Salah Prioritas JETP Dorong PLTU Captive dan Solusi Palsu

Cintya Faliana Penulis

25 November 2025

total-read

5

7 Menit membaca

Salah Prioritas JETP Dorong PLTU Captive dan Solusi Palsu

Kredit foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace

 

Akhir Oktober lalu, Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengeluarkan Laporan Progres 2025, setelah dua tahun program ini berjalan. Salah satu laporan secara spesifik membahas transisi PLTU captive, yang diharapkan bisa menghentikan ketergantungan industri pada batu bara dan beralih ke energi terbarukan. 

 

Sayangnya, rincian dokumen tersebut justru bertolak belakang dengan tujuan yang diungkapkan. Laporan studi PLTU captive dari JETP justru masih menekankan solusi palsu seperti bioenergi dan gas fosil.

 

Pada hakikatnya, JETP adalah program kerja sama negara-negara yang seharusnya mendanai percepatan transisi energi terbarukan di Indonesia. Jika skema yang ditawarkan kepada industri masih mendorong solusi palsu, persoalan PLTU captive tidak akan kunjung terselesaikan. 

 

PLTU captive, duri dalam daging sistem energi

PLTU captive yang menghasilkan listrik untuk kebutuhan industri, terutama di sektor pengolahan mineral, berkontribusi besar terhadap emisi yang dihasilkan Indonesia. Dalam laporan studi PLTU captive JETP, sebanyak 25% PLTU di Indonesia disumbang oleh keberadaan PLTU captive.

 

Sejak 2014 hingga 2023, PLTU captive tumbuh lima kali lipat dari 2,3 GW menjadi 11,2 GW. Mayoritas pertumbuhan ini menjadi sumber energi pabrik pengolahan mineral di Maluku Utara dan Sulawesi. Dari kapasitas PLTU captive yang beroperasi di tahun 2024 sebesar 15,3 GW, sebanyak 76% atau 11,6 GW diantaranya digunakan untuk mendukung pengolahan nikel.

 

Berbahan bakar dari batu bara, PLTU captive masih memproduksi emisi yang sangat besar. Bertambahnya kapasitas PLTU captive akan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca yang memperparah perubahan iklim. Laporan Climate Action Tracker menunjukkan bahwa PLTU ini dapat menambah emisi Indonesia sekitar 150 megaton CO2 pada 2030.



Ilusi transisi PLTU captive ala JETP

Dokumen progres JETP tidak memiliki rencana pemensiunan (phase-out) PLTU captive yang jelas. Baik dari lini masa, teknologi pengganti, hingga skema pendanaan. 

 

Alih-alih menghentikan operasinya secara terukur, dokumen ini justru memilih pendekatan phase-down yang lambat dan bertahap. Analisis Centre for Research on Energy and Clean Area (CREA) mengungkapkan skenario JETP hanya mengasumsikan penurunan emisi PLTU captive secara gradual selama satu dekade ke depan. 

 

Penurunan emisi terhadap PLTU captive yang sudah beroperasi maupun sedang dibangun pun hanya melalui intervensi yang paling ringan. Artinya, Program JETP justru masih membiarkan emisi tinggi terus berlangsung hingga akhir 2030-an.

 

Sementara itu, untuk proyek yang masih dalam tahap pra-izin atau sudah mendapatkan izin, pemodelan JETP hanya berupaya “mengintervensi” sebelum konstruksi dimulai dengan memodelkan opsi energi terbarukan yang dianggap menarik. Namun demikian, pendekatan ini tidak menjelaskan kebijakan atau instrumen keuangan apa yang diperlukan agar transisi tersebut benar-benar dapat diwujudkan.

 

Secara umum, dokumen ini tidak memberikan gambaran umum batas penghentian operasi PLTU captive pada 2050. Namun, tidak ada satu pun bagian yang menghadirkan linimasa pensiun yang rinci dan operasional. 

 

Berbeda dengan dokumen CIPP 2023, kali ini bahkan tidak ada daftar pembangkit yang akan menjadi pilot project untuk dipensiunkan lebih awal. Termasuk tidak ada peta jalan yang menjelaskan urutan prioritas unit-unit captive yang perlu segera diberhentikan. 

 

Tiga studi kasus yang dipaparkan dalam studi JETP 2025 kembali menekankan skema phase-down atau pengurangan batu bara dengan kombinasi energi baru dan energi terbarukan. Akibat ketiadaan roadmap yang jelas ini membuat rencana pensiun PLTU captive tampak sangat abstrak. 

 

Lagi-lagi solusi palsu: gas dan bioenergi

Dalam dokumen perkembangan JETP 2025, ambisi terhadap energi terbarukan masih sangat lemah. Salah satunya penetapan target terhadap energi yang terjamin rendah emisi seperti tenaga surya dan angin masih konservatif. Sementara, rencana untuk mengembangkan energi air dan bioenergi justru diprioritaskan.

Dokumen JETP mendorong kapasitas bioenergi meningkat lebih dari sepuluh kali lipat, dari hanya 1 GW pada 2024 menjadi 10,5 GW pada 2050. Padahal, banyak potensi risiko dari penggunaan bioenergi yang dilakukan secara masif. 

 

Misalnya untuk co-firing atau pembakaran bersama biomassa pelet kayu dan batu bara, bisa memicu deforestasi besar-besaran. Trend Asia mengungkapkan sebanyak 8 juta ton dari total kebutuhan 10,2 juta ton biomassa untuk co-firing tersebut berasal dari hutan tanaman energi (HTE). Angka deforestasi untuk memenuhi kebutuhan co-firing 5-10%, diperlukan 2,3 juta hektare lahan baru.

Solusi palsu lain yang masih dimasukkan ke dalam dokumen perkembangan JETP 2025 adalah gas fosil. Dalam rentang 10 tahun hingga 2035 mendatang, gas diproyeksi meningkat tiga kali lipat menjadi 7,3 GW. Proporsi gas alam yang akan menggantikan PLTU captive akan mencapai 11,5% dari total kapasitas yang ada. Meski diperkirakan bakal sempat menurun karena pasokan gas domestik yang ditaksir akan berkurang, penggunaannya cenderung stabil hingga 2050. 

 

Prioritas yang besar terhadap gas alam ini menjadi problematis. Gas fosil sebagian besar tersusun dari metana, dengan kandungan mencapai 95% setelah dibakar. Metana adalah gas rumah kaca yang 36 kali lebih kuat dari CO₂. Bahkan,  20 tahun terakhir efektivitasnya meningkat menjadi 82 kali lipat.

 

Selama ini gas sering dipromosikan sebagai “bahan bakar jembatan”. Padahal berbagai kajian menunjukkan bahwa ekspansi infrastruktur gas justru mengunci sistem ke dalam ketergantungan baru pada bahan bakar fosil. Mulai dari memperbesar risiko stranded assets hingga menunda investasi ke energi terbarukan berbiaya rendah seperti surya dan angin. 

 

Sementara, jika dilihat sekilas target energi surya memang mendominasi, tapi sebenarnya angka ini cenderung konservatif, mengingat potensinya di Indonesia jauh lebih besar. Menurut IESR, potensi surya bisa mencapai 207 GW atau empat kali lipat dari proyeksi JETP energi surya yang hanya 51 GW pada 2050.

 

Terlebih, potensi risiko dari energi surya jauh lebih kecil ketimbang bioenergi. Dengan memberi ruang pertumbuhan bioenergi yang jauh lebih lebih besar, skenario JETP justru memperkuat ketergantungan pada solusi yang rapuh dan memperpanjang penggunaan energi fosil. 

 

Bioenergi dan gas alam yang tumbuh pesat dalam proyeksi ini lebih mencerminkan pilihan transisi yang bermasalah. JETP justru tidak lagi menuju sistem energi yang benar-benar bersih dan berkelanjutan.

 

Memanfaatkan kebijakan seribu masalah: Perpres 112/2022

Pertumbuhan pesat PLTU captive tidak lepas dari celah regulasi dalam Perpres No 112/2022. Lewat sejumlah pasal, pembangunan PLTU captive baru diizinkan dengan dalih proyek strategis nasional (PSN), termasuk smelter nikel dan proyek hilirisasi lain, tanpa batasan kapasitas. 

 

Perpres ini juga mengizinkan pembangunan PLTU baru dengan syarat mampu menurunkan emisi 35%. Sementara proses reduksi yang dilakukan melalui teknologi bermasalah seperti CCS/CCUS dan co-firing biomassa.

 

Teknologi seperti CCS/CCUS masih diragukan kemampuannya dalam menangkap karbon dengan optimal. Di Kanada, misalnya, proyek PLTU Boundary Dam 3 gagal menangkap target 1 juta ton karbon. Sejak enam tahun beroperasi, hanya 44% CO2 yang berhasil ditangkap. IEEFA sendiri menyebut CCS sebagai ‘teknologi yang mahal dan belum terbukti’.

 

Pada awal November, muncul usulan revisi Perpres 112/2022 menandai kemunduran yang semakin jelas dari komitmen iklim Indonesia, termasuk ‘komitmen’ yang dibuat melalui JETP. Pada dasarnya, draf usulan revisi tersebut menghapus mandat moratorium PLTU. Pemerintah kembali menciptakan celah regulasi dengan mengizinkan pembangunan PLTU baru demi ‘keandalan sistem’ atau ‘integrasi industri’. 

 

Dalam konteks ini, target pengurangan emisi sebesar 35% dalam sepuluh tahun operasi menjadi tidak bermakna. Sebab, arah kebijakan justru semakin bergeser ke solusi semu seperti carbon offset, co-firing biomassa atau bahan bakar alternatif, serta pembangkit listrik hibrida berbasis fosil.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai usulan dalam revisi Perpres 112/2022 untuk menambah PLTU demi menjaga keandalan sistem sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebab, keandalan sistem bisa dipertahankan tanpa menambah PLTU batu bara. 

 

Menurut IESR, ekspansi jaringan dan transmisi serta energi terbarukan bisa dipadukan dengan sistem penyimpanan energi (energy storage). Mekanisme ini dapat menggantikan peran PLTU untuk menjaga keandalan.

 

Jika pemerintah terus membuka celah regulasi dan JETP kehilangan taringnya, risiko pembiayaan transisi energi akan semakin stagnan dan sulit membangun ekosistem yang mendukung energi terbarukan. Pada akhirnya, target net zero emission Indonesia akan semakin sulit dicapai.

Populer

Terbaru