Transisi Energi Berkeadilan di COP30: Banyak Prinsip, Nihil Aksi

Sita Mellia Penulis

26 November 2025

total-read

10

5 Menit membaca

Transisi Energi Berkeadilan di COP30: Banyak Prinsip, Nihil Aksi

Kredit foto: Mike Muzurakis/IISD,ENB

 

Di tengah mahalnya biaya menanggulangi krisis iklim di masa depan, negara berkembang menantikan oleh-oleh berupa solusi konkret dari penyelenggaraan diskusi iklim tahunan COP30 di Belém, Brasil. Tahun 2025 dianggap sebagai momentum untuk menerjemahkan konsep “transisi energi berkeadilan” ke dalam langkah nyata untuk melindungi masyarakat paling terdampak, bukan lagi kepentingan segelintir orang.

 

Just Transition Work Programme (JTWP), misalnya, salah satu agenda krusial untuk menunaikan Perjanjian Paris. Masyarakat sipil, terutama negara-negara di kawasan Global South yang masih menggantungkan ekonominya terhadap energi fosil, menghadapi tantangan dan risiko sosial, ekonomi,

dan ekologis paling besar dalam masa transisi ke energi bersih.

 

Namun, alih-alih keputusan konkret dan pendanaan, hasil pembahasan JTWP pada COP30 kembali berputar pada tingkat prinsip dan pernyataan aspiratif.

 

Apa itu JTWP?

Singkatnya, Just Transition Work Programme (JTWP) atau Program Kerja Transisi Berkeadilan adalah inisiatif Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk memastikan Perjanjian Paris tercapai dengan cara berkeadilan dan inklusif. JTWP dibentuk pada tahun 2022 sebagai bagian dari keputusan penutup COP27 yang digariskan dalam  Rencana Implementasi Sharm el Sheikh

 

Badan Pendukung untuk Konsultasi Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) dan Badan Pendukung untuk Implementasi (SBI) UNFCCC kemudian menyusun rancangan keputusan untuk dipertimbangkan pada COP28. Setahun kemudian, tujuan program ditetapkan dan diadopsi pada 13 Desember 2023.

 

Sebelum COP30 berlangsung, masyarakat sipil berharap pembahasan JTWP pada COP30 dapat memastikan pendanaan, pengembangan kapasitas tenaga kerja, transfer teknologi, adaptasi, dan kesetaraan gender. Mereka juga menginginkan pendekatan kebijakan yang melibatkan seluruh kelompok masyarakat—pemerintah, pekerja, pelaku bisnis, dan masyarakat. ⁠Jaringan masyarakat sipil mendukung lewat  Belém Action Mechanism (BAM) yang menyerukan transparansi dan akuntabilitas.

 

Dialog keempat JTWP yang berlangsung pada September menekankan  “just energy transition pathways and holistic approaches”. Artinya, kebijakan transisi energi harus mencakup aspek-sosial, tenaga kerja, perlindungan sosial, dan dimensi lain yang relevan dengan prioritas pembangunan nasional. Sementara dialog ketiga yang berlangsung di Panama City, Panama, dalam Climate Week pertama 2025, berfokus pada “approaches to enhancing adaptation and climate resilience in the context of just transitions”. 

 

UNFCCC telah memberi dorongan agar proses dialog di Belem bisa menghasilkan hal konkret. Akhirnya pada 18 November 2025,  Pertemuan Meja Bundar Tingkat Tinggi Menteri Tahunan Ketiga tentang Transisi Berkeadilan berlangsung.

 

Sejauh mana kelompok rentan dilibatkan?

Jika dianalisis dari draf keputusan Belem Political Package untuk isu JTWP, COP30 nyatanya belum menghasilkan aksi konkret untuk mewujudkan transisi energi berkeadilan. Para delegasi masih mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat prinsipil dan normatif. Ini disayangkan, sebab dampaknya negara-negara juga tidak akan mengambil langkah konkret dalam upayanya beralih ke energi bersih dengan adil.

 

Percakapan transisi energi dalam diskusi iklim tahunan ini masih stagnan, yaitu berputar pada pembentukan mekanisme, pemetaan instrumen, dan rencana penyusunan keputusan untuk tahun depan (2026). Prinsip keadilan masih menjadi polesan, belum ada langkah untuk melindungi kelompok masyarakat yang akan terdampak transisi—pekerja PLTU, pekerja tambang, nelayan, dan masyarakat adat.

 

Padahal, protes masyarakat adat hutan Amazon dan kelompok perempuan di arena COP30 semakin menegaskan adanya gap antara narasi transisi berkeadilan COP30 dengan situasi di akar rumput. COP30 yang diwarnai demonstrasi dari kelompok rentan di Brasil menandai bahwa transisi energi masih menjadi agenda kelompok elite.

 

Dari sisi pendanaan iklim pun masih timpang—belum berpihak kepada negara-negara berkembang yang akan menanggung beban krisis iklim paling berat di masa depan akibat ulah negara-negara maju. Negara-maju seperti Uni Eropa dan Inggris cenderung fokus pada kerangka kerja transisi yang terstruktur (termasuk hak pekerja, pelatihan ulang, reformasi ekonomi) tetapi tak ada itikad kuat untuk menyetujui mekanisme yang diminta oleh Global South. 

 

Kedua kubu masih mempertarungkan dua kepentingan. Global South menginginkan kerangka fleksibel menyesuaikan kondisi mereka, sementara negara maju menginginkan transisi yang cepat dengan kerangka homogen dan tidak ingin menerapkan prinsip hukum internasional Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR‑RC). Artinya, negara-negara maju ingin melakukan transisi dengan mengabaikan tantangan yang dihadapi negara berkembang.

 

Dalam pertemuan pada 18 November, negara-negara Global South (termasuk blok G77 + China) menegaskan bahwa kesepakatan just transition tidak boleh bersifat ‘one-size-fits-all’. Mereka menginginkan prinsip equity (keadilan), kedaulatan nasional atas kebijakan energi, dan akses pembiayaan yang jelas—tidak bersifat kondisional. Negara berkembang seperti Pakistan, misalnya, menekankan kepada negara maju bahwa pembiayaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas pekerja harus menjadi pendukung utama, bukan lagi opsional. 

 

Sayangnya, Indonesia tidak menunjukkan sikap maupun posisi yang tegas dalam proses negosiasi, hanya mendukung statement dari negara berkembang lainnya. Padahal, ada kelompok pekerja yang tak boleh ditinggalkan dalam transisi energi, yaitu lebih dari 267 ribu orang pekerja di sektor industri pertambangan batu bara dan sekitar 32 ribu pekerja PLTU batu bara. Ada ongkos mahal yang perlu disiapkan untuk jaminan dan perlindungan sosial serta pelatihan green jobs untuk mereka.

 

Lemahnya sikap Indonesia untuk mendapatkan pendanaan berisiko semakin memperpanjang beban negara-negara berkembang lainnya. Negara berkembang di kawasan selatan kembali terbebani transisi dengan ongkos mahal, sementara negara-negara maju di kawasan utara terus melobi kepentingan ekonomi-politiknya sambil melepas emisi tinggi dan memperparah krisis iklim.

Populer

Terbaru