perusahaan tambang. 

 

Kondisi ini diakibatkan arah kebijakan nasional yang masih memberikan dukungan kuat pada hilirisasi batu bara sebagai strategi peningkatan nilai tambah. Danantara misalnya menggelontorkan US$11 miliar atau Rp180 triliun untuk proyek gasifikasi batu bara bersama PT Bukit Asam. Proyek ini memiliki nilai terbesar di antara proyek hilirisasi lainnya. 

 

Selain itu, kecenderungan pemerintah masih mendorong penggunaan batu bara ditampilkan lewat awetnya pembatasan harga batu bara untuk domestik (domestic market obligation/DMO) sebesar US$70 per ton. Ditambah dengan subsidi listrik yang sangat besar, keinginan perusahaan batu bara untuk diversifikasi semakin kecil. 

 

Tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menganggarkan subsidi listrik hingga Rp101,72 triliun, meningkat dari alokasi tahun sebelumnya  Rp87,72 triliun. Puncak tertinggi anggaran subsidi dan kompensasi energi ke PT PLN dan PT Pertamina bahkan mencapai Rp550 triliun, pada 2022 silam.

 

Artinya, selama alokasi anggaran negara cukup besar untuk PLTU, swasta akan cenderung merasa ‘aman’ karena terlindungi oleh kebijakan. Alhasil, semakin enggan melakukan diversifikasi. 

 

Dengan tren batu bara yang melemah, sudah saatnya pemerintah melakukan kebijakan yang rasional dengan mengalihkan dukungan terhadap industri batu bara ke energi terbarukan. Dengan demikian, perusahaan batu bara bisa semakin memiliki arah yang jelas untuk melakukan diversifikasi.

Populer

Terbaru