Sinyal Buruk Komitmen Transisi Energi dari Pembatalan Pensiun Dini PLTU Cirebon-1

Cintya Faliana Penulis

18 Desember 2025

total-read

3

6 Menit membaca

Sinyal Buruk Komitmen Transisi Energi dari Pembatalan Pensiun Dini PLTU Cirebon-1

Kredit foto: ESDM

 

Pemerintah membatalkan rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Cirebon-1. Alasannya, PLTU tersebut dianggap masih berumur ‘terlalu muda’ dan sudah memiliki teknologi supercritical yang diklaim lebih ramah lingkungan

 

Padahal, beberapa hari sebelum pembatalan, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung masih menyebutkan Cirebon-1 sebagai prioritas PLTU yang akan dipensiunkan. 

 

PLTU Cirebon-1 masuk rencana pensiun dini (early retirement) tujuh tahun lebih awal pada 2035, dari seharusnya selesai beroperasi pada 2042. Rencana pensiun ini pun mulai berlangsung sejak pertengahan 2023 dengan perkiraan dana yang dibutuhkan sebesar US$1,3 miliar atau Rp21 triliun.

 

Proyek pertama pensiun dini ini adalah skema pendanaan Pemerintah Indonesia dengan Energy Transition Mechanism (ETM) yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB). ETM merupakan skema pembiayaan campuran (blended finance) untuk mengakselerasi transisi dari energi fosil ke energi bersih oleh ADB bersama pemerintah, investor swasta, filantropis, dan investor jangka panjang. 

 

Hingga saat ini pemerintah juga belum mengungkapkan PLTU pengganti yang akan dipensiunkan. Batalnya rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 menjadi pertanda ragu-ragu pemerintah untuk melakukan transisi energi. 

 

Mengapa PLTU Cirebon-1 menjadi pilihan pilot project pensiun dini?

Setelah rencana pengakhiran PLTU Cirebon-1 terbit, ADB merumuskan preliminary assessment yang memaparkan linimasa, dampak, dan kebutuhan proyek hingga 2035 mendatang. PLTU Cirebon-1 yang berkapasitas 660 Megawatt (MW) merupakan single unit dan berada di kompleks yang sama dengan PLTU Cirebon-2. 

 

Cirebon-1 beroperasi sejak 2012 dan dimiliki oleh PT Cirebon Electric Power (CEP). Kepemilikan saham perusahaan ini utamanya dipegang olehMarubeni Corporation, Korea Midland Power Co, ST International Ltd, dan PT Indika Energy.

 

Berdasarkan kontrak yang berlaku, Cirebon-1 menjual listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Skema yang digunakan adalah perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dan berlaku hingga Agustus 2042.

 

ADB menilai PLTU dengan PPA jangka panjang sebagai kandidat ideal ETM karena pendapatannya stabil atau dapat diperkirakan. Selain itu, PT CEP membuka ruang untuk bernegosiasi dan struktur utangnya memungkinkan dilakukan refinancing. Artinya, pensiun dini dapat dikalkulasikan lebih mudah dan dapat dilakukan tanpa merugikan investor.

 

Selain aspek pembiayaan, kapasitas Cirebon-1 masuk ke dalam skala menengah di Pulau Jawa. Sebagai perbandingan, PLTU Cirebon-2 berkapasitas 1.000 MW dan yang terbesar adalah PLTU Paiton dengan 4.600 MW

 

Fenomena oversupply listrik di Jawa-Bali sebesar 4 Gigawatt (GW) juga tak dapat diabaikan. Dengan pertimbangan ini, Cirebon-1 dianggap cukup signifikan untuk sistem kelistrikan, tapi tidak akan mengganggu kestabilan ataupun memberikan dampak buruk lain.

 

Dengan skala tersebut, risiko ekonomi yang dihadapi ketika memensiunkan Cirebon-1 tidak akan berpengaruh signifikan di level nasional. Artinya, dampak ekonomi hanya akan terjadi di level lokal yang cenderung bisa diatasi lebih mudah untuk konteks pilot project.

 

Saat ini, rata-rata usia PLTU di Asia memang masih muda, dengan teknologi yang sudah efisien, dan secara teknis masih layak beroperasi hingga puluhan tahun ke depan. Fenomena ini berbeda dengan Eropa yang memiliki usia pembangkit lebih dari 30 tahun dan justru perlu dipensiunkan.

 

Cirebon-1 yang baru memasuki usia 13 tahun justru dapat menjadi contoh baik untuk skema early retirement. Meski tidak memiliki alasan teknis untuk ditutup lebih awal, mekanisme finansial seperti ETM dapat mendorong pensiun dini PLTU muda tanpa mengganggu keandalan sistem kelistrikan.

 

Sebab, jika pensiun dini menunggu usia operasional hingga 2042, maka target utama Net Zero Emission pada 2060 mendatang akan sulit tercapai. Begitu pula dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada 2040 untuk mengurangi 41% emisi gas rumah kaca. Inilah mengapa Cirebon-1 dianggap ideal sebagai proyek percontohan.

 

Lebih jauh, ADB menilai PT CEP sudah memiliki program tanggung jawab sosial dengan cara terlibat dengan masyarakat. Untuk itu, ketika proses pensiun dini berlangsung, aspek transisi yang adil lebih memungkinkan untuk dilakukan. 

 

Maju selangkah mundur tiga langkah 

Pemerintah belum mengeluarkan daftar PLTU pengganti Cirebon-1 untuk dipensiunkan. Namun demikian, Kementerian ESDM sudah menyebutkan sejumlah pilihan seperti PLTU Ombilin dan PLTU Labuhan Angin

 

Sayangnya, kedua PLTU tersebut masing-masing hanya berkapasitas sepertiga dari Cirebon-1 dan memang sudah berusia tua. PLTU Ombilin Sawahlunto di Sumatra Barat, misalnya, sudah berusia 29 tahun dengan kapasitas 200 MW. 

 

Artinya, rencana untuk menjadikan Cirebon-1 sebagai ‘percontohan’ PLTU muda yang dipensiunkan batal terlaksana. Selain itu, dampak yang diberikan pun besar kemungkinan tidak sesignifikan pensiun dini Cirebon-1.

 

Batalnya pensiun dini Cirebon-1 semakin menandai pemerintah yang tidak memiliki fokus yang jelas mengenai arah transisi energi. Alih-alih fokus menggenjot upaya untuk menghentikan PLTU dengan transisi yang berkeadilan, pemerintah justru sibuk melakukan repurposing PLTU. 

 

Misalnya melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang seharusnya mendukung transisi energi, kini justru terang-terangan mendukung repurposing PLTU

 

Repurposing dilakukan dengan memasukkan solusi-solusi palsu seperti penggunaan co-firing biomassa dan penangkapan karbon (CCS/CCUS). Dari daftar PLTU yang diskrining oleh JETP, 77% di antaranya diarahkan menggunakan skema repurposing. Rencana ini dianggap perlu untuk untuk ‘menjaga stabilitas jaringan’. 

 

Sebaliknya, hanya 23% kapasitas PLTU yang dinilai layak masuk skema pensiun dini. Padahal, skema pensiun dini adalah solusi yang paling memberikan kontribusi bagi pencapaian target nasional. Langkah ini semakin menunjukkan keengganan pemerintah dan Sekretariat JETP terhadap penghentian PLTU bertahap yang sebenarnya.

 

Bergantung pada proyek, tidak ada peta jalan jelas

Sejauh ini rencana pensiun dini PLTU secara eksplisit disebutkan bergantung pada proyek-proyek kerja sama dengan lembaga internasional. Pemerintah sendiri belum memiliki daftar pasti mengenai PLTU yang ingin dipensiunkan secara mandiri, maupun peta jalan yang menaungi. Setiap rencana penutupan pembangkit seolah bergantung pada negosiasi masing-masing lembaga, tanpa kerangka yang konsisten. 

 

Peraturan Menteri (Permen) ESDM 10/2025 tentang Peta Jalan (road map) Transisi Energi sektor Ketenagalistrikan pun belum mengakomodasi daftar pasti PLTU yang hendak dipensiunkan. Padahal, peta jalan ini diharapkan menjadi acuan teknis menurunkan ketergantungan energi fosil di sektor ketenagalistrikan. 

 

Indikator utama pemensiunan PLTU dalam (Permen) ESDM 10/2025 justru masih berorientasi pada aspek ekonomi semata, misalnya pendanaan, umur teknis PLTU, dan efisiensi operasional. Belum lagi janji 13 PLTU prioritas yang akan dipensiunkan pun tidak disebutkan dalam Permen tersebut.

 

Akibatnya, ketika satu proyek pensiun dini tersendat, seluruh agenda pensiun PLTU ikut terhenti. Ketiadaan mekanisme substitusi, membuatnya tidak ada jaminan bagi PLTU lain yang otomatis naik sebagai kandidat berikutnya. Ini menunjukkan bahwa agenda pensiun dini belum diperlakukan sebagai program berkelanjutan, melainkan sebagai rangkaian eksperimen terpisah yang rentan macet.

 

Tanpa daftar target yang terbuka dan kriteria yang jelas, pensiun dini PLTU berisiko menjadi proses yang lamban dan mudah dipengaruhi pertimbangan jangka pendek. Jika pemerintah serius menjadikan pensiun PLTU sebagai salah satu solusi transisi energi, pendekatan berbasis proyek harus segera digantikan dengan peta jalan nasional yang mengikat, transparan, dan berkeadilan.

Populer

Terbaru