Pahit Manis Oleh-oleh Belém: Arah Iklim Indonesia pasca-COP30

Sita Mellia Penulis

08 Desember 2025

total-read

4

4 Menit membaca

Pahit Manis Oleh-oleh Belém: Arah Iklim Indonesia pasca-COP30

Kredit foto: Raimundo Pacco - COP30

Konferensi perubahan iklim (Conference of Parties) ke-30 di Belém, Brasil, menandai titik krusial dalam upaya memperkuat kesepakatan pendanaan iklim dan memastikan upaya mitigasi krisis iklim yang berkeadilan. Beberapa lembaga menyoroti sejumlah peluang yang muncul dari pertemuan tahunan ini bagi transisi energi Indonesia. 

Misalnya Wira A Swadana, Climate Action Senior Lead di World Resources Institute (WRI) Indonesia. Ia memaparkan bagaimana COP30 menciptakan peluang bagi transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia. 

Wira menyebutkan, komitmen dari Asian Development Bank (ADB) dan World Bank untuk menggelontorkan dana sebesar US$12.5 miliar untuk ASEAN Power Grid, menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengakses listrik bersih dari negara tetangga. Kemudian ada Global Grid Catalyst yang mengeluarkan pendanaan US$7 juta untuk membiayai proyek modernisasi jaringan dan storage (penyimpanan) mulai 2026.

“Indonesia bisa mencoba mencari peluang pendanaan dari (entitas) non-parties seperti World Bank dan ADB,” tambah Wira.

Kabar baik lainnya, adanya negara maju yang akan melakukan fossil/coal phase out di tahun 2040, yakni Korea Selatan. Menurut Wira, komitmen Korea Selatan akan mengubah dinamika transisi energi di COP31 menuju arah yang lebih optimis karena tekanan global untuk fossil fuel phase out akan semakin tinggi. Beberapa negara eropa seperti Spanyol dan Belanda juga sudah mendukung fossil fuel phase out.

Sementara itu, Riko Wahyudi, Peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, juga menyoroti peluang baik yang dihasilkan COP30 yang memperketat standar akuntabilitas dan transparansi pasar karbon global melalui laporan tahunan. Negara yang  inkonsisten dalam pelaporan akan ‘dipermalukan’ atau disebutkan secara terbuka pada Annual Technical Review Synthesis Report. Para ahli dalam technical review ini telah ditunjuk oleh UNFCCC dan diakui oleh parties. Jika ditemukan inkonsistensi, maka suatu negara tidak dapat mengklaim transaksi karbon tersebut dalam dokumen komitmen iklim (nationally determined contributions/NDC)-nya.

COP30 juga menghasilkan mekanisme pasar karbon terpusat baru di bawah pengawasan PBB. Mekanisme ini memungkinkan negara dan entitas swasta untuk memperdagangkan kredit karbon terverifikasi. Ini dikenal sebagai Article 6.4 Emission Reductions atau A6.4ERs untuk memenuhi target iklim mereka. Riko menilai, A6.4ERs dapat digunakan untuk menebus emisi karbon (biasanya dilakukan pihak pengemisi) secara sukarela tanpa campur tangan negara. Mekanisme ini dapat melibatkan langsung masyarakat adat, koperasi energi terbarukan, hingga program corporate social responsibility (CSR) perusahaan.

 

Masih banyak kritik

COP30 tak bisa dilepaskan dari NDC sebagai komitmen iklim yang disetor negara-negara peserta dan dievaluasi oleh PBB. Soal ini, Wira menyayangkan target iklim dalam SNDC yang menempatkan pertumbuhan ekonomi menjadi faktor utama dalam menurunkan emisi. Padahal, pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi jika tidak ada langkah transisi energi. “Dalam studi kami di WRI menunjukkan bahwa kalau bisa, dengan transisi energi 100%, ini akan menaikkan pendapatan ekonomi (masyarakat) dan menurunkan emisi,” tegas Wira.

 

Tak hanya SNDC, aturan terkait aksi iklim sektor energi juga memiliki kelemahan serupa. Di dalam Perpres 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional, sama sekali tidak menyebutkan aspek GEDSI (gender, equality, disability, and social inclusion) maupun safeguards

 

Ke depannya, Wira mengajak masyarakat sipil untuk mengawal regulasi agar sejalan agenda transisi energi. Salah satunya ialah mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kepastian berusaha, bahkan insentif bagi para pelaku usaha yang melakukan transisi energi. 

 

”Ini masih menjadi perdebatan dalam Undang-Undang EBT. UU EBT ini seharusnya menjadi payung (hukum) pertama, bukan menjadi fragmen-fragmen dari aturan yang ada itu sendiri,” tutup Wira. Menurutnya, kepastian regulasi ini akan memberikan sinyal agar para investor dan negara-negara mau berinvestasi energi terbarukan di Indonesia.

 

Kritik terhadap SNDC juga disampaikan oleh Riko. Ia menganggap SNDC masih lemah dalam aspek keadilan sosial. “Mau seambisius apapun NDC kita, kalau masih mengabaikan hak masyarakat adat dan kelompok rentan lain, maka sama saja tidak ada jiwa atau ruhnya,” ujar Riko yang juga merupakan negosiator Indonesia untuk Article 6 di UNFCCC.

Populer

Terbaru