Oversupply Listrik dan Beban Ganda Energi Fosil
Sartika Nur Shalati, Robby Irfany Maqoma • Penulis
11 Agustus 2025
12
• 8 Menit membaca

Dari tahun ke tahun, Indonesia masih mengalami masalah kelebihan pasokan (oversupply) listrik yang terus merugikan keuangan negara. Berdasarkan perhitungan CERAH, negara harus membayar total Rp341,5 triliun ke produsen listrik swasta (Independent power producer/IPP) selama 2015-2024—atas produksi listrik 329 gigawatt jam (GWh) yang tak terpakai. Angka ini bahkan melampaui total penjualan listrik PT PLN (Persero) di seluruh Indonesia tahun lalu.
Persoalan ini berhulu dari perencanaan pemerintah yang terlalu ambisius menambah pembangkit listrik melalui Fast Track Program (FTP) sejak 2006 dan Program 35 gigawatt (GW) pada 2015, yang didasari proyeksi peningkatan permintaan listrik yang tidak realistis. Masalah diperparah oleh sistem kerjasama pembelian listrik (Power Purchase Agreement/PPA) antara PT PLN (Persero) dengan pihak swasta yang menggunakan skema Take or Pay, di mana PLN wajib membeli seluruh listrik yang dihasilkan swasta meskipun listrik tersebut tidak digunakan.
Mayoritas listrik yang dihasilkan juga berasal dari pembangkit listrik energi fosil yakni batu bara dan gas, yang tak hanya mahal, tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan, hingga mengakibatkan masalah kesehatan dan kematian dini bagi puluhan ribu jiwa.
Sayangnya, alih-alih belajar dari kesalahan, pemerintah berisiko memperpanjang kondisi oversupply listrik—bahkan memperparahnya. Sebab, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 cenderung menggunakan pola serupa (berbasis energi fosil maupun pembangkit berskala besar) tanpa perombakan model kerja sama antara PT PLN (Persero) dengan produsen listrik swasta.
Kerugian oversupply listrik energi fosil
Sejak 2015, PLN sudah mengalami oversupply 31 ribu GWh listrik senilai Rp 32 triliun. Pada 2024, nilai tersebut melonjak menjadi Rp44,1 triliun dengan angka oversupply sebesar 37,6 ribu GWh.
Tren biaya yang harus ditanggung PLN akibat oversupply listrik selama 2015-2024 (Sumber: PLN, diolah Cerah, infografis: Irene Esterlita)
Risiko oversupply diproyeksi akan jauh lebih buruk dalam RUPTL 2025-2034. Sebab, pemerintah meramalkan penjualan listrik akan melesat, bahkan melebihi 400 ribu GWh pada 2029. Kenaikan penjualan ini seiring dengan target pertumbuhan ekonomi 8% yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.
Optimisme ini bertumpu pada asumsi derasnya investasi di berbagai lini: kawasan industri, pusat data, lonjakan adopsi kendaraan listrik, hingga geliat ekonomi di destinasi pariwisata superprioritas. Namun, cukupkah asumsi tersebut menjadi dasar keyakinan bahwa permintaan listrik akan melonjak?
Masalahnya, sinyal-sinyal di lapangan menunjukkan sinyal sebaliknya. Ekonomi global masih tertekan oleh perang dagang negara-negara besar seperti Amerika Serikat-China, diperburuk dengan adanya agresi Israel ke Gaza, dan perang Rusia-Ukraina.
Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 tak sampai 5%—terendah sejak pandemi–disertai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berlangsung sejak 2024, yang turut menguatkan sinyal bahwa industri kian lesu. Indikator ini memberi pesan jelas bahwa daya serap listrik oleh industri mungkin tak secerah yang diproyeksikan pemerintah.
Potongan dari paparan pemerintah bahwa pertumbuhan permintaan listrik akan naik seiring pertumbuhan ekonomi 8% mulai 2029 (Sumber: Kementerian ESDM, infografis: Irene Esterlita).
Prediksi yang ambisius ini mengingatkan pada RUPTL 2015-2024, yang saat itu disusun berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 7%. Kenyataannya? selama satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi tidak pernah menyentuh angka tersebut—rata-rata hanya sekitar 5%, sehingga konsumsi listrik tumbuh jauh di bawah proyeksi.
Pertumbuhan PDB Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. (Sumber: BPS, infografis: Irene Esterlita)
Selain itu, ambisi pemerintah menggerakkan ekonomi dengan mendorong investasi pendirian kawasan-kawasan industri maupun pusat data bisa jadi tak manjur. Pasalnya, saat ini kebanyakan investor sangat memperhatikan aspek keberlanjutan, termasuk penggunaan 100% listrik mereka dari energi terbarukan.
Koalisi RE100 yang beranggotakan 430 perusahaan di seluruh dunia, berkomitmen menggunakan 100% listrik energi terbarukan di seluruh lini produksi dan rantai pasok mereka pada 2050. Sejak September 2024, koalisi ini bahkan menyurati Presiden RI ke-7 Joko Widodo untuk mengakselerasi penggunaan energi terbarukan agar penambahan kapasitas listrik Indonesia bisa sejalan dengan target hijau koalisi.
Namun harapan investor masih bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah. Hingga 2034, energi terbarukan hanya menyumbang sekitar 34% dari total bauran energi ketenagalistrikan nasional. Energi fosil masih jadi tulang punggung sistem kelistrikan kita. Hal ini berisiko membuat Indonesia ditinggalkan investor global.
Rencana penambahan kapasitas energi terbarukan dalam RUPTL 2025-2034 sebesar 42 GW, bahkan berisiko tidak tercapai. Hal ini karena 72% dari total rencana pembangkit energi terbarukan baru akan dijadwalkan beroperasi pada paruh kedua RUPTL (2030-2034). Sementara di paruh pertama (2025-2029), pemerintah justru memprioritaskan penambahan kapasitas energi fosil (76% dari total kapasitas baru yang direncanakan).
Model perencanaan ini rawan menimbulkan curtailment–pengurangan produksi listrik energi terbarukan karena hambatan teknis, ketidakseimbangan pasokan, pertumbuhan ekonomi yang tidak selaras dengan target, hingga keterbatasan jaringan. Dalih ini, yang sudah lama menjadi alasan pemerintah, semakin menunjukkan sikap setengah hati dalam beralih ke energi terbarukan.
Kerugian berganda
Masalah oversupply listrik akibat skema Take or Pay jelas merugikan PLN. Sebab, perseroan tetap wajib membayar listrik yang sudah terlanjur dihasilkan oleh produsen listrik swasta.
Kerugian PLN secara tidak langsung akan ditanggung oleh negara. Sebab, negara memberikan subsidi listrik kepada pelanggan listrik rumah tangga golongan tertentu. Negara juga memberikan kompensasi kepada PLN agar menjaga tarif listrik tetap terjangkau bagi masyarakat. Pada 2023, subsidi dan kompensasi yang diberikan negara kepada PLN mencapai Rp142,6 triliun dan naik menjadi Rp177 triliun pada 2024.
Kenaikan beban tersebut jamak terjadi ketika biaya produksi listrik sedang tinggi karena pelemahan kurs rupiah terhadap dolar, ataupun kenaikan harga bahan bakar fosil. Apalagi, beban pengeluaran PLN paling besar memang berasal dari pembelian bahan bakar (37%) dan listrik dari swasta (36%)-yang lebih dari 80% di antaranya juga berasal dari fosil.
Biaya ini akan semakin membengkak dengan masuknya 16,6 GW pembangkit fosil di RUPTL 2025-2034. Salah satu contohnya pembangkit gas 10,3 GW, berpotensi meningkatkan pembelian bahan bakar dan subsidi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) mencapai Rp 155,8 triliun.
Selain itu, skema take or pay ini bisa berefek domino. Bagi keuangan PLN misalnya, perseroan akan mempunyai lebih sedikit dana yang semestinya bisa digelontorkan untuk infrastruktur listrik lainnya. Salah satu yang terdampak misalnya modernisasi jaringan yang sangat penting untuk mengakomodasi listrik energi terbarukan dalam jumlah besar.
Akibatnya, PLN akan semakin bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ketimbang aktivitas bisnis perusahaan. Hal ini terlihat dari pendapatan usaha PLN dari hasil penjualan listrik dan lainnya, (di luar subsidi dan kompensasi APBN), lebih rendah ketimbang beban usahanya, menyebabkan kerugian PLN pada 2024 mencapai Rp 55 triliun. Di saat yang sama, utang PLN pada 2024 telah mencapai Rp711,2 triliun—naik dari Rp655 triliun pada 2023.
RUPTL 2025-2034 bahkan sudah menaksir perencanaan 10 tahun ke depan akan membuat keuangan PLN tidak sehat. Ada beberapa opsi dari PLN untuk menjaga kesehatannya: menaikkan tarif listrik ataupun penanaman modal negara setidaknya Rp240 triliun hingga 10 tahun mendatang.
Pemenuhan kedua opsi ini secara langsung akan berdampak bagi kesehatan kas negara—sebuah paradoks di tengah gembar-gembor efisiensi anggaran oleh Prabowo.
Korban terparah dari oversupply listrik adalah masyarakat. Selain risiko kenaikan tarif dan belanja negara yang membengkak, masyarakat akan menghadapi risiko lingkungan secara langsung di daerah sekitar pembangkit energi fosil. Masyarakat berpendapatan menengah ke bawah bisa menanggung dampak bencana iklim yang lebih parah seperti banjir, kenaikan muka air laut, tanah longsor, hingga kebakaran hutan.
Merombak RUPTL secara komprehensif
Untuk mencegah dampak terburuk oversupply, Indonesia membutuhkan perombakan RUPTL. Namun, perombakan ini tak bisa hanya berkutat pada pengurangan pembangkit listrik.
Pemerintah harus merencanakan pembangunan pembangkit sesuai kebutuhan dan tren saat ini. Langkah pertama adalah membatalkan rencana pembangunan energi fosil, menyusun rencana pengakhiran pembangkit energi fosil yang ada, kemudian menggantikannya dengan energi terbarukan.
Pembangunan energi terbarukan pun tak bisa lagi mengandalkan pola lama, yakni PLN menyerap listrik dari pembangkit besar dari produsen swasta dengan jaminan pembelian dan skema take or pay. Perencanaan harus bermula dari kebutuhan berbagai jenis pelanggan.
Bagi pelanggan industri, penyediaan listrik energi terbarukan bisa berasal dari pembangkit berskala besar. Namun, perumusannya harus melibatkan calon konsumen (pelaku industri) untuk memastikan produksi listrik massif tersebut benar-benar digunakan. Pemerintah pun perlu membuka opsi pembangunan pembangkit energi terbarukan captive yang hanya melayani industri tertentu di luar jaringan PLN.
Sementara bagi pelanggan bisnis, pemerintah juga perlu memfasilitasi upaya mereka memenuhi kebutuhan listrik energi terbarukan yang lebih efisien, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap bangunan.
Untuk pelanggan rumah tangga, RUPTL dapat memasukkan perencanaan pembangunan energi terbarukan berbasis komunitas. Sebab, masyarakat perlu mendapat kebebasan untuk menentukan sumber maupun jumlah pasokan listrik mereka sendiri. Riset Center for Economic and Law Studies (CELIOS) bahkan menaksir model pengembangan ini bisa menciptakan manfaat ekonomi hingga Rp18 ribu triliun dalam 25 tahun ke depan.
Terakhir, upaya perombakan ini tentu perlu ditopang oleh perbaikan regulasi dan iklim investasi Indonesia yang ramah terhadap aktivitas usaha bisnis berkelanjutan.
-
Sartika Nur Shalati merupakan Policy Strategist CERAH.