Subsidi Energi Beban Negara: Saatnya Adopsi Listrik Murah dan Ramah Lingkungan

Cintya Faliana Penulis

26 September 2025

total-read

3

6 Menit membaca

Subsidi Listrik dan BBM Beban Negara: Saatnya Adopsi Listrik Murah dan Ramah Lingkungan

Kredit foto: PLN

 

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini mengeluhkan anggaran subsidi listrik yang makin tinggi tiap tahunnya. Keluhan ini dilontarkan ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menganggarkan subsidi listrik hingga Rp101,72 triliun, meningkat dari alokasi tahun sebelumnya  Rp87,72 triliun.

 

Tidak hanya anggaran untuk subsidi listrik yang sangat besar, tetapi subsidi untuk energi secara keseluruhan pun bernilai fantastis. Pada 2022, anggaran subsidi dan kompensasi energi ke PT PLN dan PT Pertamina bahkan mencapai Rp550 triliun. Anggaran ini digunakan untuk subsidi dan kompensasi listrik, subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM), serta subsidi elpiji 3 kg.

Nilai subsidi energi Indonesia periode 2013-2023. Sumber: World Bank 

 

Sementara pada tahun yang sama, total belanja negara adalah Rp2.714 triliun. Artinya 20% APBN diperuntukkan hanya untuk energi fosil. Meski pada tahun berikutnya cenderung turun, tapi ratusan triliun untuk subsidi dan kompensasi energi sudah sangat fantastis.

 

Mengapa dan bagaimana negara memberi subsidi?

Pada dasarnya, subsidi digunakan untuk meringankan harga energi yang dikonsumsi oleh masyarakat sehari-hari. Terlebih supaya harga yang dikeluarkan oleh masyarakat cenderung “stabil” meski harga minyak dan gas dunia mengalami kenaikan. Negara memberikan subsidi energi untuk menjaga daya beli masyarakat dan menstabilkan harga energi domestik dari fluktuasi global.

 

Di sini, peran negara adalah sebagai stabilisator. Pada 2022, saat dampak pandemi COVID-19 belum mereda dan ditambah dengan perang Rusia-Ukraina, harga minyak bumi secara global sedang melambung tinggi. Begitu pula harga batu bara yang menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah. Alasan tersebut yang menyebabkan subsidi dan kompensasi untuk energi menjadi melonjak pesat. 

 

Selain itu, anggaran energi juga sangat mahal karena ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil yang cenderung lebih tinggi. Pada 2022, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang aktif sebesar 45 GigaWatt (GW), sedangkan bauran energi terbarukan hanya 12,3% saja. 

 

Selang dua tahun, pada 2024, kapasitas PLTU energi fosil terpasang mencapai 86 GW. Padahal, pembangkit energi terbarukan hanya 15,1 GW atau setara 14,6% dari keseluruhan. Peningkatan PLTU yang hampir dua kali lipat dan lambatnya pembangunan pembangkit energi terbarukan menjadi salah satu faktor penyebab mahalnya biaya energi sehari-hari di Indonesia.

 

Jika menghitung Levelised Cost of Electricity (LCOE) atau biaya rata-rata untuk menghasilkan listrik selama masa pakai pembangkit listrik, penggunaan PLTU akan jauh lebih mahal daripada pembangkit energi terbarukan. Berdasarkan hitungan IESR, LCOE –yang meliputi biaya modal, operasional, dan bahan bakar dari– PLTU on-grid sebesar US$5,6 sen/kWh. Sedangkan PLTU captive lebih mahal lagi mencapai US$7,71 sen/kWh. 

 

Meski terlihat ‘kecil’, sebenarnya angka ini dihasilkan dari kebijakan domestic market obligation (DMO) yang membuat harga batu bara yang dijual ke PLN lebih murah dari harga global. Artinya, jika pemerintah tidak lagi menerapkan kebijakan ini, LCOE dari PLTU bisa meningkat lebih tajam.

 

Sedangkan berdasar perhitungan IESR, memperkirakan LCOE PLTA skala menengah senilai US$4,1 sen/kWh. Disusul Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) dengan LCOE sebesar US$4,9 sen/kWh. Sementara PLTS skala utilitas diperkirakan memiliki LCOE US$5,8 sen/kWh. Secara umum, LCOE energi terbarukan tetap jauh lebih kecil dibandingkan PLTU baik on-grid maupun captive.

 

Skema pemberian kompensasi dan subsidi listrik dari pemerintah ke masyarakat diperantarai oleh PLN sebagai penyedia listrik. Pemerintah menggelontorkan dana lewat skema subsidi kepada pelanggan listrik hingga 2200 VA. Kemudian skema kedua adalah kompensasi atau penggantian biaya ke PLN jika realisasi harga energi jauh di atas asumsi kurs ataupun harga minyak dunia yang disepakati dalam APBN. Skema kompensasi biasanya bersifat reimbursement menyesuaikan harga minyak dan gas bumi maupun batu bara secara global.

 

Pada 2022 saja, PLN menerima Rp123 triliun atau US$8 miliar yang menyumbang hampir 28% total pendapatan PLN. Sementara tahun lalu untuk subsidi saja PLN menerima Rp77,7 triliun dan kompensasi sebesar Rp100 triliun. Meski keuntungan PLN melonjak menjadi Rp545 triliun, sebanyak 32% di antaranya didapatkan dari pemerintah melalui subsidi dan kompensasi. 

 

Selain lewat skema kompensasi dan subsidi, PLN juga mendapat keistimewaan lewat kebijakan DMO batu bara. Batu bara yang dibeli PLN dibatasi pada harga US$70/ton, jauh di bawah harga pasar yang mencapai US$110/ton per Maret 2024. 

 

Kebijakan ini kemudian membatasi penerimaan negara dari perusahaan batu bara melalui pajak akibat penjualan yang jauh di bawah harga pasar terbuka.

 

Di sisi lain, laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2024 menunjukkan harga batu bara yang dibeli PLN sejak 2020 meningkat signifikan. Namun, kenaikan biaya tambahan ini tidak sebanding dengan listrik yang dihasilkan oleh PLTU. Artinya, terdapat potensi adanya inefisiensi produksi energi di PLTU itu sendiri.

 

Mengalihkan subsidi listrik ke pembangkit listrik energi terbarukan

Upaya pemerintah untuk memberikan sebagian uang rakyat melalui subsidi dan kompensasi pada akhirnya justru memperpanjang pemakaian energi fosil. Padahal, uang tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur pembangkit listrik energi terbarukan.

 

Sebagai gambaran, PLTS Apung Cirata yang mampu memproduksi 245 juta kWh/tahun membutuhkan dana Rp1,7 triliun dan dibangun hanya dalam 18 bulan sejak konstruksi pertama dimulai. Dengan kapasitas tersebut, PLTS terbesar di Asia Tenggara ini mampu menerangi lebih dari 50 ribu rumah. 

 

Jika sungguh-sungguh, proyek lain serupa PLTS Cirata seharusnya bisa direplikasi di berbagai daerah lain. Ditambah dengan pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) dan air (PLTA). 

 

Jika dibandingkan dengan India yang juga masih bergantung pada batu bara, pembangunan PLTS terhitung sangat besar. Per 2024, India memiliki PLTS dengan kapasitas total 24,5 GW. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, India ‘hanya’ memiliki PLTS berkapasitas 6,8 GW. 

 

Artinya, dalam satu tahun pemerintah India mampu melipatgandakan kapasitas PLTS terpasang. Kemampuan ini berbanding terbalik dengan pemerintah Indonesia yang sangat lambat. 

 

IEEFA memaparkan bahwa pembangkit listrik energi terbarukan memiliki empat aspek menguntungkan. Mulai dari biaya yang rendah, keamanan pasokan, ramah lingkungan, dan teknologinya yang sudah tersedia di pasar. 

 

Penggunaan listrik dari energi terbarukan juga jauh mengurangi beban biaya bahan bakar yang kerap menggerogoti kas negara. 

 

Transisi dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan bisa menjadi solusi tingginya subsidi listrik. Secara bertahap, pemerintah bisa mengalihkan pendanaan untuk pembangkit listrik energi terbarukan. Pada saat yang sama, pemerintah bisa memensiunkan PLTU batu bara yang sudah tua dan tidak lagi efisien.

 

Skenario pensiun PLTU batu bara bersamaan dengan peningkatan infrastruktur pembangkit surya dan angin. Sumber: IEEFA (2024).

 

Per Desember 2023, hampir seperempat dari seluruh PLTU yang dimiliki PLN berusia lebih dari 20 tahun. Pemensiunan bertahap PLTU dapat mengurangi kebutuhan subsidi dan kompensasi untuk PLN, termasuk menurunkan biaya pemeliharaan yang cukup besar. Sebab, semakin tua PLTU, biaya pemeliharaannya semakin besar, tapi produksi listriknya semakin menurun. Teknologi PLTU tua juga menciptakan lebih banyak polusi udara.

 

Selain alasan pembiayaan, pembangkit energi terbarukan menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca (GRK). Pembangkit tenaga surya dan angin bahkan memiliki dampak lingkungan yang minimal dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya seperti hidro dan biomassa.

Populer

Terbaru