Akibat Transisi Energi yang Tak Berkeadilan: 3 Cerita Masyarakat Terdampak
Sita Mellia • Penulis
20 Juni 2025
9
• 5 Menit membaca

Spanduk warga menolak tambang nikel Raja Ampat (Sumber: Pusaka.or.id).
Transisi energi adalah agenda peralihan penggunaan energi fosil menuju energi yang lebih bersih, agar menciptakan lingkungan yang sehat dan tercapainya keadilan iklim. Sayangnya, masih ada sejumlah proyek transisi energi yang hanya mengejar keuntungan ekonomi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Proyek-proyek ini meminggirkan masyarakat adat sehingga mencederai cita-cita keadilan iklim.
1. Masyarakat adat Kawei dan warga pulau Gag di Raja Ampat
Sejak 2007, Kepulauan Raja Ampat berstatus kawasan konservasi laut dan menyandang predikat UNESCO Global Geopark sejak 2023. Kawasan ini juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat Kawei di Pulau Manyaifun, maupun masyarakat Maya yang dipercaya sebagai penghuni pertama di pulau-pulau besar kepulauan ini.
Kendati begitu, kehidupan mereka terusik karena masuknya pertambangan nikel yang masuk tahap pengerukan sejak 2017. Sebagian nikel di wilayah ini dikirimkan ke fasilitas pengolahan untuk memproduksi prekursor sebagai bahan baku baterai listrik.
Masyarakat adat Kawei menolak penambangan nikel di Pulau Manyaifun lantaran menyebabkan deforestasi masif yang mengancam lahan warga adat dan bisnis pariwisata. Pasalnya, lokasi Pulau Manyaifun dekat dengan ikon wisata Raja Ampat yang menjadi rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia. Masifnya deforestasi memicu banyaknya sedimentasi yang mencemari perairan dan berisiko membuat karang ‘sesak napas’, apa lagi saat hujan turun.
Penambangan nikel di Pulau Kawei, Februari 2025. (Sumber: Greenpeace)
Warga Papua di Pulau Gag, yang telah mendiami pulau tersebut sejak 1940-an -meski belum mendapat pengakuan hukum adat- juga mengalami nasib yang sama. Luas Pulau Gag yang hanya 6.030,53 hektar diketahui telah mengalami deforestasi seluas 309 hektare sejak adanya operasi penambangan nikel oleh PT Gag Nikel. Akibatnya, warga kini harus menghadapi risiko berkurangnya jumlah tangkapan ikan akibat sedimentasi yang telah mencemari perairan sejak 2022.
Menurut investigasi Greenpeace, PT Gag Nikel membawa bijih nikel melalui kapal tongkang untuk diolah menjadi baterai kendaraan listrik di Kawasan Industri Weda Bay (IWIP), Halmahera, Maluku Utara. PT Gag Nikel juga diketahui minim melibatkan warga Papua Barat Daya.
Setelah tekanan publik ramai di media sosial, pemerintah langsung mencabut izin empat perusahaan tambang, tetapi mempertahankan izin PT Gag Nikel. Padahal, PT Gag Nikel memiliki izin operasi yang paling lama dibanding keempat perusahaan lain, yakni hingga 2047. Sementara empat perusahaan yang telah dicabut izinnya memiliki izin usaha hingga 2033-2034.
2. Masyarakat Adat di Poco Leok, NTT
Tepat di Hari Lingkungan Hidup pada Kamis, 5 Juni 2025 kemarin, ribuan warga Manggarai, Pulau Flores, NTT menyerukan aksi di depan gedung DPRD untuk menolak proyek panas bumi di Poco Leok. Aksi warga dipicu oleh rencana PT PLN (Persero) memperluas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, yang semula 7,5 MW menjadi 40 MW.
Ekspansi PLTP ini mencakup 60 titik pengeboran, di tiga desa di Kecamatan Satar Mese—Desa Lungar, Mocok, dan Golo Muntas—yang menjadi rumah bagi 13 kampung adat.
Demonstrasi warga menolak penambangan panas bumi Poco Leok, NTT, Oktober 2024 (Sumber: Jatam).
Sejak awal, penolakan warga kerap dibalas kekerasan oleh aparat. PLN, dengan dikawal aparat kepolisian dan TNI. Perusahaan secara tiba-tiba mendatangi titik-titik pengeboran, tanpa berdialog dengan warga setempat. Warga pun mengaku tidak pernah menjual tanah mereka untuk proyek panas bumi ini. Satu orang jurnalis dan tiga warga juga ditangkap polisi saat menolak pengukuran lahan proyek pada Oktober 2024.
Padahal, kekhawatiran warga atas perluasan proyek PLTP Ulumbu ke Poco Leok beralasan. Ekspansi proyek PLTP Ulumbu berisiko menyebabkan kerusakan lahan sekaligus sumber air warga.
Kebocoran H2S atau hidrogen sulfida—gas beracun yang mengganggu pernapasan hingga menyebabkan kematian—di beberapa PLTP sebelumnya juga menambah keresahan. Di Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan Dieng, Jawa Tengah, kebocoran H2S telah menewaskan lima orang dan meracuni lebih dari 275 warga. Selain itu, proyek PLTP Cibitung di Jawa Barat pada 2015, mengakibatkan 54 kepala keluarga (KK)—sekitar 200 orang—terdampak longsor disertai suara ledakan.
Alih-alih menampung suara warga lewat sosialisasi, warga adat Poco Leok justru mengalami banyak kriminalisasi. Pada 3 Maret lalu, lima warga adat dilaporkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai ke Polres Manggarai dengan tuduhan perusakan gerbang Kantor Bupati saat aksi damai.
Pemerintah sebenarnya dapat memfasilitasi dan mendukung kemandirian energi masyarakat adatnya. Misalnya, pemerintah daerah dapat mempromosikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang dibangun oleh Masyarakat Adat di Moi dan Flores. Dukungan juga bisa berupa bantuan dana perawatan ataupun pelatihan teknis pengelolaan pembangkit untuk warga. Sayangnya, upaya ini justru tidak dilakukan pemerintah.
3. Masyarakat Adat Toraja, Sulawesi Selatan
Potret ketidakadilan juga dapat kita lihat dari kisah warga adat Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Warga Toraja mulanya menggantungkan perekonomian dari debit air sungai Maiting sebagai lokasi wisata arung jeram. Namun, pada 2022, bisnis wisata arung jeram mati total sebab debit air sungai sudah tak lagi sederas sebelumnya.
Perubahan debit terjadi karena beroperasinya PLTMH Ma’dong dengan kapasitas 10 MW yang memanfaatkan aliran sungai yang sama. Meski PLTMH Ma’dong telah mengaliri listrik ke 10.000 rumah tangga, warga tidak lagi memiliki sumber perekonomian yang berkelanjutan.
Keluhan lainnya, PLTMH Ma’dong menimbulkan polusi suara. Aktivitas pengeboran untuk infrastruktur pembangkit juga menimbulkan suara dentuman yang mengganggu warga sekitar. Proyek ini pun dinilai melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Toraja Utara karena lokasi Lembang Paku dan Ma’dong bukan termasuk sebagai zona energi.
Belajar dari tiga kisah tersebut, pemerintah dan PLN sebaiknya tidak hanya menjadikan proyek energi terbarukan untuk menaikkan angka elektrifikasi dan bauran energi terbarukan semata semata. Pelaksanaan proyek juga harus memenuhi aspek keadilan sehingga transisi energi betul-betul mendongkrak kesejahteraan warga, bukan sebaliknya.