SNDC Mengulang Pengabaian Masyarakat Adat dalam Transisi Energi

Robby Irfany Maqoma Penulis

27 November 2025

total-read

7

5 Menit membaca

SNDC Mengulang Pengabaian Masyarakat Adat dalam Transisi Energi

Kredit foto: Climate Rangers

Dokumen iklim terbaru Indonesia, Second Nationally Determined Contribution (SNDC), kembali memicu ketidakpuasan dari banyak kelompok masyarakat sipil. 

Kritik utamanya: negara terlihat lebih sibuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dibanding merancang langkah iklim yang melindungi lingkungan. Dalam beberapa bagian, SNDC bahkan terasa seperti pengulangan pola lama, saat keputusan soal energi atau iklim dilepaskan dari suara masyarakat yang paling terdampak, seperti masyarakat adat.

Sorotan ini bukan muncul tiba-tiba. Seperti ditunjukkan analisis sebelumnya, SNDC Indonesia cenderung menempatkan ekonomi sebagai episentrum kebijakan iklim.

Dari sektor energi saja kita bisa melihat jelas masalahnya. Pemerintah tidak memasukkan rencana penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Padahal, PLTU merupakan penyumbang emisi terbesar sekaligus sumber pencemaran yang merusak sungai, laut, dan ruang hidup banyak masyarakat adat

Keengganan untuk mengakhiri PLTU ini akhirnya memunculkan “solusi-solusi kilat” yang tidak menyentuh akar masalah. Indonesia terlihat mengincar opsi teknologi atau inisiatif lain yang justru berisiko memperparah kerusakan lingkungan dan memperluas ruang konflik di wilayah-wilayah adat. Hal ini akhirnya berlawanan dengan komitmen Indonesia dalam Global Stocktake COP28 di Dubai, yang menegaskan pentingnya aksi iklim yang berpusat pada masyarakat (people-centered) sebagai prinsip operasional dalam kebijakan NDC.

Ketika janji SNDC tak menyentuh realitas masyarakat adat

Di atas kertas, SNDC memang mengklaim Indonesia sedang mempersiapkan kebijakan transisi berkeadilan yang “people-centred” dan mencakup komunitas adat. 

Namun janji ini berhenti di permukaan. Ketika dibedah lebih jauh, SNDC tidak menguraikan bagaimana komunitas adat akan dilibatkan atau dilindungi dalam transisi energi.

Contoh paling konkret adalah absennya rencana penghentian PLTU. Operasi PLTU selama bertahun-tahun telah mencemari sungai, merusak sumber air bersih, dan mengganggu ruang hidup masyarakat adat. Pencemaran Sungai Sagea di Halmahera Tengah, misalnya, memperlihatkan bagaimana kawasan adat terus menerima tekanan pencemaran akibat limbah batu bara

Situasi yang sama muncul dalam perkembangan industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Pemerintah menjadikan EV sebagai ikon solusi transportasi rendah karbon, tetapi SNDC tidak memaparkan bagaimana rantai pasok EV akan dipastikan ramah lingkungan dan menghormati hak masyarakat adat. 

Padahal, mineral kritis seperti nikel, baja, dan aluminium adalah kunci produksi EV—dan kegiatan penambangannya terbukti membabat hutan adat. Masyarakat Bajau di Pulau Kabaena, misalnya, kehilangan ruang hidup akibat ekspansi kawasan industri nikel. Di Halmahera, masyarakat adat juga tersingkir oleh masuknya industri nikel besar-besaran.

Ketiadaan akomodasi suara masyarakat adat dalam SNDC pada akhirnya mengulang pendekatan serupa dalam dokumen NDC sebelumnya (Enhanced NDC/ENDC). ENDC waktu itu menekankan aspek ekosistem, tetapi seakan memisahkannya dari persoalan sosial dan ekonomi. Padahal, lanskap tidak hanya soal hutan dan air. Di dalamnya ada manusia, budaya, identitas, dan sistem penghidupan.

Karena itu, dibutuhkan pergeseran paradigma menuju pendekatan lanskap yang menyeluruh: menempatkan resiliensi ekosistem, resiliensi sosial, dan resiliensi ekonomi sebagai satu kesatuan. 

Pendekatan ini pun perlu selaras dengan empat dimensi keadilan iklim untuk memastikan transisi energi berjalan adil bagi semua kelompok. Pertama adalah keadilan rekognitif, melalui pengakuan penuh atas identitas, hak, dan pengetahuan masyarakat adat. Sedangkan kedua adalah keadilan distributif, untuk memastikan manfaat dan beban transisi dibagi secara setara. Ketiga adalah keadilan prosedural menegaskan hak masyarakat adat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait aksi iklim yang memengaruhi hidup mereka. Sementara keadilan restoratif mencakup pemulihan terhadap kerusakan dan kerugian yang telah terjadi, termasuk kompensasi atas dampak historis yang diwariskan dari kebijakan sebelumnya.

Dalam kerangka itu, masyarakat adat bukan sekadar kelompok terdampak, tetapi pemegang hak dan aktor utama yang harus terlibat dalam menentukan arah transisi energi sebagai aksi iklim Indonesia.

Menghormati masyarakat adat: Bagaimana seharusnya?

Untuk memutus rantai peminggiran masyarakat adat, SNDC harus menjawab empat persoalan utama dalam konsep HELP (Human security, Ecological debt, Land tenure, dan Production-consumption pattern). Keempatnya relevan dan mendesak dalam konteks Indonesia. Keempat masalah ini adalah:

1. Human security (Keselamatan manusia)
Keselamatan manusia harus menjadi fokus utama aksi iklim. Masyarakat adat, yang selama ini menjaga hutan dan bentang alam, justru menghadapi risiko paling tinggi akibat kebakaran hutan, banjir, atau pencemaran sungai.

2. Ecological debt (Utang ekologis)
Ada utang ekologis yang harus diakui. Tidak hanya dari negara maju ke Global South, tetapi juga dari kelompok kaya di Indonesia terhadap komunitas adat yang telah menjaga ekosistem selama ratusan tahun. Mereka amat berperan merawat alam, tapi paling merasakan dampak krisis iklim (kebakaran hutan, kenaikan muka air laut, hingga banjir ekstrem) yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya.

3. Land tenure (Akses lahan)
Hilangnya akses atas tanah adalah ancaman terbesar. Tanah bukan hanya ruang produksi bagi masyarakat adat, tetapi tempat hidup, warisan identitas, dan ruang spiritual. Banyak komunitas bahkan mengalami kriminalisasi saat mempertahankan tanah ulayat mereka.

4. Production–consumption pattern
Pola produksi-konsumsi Indonesia tidak mengalami perubahan fundamental. Ekonomi masih ditopang oleh ekstraksi mineral, komoditas, dan energi fosil. Pola ini menempatkan masyarakat adat sebagai korban pertumbuhan ekonomi.

Apa yang harus diubah?

Secara teknis, perubahan paling mendasar harus dimulai dari hulu. SNDC perlu memastikan prinsip keadilan rekognitif (pengakuan) dan prosedural (ruang partisipasi) berjalan nyata, bukan sekadar tercatat dalam dokumen.

Pertama, pemerintah harus melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam seluruh tahap perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi transisi energi, termasuk perempuan adat yang sering berada di garda terdepan penyintas ekologi.

Kedua, prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) harus ditegakkan dalam perencanaan terkait sektor energi. FPIC bukanlah jargon, tetapi hak dasar masyarakat adat untuk mengatakan “ya” atau “tidak” terhadap proyek yang berdampak pada ruang hidup mereka.

Ketiga, pemenuhan keadilan restoratif harus menjadi komitmen yang tertuang secara tegas dalam SNDC. Misalnya, Indonesia bisa mencantumkan langkah-langkah seperti moratorium pertambangan yang beririsan dengan wilayah adat, pemulihan lingkungan dan lubang tambang sebagai prasyarat transisi energi, dan kompensasi kesehatan bagi masyarakat adat di sekitar PLTU.

Selain itu, SNDC seharusnya memasukkan strategi pemulihan ekosistem dan pemulihan hak ruang hidup masyarakat lokal yang terdampak pembangunan PLTU, baik di lokasi maupun sepanjang rantai suplai batu bara. 

Indonesia tidak kekurangan pengetahuan, pengalaman, atau panduan global untuk merancang SNDC yang adil bagi masyarakat adat. Yang kurang adalah keberanian politik untuk menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama, bukan korban sampingan pembangunan.

Jika pemerintah benar-benar ingin memimpin transisi energi yang berkelanjutan, langkah pertama yang harus dilakukan bukanlah membangun industri baru atau memperluas tambang nikel, melainkan menghormati hak komunitas yang sudah menjaga ekosistem Nusantara jauh sebelum istilah “krisis iklim” dikenal dunia. Masyarakat adat bukan hambatan bagi transisi energi. Mereka justru adalah salah satu fondasinya.

 

Populer

Terbaru