Antara Ambisi dan Realisasi: Setahun Kebijakan Energi Terbarukan Presiden Prabowo
Cintya Faliana • Penulis
22 Oktober 2025
15
• 4 Menit membaca

Tepat satu tahun setelah Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden Indonesia, sejumlah kebijakan terkait transisi energi maupun energi terbarukan telah dikeluarkan. Lewat pernyataan di sejumlah acara, Prabowo juga menegaskan ambisinya untuk menghentikan penggunaan seluruh PLTU batu bara dalam 15 tahun ke depan.
Presiden Prabowo juga menjanjikan bauran energi terbarukan 100% bagi Indonesia pada 2035 mendatang. Salah satunya program 100 GigaWatt (GW) PLTS melalui Koperasi Desa Merah Putih.
Cita-cita ketahanan energi yang diinginkan Prabowo juga dituangkan melalui dana ketahanan energi yang mencapai Rp402 triliun pada 2026 mendatang. Meski tidak seluruhnya untuk transisi energi, tapi langkah ini menjadi sinyal positif untuk sektor energi Indonesia.
Pernyataan ambisius Presiden Prabowo seharusnya direalisasikan lewat kebijakan yang mendukung pemanfaatan energi terbarukan serta mengurangi energi fosil. Namun, sudah sejalankah kebijakan energi Presiden Prabowo selama ini?
Satu tahun kebijakan energi Prabowo Subianto
Dalam satu tahun terakhir, terdapat lima peraturan terkait transisi energi yang perlu disorot. Pertama, Peraturan Pemerintah No 40/2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kedua, Peraturan Presiden No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Berikutnya adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 10/2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Keempat, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Terakhir adalah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2025-2034.
Policy Strategist Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, mengungkapkan bahwa berbagai kebijakan yang dikeluarkan justru tidak sejalan satu sama lain. Misalnya, terdapat perbedaan target bauran energi terbarukan dalam dokumen KEN, RUKN, dan RUPTL 2025-2034.
Dengan proyeksi yang berbeda, target 100% energi terbarukan yang dinyatakan Presiden Prabowo jelas sulit tercapai. RUPTL 2025-2035 yang memiliki target bauran tertinggi sebesar 34,3% saja akan kesulitan untuk mengejar sisa 70% dalam waktu singkat.
“Hal ini menciptakan kesan bahwa arah kebijakan energi Indonesia tidak konsisten. Dampak langsung yang akan terjadi adalah masyarakat, investor, dan dan pelaku industri energi akan bertanya-tanya, apakah Indonesia akan mempercepat transisi energi atau masih akan bergantung pada energi fosil?” ujar Wicaksono dalam diskusi “CERAH Expert Panel”, Jumat (17/10).
Selain itu, penggunaan teknologi seperti Carbon Capture and Storage (CCS) dan co-firing biomassa juga masih muncul. Padahal, riset tahun 2024 menyebutkan CCS belum terbukti efektif.
Sementara data Forest Watch Indonesia dan Trend Asia (2023) memperkirakan, untuk memenuhi kebutuhan co-firing 5–10%, diperlukan 2,3 juta hektare lahan baru. Bukannya menurunkan emisi, praktik ini justru bisa menambah beban lingkungan dan memperparah deforestasi.
Terakhir, implementasi rencana pembangunan energi terbarukan dalam RUPTL 2025–2034 patut diawasi. Sebesar 30,4 GW kapasitas pembangkit baru dibebankan pada lima tahun kedua, padahal RUPTL kini hanya diperbarui setiap empat tahun.
“Terlebih, 2029 merupakan tahun pemilu presiden. Jika Indonesia berganti kepemimpinan atau pun Prabowo melanjutkan jabatan hingga 2034, apakah rencana ini akan tetap dilanjutkan?” tutur Wicak.
Prioritas setahun ke depan
Senior Analyst EMBER, Dody Setiawan, mengungkapkan tantangan utama meningkatkan bauran energi terbarukan saat ini adalah sulitnya pengadaaan energi terbarukan dari PLN.
Dody menyoroti perencanaan proyek yang kurang matang sering kali menghambat pengadaan energi terbarukan. Tantangan lain muncul dari ketidakpastian penjadwalan pengadaan. Akibatnya proses tender dan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) berjalan lambat dan tidak sinkron dengan target pembangunan pembangkit baru.
Selain itu, banyak PJBL dinilai tidak bankable karena ketentuan tarif dan struktur kontrak yang belum memberikan kepastian pendapatan bagi investor. Hal ini menimbulkan risiko finansial tinggi, terutama bagi proyek-proyek PLTS dan PLTB yang memerlukan dukungan pembiayaan jangka panjang.
Reformasi dalam desain kontrak, transparansi proses pengadaan, dan koordinasi antar anak perusahaan PLN sangat dibutuhkan. Jika tidak ada perbaikan, maka percepatan energi terbarukan di Indonesia akan sulit mencapai skala yang dibutuhkan untuk transisi energi nasional.
Untuk itu, prioritas utama dalam satu tahun ke depan adalah menciptakan kejelasan dan transparansi timeline tender. Dengan kondisi saat ini, pengembang akan kesulitan mempersiapkan diri secara optimal.
Ketidakjelasan ini juga berpotensi menunda realisasi proyek dan menurunkan kepercayaan investor terhadap komitmen Indonesia dalam mempercepat transisi energi.
Dody menekankan bahwa linimasa pengadaan harus dibuat dan dipublikasikan secara transparan. Mulai dari tahap perencanaan, pengumuman, seleksi, hingga penandatanganan PJBL. Transparansi jadwal juga akan membantu menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif.
Transparansi akan memberikan sinyal yang jelas tentang arah dan kesiapan proyek energi terbarukan nasional. Tanpa langkah ini, target ambisius dalam RUPTL berisiko kembali tertunda di level implementasi.
Terkait kebijakan, Wicak menilai keselarasan KEN dan RUKN harus mencerminkan target transisi energi yang ambisius. Salah satunya melalui RUPTL yang diperbarui setiap tahun agar transisi energi memiliki arah yang jelas dan terukur.
Pada akhirnya, political will yang kuat harus diterjemahkan dalam kebijakan yang riil agar wacana dapat tereksekusi dan visi Indonesia emas 2045 bisa diwujudkan.




