6 Hal Krusial untuk Standar Nikel Hijau

Robby Irfany Maqoma Penulis

03 Juni 2025

total-read

23

8 Menit membaca

6 Hal Krusial untuk Standar Nikel Hijau

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia mengungkapkan rencana mereka untuk membuat standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) untuk komoditas nikel. “Standar hijau” ini bertujuan untuk membuat proses produksi nikel Indonesia yang lebih berkelanjutan sesuai tuntutan global.

 

Saat ini, produksi dan perdagangan nikel berjalan tanpa standar lingkungan yang jelas dan seragam, bahkan di tingkat global. Saat ini, pembuatan standar hijau juga menjadi perhatian bursa komoditas logam dunia, London Metal Exchange.

 

Standar hijau amat dibutuhkan mengingat nikel tergolong mineral kritis yang amat dibutuhkan dalam transisi energi terbarukan dunia. Selain menjadi bahan baku pembuatan baterai, nikel juga menjadi bahan baku krusial untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steel). Material ini penting untuk infrastruktur energi terbarukan seperti turbin angin, panel surya, hingga infrastruktur pembangkit listrik tenaga air (PLTA).   

 

Penyusunan standar hijau nikel perlu menjadi momentum perbaikan industri nikel agar lebih ramah lingkungan, terutama di Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia. Saat ini, industri nikel nasional—baik penambangan maupun pengolahan—turut bertanggung jawab terhadap emisi karbon, deforestasi, pencemaran air, hingga kesehatan warga.  

 

Enam hal krusial

 

Aturan Indonesia memungkinkan industri nikel yang terintegrasi, mulai dari penambangan yang menghasilkan bijih nikel, hingga pembuatan produk berbasis nikel mulai dari feronikel, nikel matte, hingga mixed hydroxide precipitate (MPH) yang penting untuk pembuatan baterai.

 

Alhasil, banyak hal yang perlu dievaluasi untuk merumuskan standar hijau nikel, mulai dari eksplorasi (pencarian sumber daya) hingga pengolahan limbah pabrik. Setidaknya ada enam hal yang perlu termuat dalam standar tersebut:

 

1. Emisi karbon

 

Emisi karbon merupakan komponen krusial yang perlu dibatasi dalam industri nikel. Tanpa pembatasan emisi, nikel akan terus diproduksi sebanyak-banyaknya dengan cara yang tak memedulikan pelepasan gas rumah kaca—memperparah perubahan iklim. Pembatasan juga selaras dengan tujuan global dalam Perjanjian Paris untuk menahan laju kenaikan suhu Bumi di angka 2°C pada 2050.

 

Saat ini jejak karbon nikel bervariasi, mulai dari 6 ton hingga 100 ton CO2 per ton. Besarannya bergantung pada karakteristik cadangan nikel, metode penambangan hingga pengolahan, dan sumber energi yang digunakan.

 

Standar nikel hijau Indonesia perlu membatasi emisi tersebut, tak sekadar untuk aspek penambangan. Sejauh ini, LME mewacanakan pembatasan jejak emisi nikel di angka 20 ton CO2 per ton untuk nikel Class-1 (kadar kemurnian yang tinggi). 

 

Agar selaras dengan standar global, Industri nikel Indonesia layak mempertimbangkan angka tersebut sebagai acuan. Kalau perlu, industri nikel tanah air bisa melangkah lebih maju untuk membuat standar emisi yang lebih ketat, di bawah 20 ton CO2 per ton.

 

Untuk mencapai bahkan melebihi angka emisi itu, industri nikel perlu menyepakati penggunaan energi terbarukan dalam tahap ekstraksi dan pengolahan. Saat ini, hampir seluruh industri pengolahan nikel Indonesia menggunakan PLTU batu bara sebagai sumber energi. 

 

Per Juli 2024, kapasitas PLTU khusus industri pertambangan (sebagian besar untuk industri nikel) atau PLTU captive tercatat meningkat tiga kali lipat dari 5,7 gigawatt (GW) menjadi 15,2 GW. Kapasitas ini masih bertumbuh hingga 2026, dengan adanya 11 GW PLTU captive yang AKAN beroperasi. 

 

Laporan Climate Action Tracker menunjukkan bahwa PLTU ini dapat menambah emisi sekitar 150 megaton CO2 pada 2030—setara 15% emisi sektor energi Indonesia pada 2023.

 

2. Pengolahan limbah

 

Industri nikel perlu memastikan limbah hasil pertambangan ataupun aktivitas terkait lainnya tidak mencemari lingkungan.

 

Beberapa tahun belakangan, industri nikel menjadi sorotan karena praktik pembuangan limbah yang mencemari laut. Perairan sekitar pabrik nikel terintegrasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Sulawesi misalnya, mengalami pencemaran kromium heksavalen—zat kimia beracun dan memicu kanker—yang melebihi baku mutu air dan biota laut. Zat ini diduga berasal dari bijih dan material sisa pertambangan (slag) yang tumpah dari pelabuhan dan pipa pertambangan.

 

Pencemaran lainnya terjadi di Teluk Weda, sentra produksi nikel lainnya di pulau Halmahera, Maluku Utara. Studi terbaru dari Nexus Foundation bersama Center for Research of Energy and Clean Air (CREA) menemukan kandungan logam berat seperti merkuri dan arsen dalam ikan dan juga darah manusia di sekitar kawasan industri tersebut. Paparan merkuri berlebihan berisiko merusak sistem pencernaan, pernapasan, hingga saraf. Sementara arsen dapat memicu kanker dan berbahaya bagi jantung, sistem hormon, dan kecerdasan anak.

 

Masalah pencemaran tak hanya berasal dari penambangan dan pengolahan. Energi batu bara yang digunakan pun menciptakan persoalan lingkungan. Misalnya, udara di sekitar PLTU captive di IMIP sudah tercemar partikel debu (PM)10, PM2,5, dan sulfur oksida yang melebihi baku mutu dan berbahaya bagi pernapasan. Ketiganya merupakan material hasil pembakaran batu bara.

Risiko kematian akibat penggunaan PLTU dalam smelter, daerah kaya nikel menjadi yang terbanyak. (Sumber: CREA)

 

Industri nikel harus segera merumuskan standar, terutama baku mutu kualitas lingkungan di sekitarnya untuk mencegah pencemaran yang terjadi di kemudian hari. Standar ini juga perlu menjadi acuan untuk memaksa industri yang terbukti mencemari lingkungan untuk memulihkannya seperti sedia kala. 

 

3. Keterlibatan masyarakat

 

Partisipasi masyarakat secara bermakna merupakan tolok ukur keberlanjutan terpenting di setiap proyek. Pasalnya, masyarakat lokal akan menerima dampak secara langsung proyek nikel—mulai dari kehilangan lahan, mata pencaharian, risiko lingkungan dan kesehatan yang terjadi di kemudian hari.

 

Oleh karena itu, standar hijau dalam industri nikel perlu memastikan masyarakat mendapatkan tempat yang memadai. Seluruh proyek nikel seharusnya berlangsung dengan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC), yakni adanya persetujuan warga yang bebas dari tekanan, setelah mereka mengetahui potensi dampak yang komprehensif atas suatu proyek.

 

Selain terlibat dalam perencanaan, masyarakat juga perlu mendapatkan kanal yang memadai sebagai sarana pengaduan apabila terjadi masalah dalam proyek nikel. Melalui kanal ini, berbagai masalah dapat diatasi dengan penyelesaian yang adil, terutama bagi masyarakat. Studi membuktikan bahwa industri nikel yang berhasil melibatkan warga secara bermakna berpotensi lebih diterima oleh masyarakat di wilayah operasinya.

 

4. Keselamatan kerja

 

Standar hijau nikel perlu dibuat untuk memastikan kesehatan dan keselamatan para pekerjanya. Perlu ada audit terkait hal ini secara berkala dalam operasi industri nikel untuk menentukan kelayakan pelaku usaha untuk memeroleh standar hijau. 

 

Beberapa tahun belakangan, industri nikel menjadi sorotan karena berbagai kasus kecelakaan kerja yang menimpa karyawan. Lembaga TrendAsia mencatat, selama 2015-2023 ada 93 kejadian kerja terkait industri nikel. Kecelakaan ini termasuk ledakan pada akhir 2023 yang merenggut nyawa 21 pekerja.

 

Kecelakaan ini diduga berakar dari penegakan aturan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang lemah. Industri nikel di Bantaeng; Sulawesi Selatan, misalnya, tidak dibekali dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai. Banyak pula pekerja yang tidak memperoleh hak K3 dasar seperti masker N93 untuk melindungi diri dari polusi. 

 

5. Pembatasan ekspansi

 

Industri nikel perlu memastikan penambangan sumber daya nikel dilakukan secara berkelanjutan. Berkaca dari berbagai “ledakan komoditas” seperti minyak dan gas bumi, serta kelapa sawit, ekspansi besar-besaran—selain memakan banyak lahan dan merusak lingkungan, juga menciptakan beragam masalah sosial. Standar hijau nikel seharusnya bisa memastikan keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan baik di daerah sekitar maupun dalam rantai pasoknya.

 

Sebaran konsesi nikel Indonesia yang banyak berada di kawasan hutan primer (hijau tua). Tampak pula sebagian konsesi (merah) tumpang tindih dengan kawasan lindung (hijau muda). (Sumber: Auriga, Earth Insight)

 

Masalah akibat ledakan komoditas nikel sedianya dapat diredam sejak tahap eksplorasi. Cadangan nikel Indonesia banyak berlokasi di pulau-pulau kecil dan kawasan hutan. Standar ini dapat melarang eksplorasi nikel yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, terutama hutan konservasi dan hutan lindung yang penting bagi keanekaragaman hayati dan masyarakat. 

 

Standar ini juga dapat menjadi acuan untuk audit pertambangan dan pengolahan nikel yang sebelumnya berlokasi di kawasan hutan dan ekosistem penting lainnya (seperti mangrove, karst, dan lamun). Tujuannya agar operasi industri nikel dapat mengelola operasinya agar tidak membahayakan ekosistem, serta memulihkannya segera setelah industri tersebut selesai beroperasi.

 

6. Kepatuhan

 

Kepatuhan menjadi aspek terpenting yang seharusnya menjadi akar dari standar nikel hijau. Selama ini, berbagai masalah terkait nikel seperti pencemaran dan pelanggaran hak-hak dasar warga turut berakar dari lemahnya kepatuhan industri dan pengawasan aturan oleh pemerintah.

 

Produksi nikel juga masih dibayangi oleh pelanggaran hukum dan kejahatan seperti korupsi. Berbagai aktor mulai dari elit desa, aparat, organisasi masyarakat, dan pengusaha turut memanfaatkan celah lemahnya pengawasan industri nikel untuk melakukan korupsi mulai dari jual-beli izin tambang, dokumen pengapalan, hingga lahan desa untuk meraup keuntungan pribadi.

 

Standar nikel juga mesti betul-betul ampuh untuk meredam maraknya penambangan ilegal, terutama di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di dua daerah ini, penambangan tak berizin telah membabat 5 ribu hektare hutan.

 

Belajar dari standar sawit

 

Kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang memiliki standar keberlanjutan dan memiliki lembaga independen yakni Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Penyusunan standar hijau nikel dapat belajar dari RSPO, termasuk kelemahannya: terlalu berat sebelah ke perusahaan, bukan ke masyarakat.

 

Penyusunan dan penerapan standar nikel harus mencerminkan keadilan bagi seluruh pihak. Penegakan standar juga harus dibekali sistem penelusuran (traceability) agar publik dapat mengetahui asal-usul nikel dari penambangan hingga pemurnian. Berkaca dari RSPO, standar sawit hijau ini tak memiliki sistem ketelusuran hingga ke tahap hulu (perkebunan).

 

Terakhir, penyusunan standar juga harus dilakukan industri bersama pemerintah, masyarakat (termasuk kelompok rentan seperti perempuan dan masyarakat adat), akademisi, dan pihak terkait lainnya. Untuk memastikan penegakannya, standar juga harus menjadi kewajiban bagi seluruh industri nikel Indonesia yang diatur pemerintah.

Populer

Terbaru