Kesadaran Orang Muda Menagih Komitmen Transisi Energi Sektor Perbankan

Cintya Faliana Penulis

10 Desember 2025

total-read

4

6 Menit membaca

Kesadaran Orang Muda Menagih Komitmen Transisi Energi Sektor Perbankan

Kredit foto: ENTER Nusantara

 

Kesadaran lingkungan di kalangan orang muda semakin meningkat. Hal ini, menurut survei Youth Sustainability Index 2025, berasal dari kekhawatiran terhadap ancaman iklim di masa depan.

 

Fenomena ini pun mengarah kepada sentimen anak muda terhadap energi fosil yang semakin negatif. Di tingkat global, ribuan orang muda dari 150 negara berkumpul untuk menolak pendanaan energi fosil dan menuntut transisi energi yang adil pada awal November lalu. Beberapa tahun sebelumnya, remaja di Australia mengajukan gugatan (class action) tentang perluasan tambang batu bara Whitehaven Coal’s Vickery.

 

Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Survei terbaru dari ENTER Nusantara menyebutkan bahwa kesadaran lingkungan anak-anak muda cukup tinggi. Kesadaran ini dapat menjadi bekal Indonesia untuk mendorong sektor perbankan meninggalkan pembiayaan energi fosil dan beralih ke sektor energi terbarukan. 

 

Persepsi orang muda soal perbankan

Hasil survey ENTER Nusantara terhadap 312 orang muda (18–35 tahun) menunjukkan nasabah perbankan di Jabodetabek sudah melek terhadap isu lingkungan. Secara persentase, 73% orang muda melek lingkungan dengan 40% di antaranya participant dan 33% di antaranya adalah activist

 

Secara definisi, participant adalah mereka yang tertarik pada isu seperti lingkungan dan HAM termasuk mengikuti perkembangannya dengan keterlibatan yang terbatas. Sedangkan, activist adalah orang yang menyadari isu-isu tersebut serta sering terlibat dalam beberapa kegiatan yang terorganisir. Meskipun, activist berbeda dengan frontliner yang kemungkinan besar menjadi inti gerakan dengan merespons kebijakan atau terlibat dalam organisasi.

 

Survei tersebut juga menunjukkan empat dari lima nasabah sudah tahu kalau bank-bank yang mereka gunakan mendanai sektor batu bara. Sumber informasi utama mereka adalah kanal berita dan sosial media. 

 

Secara akumulatif, dalam periode 2021-2024 lembaga keuangan Indonesia tercatat mengucurkan US$7,2 miliar kepada perusahaan batu bara. Aliran kredit ini turut berkontribusi pada produksi batu bara yang cukup tinggi, sekitar 836 juta ton pada 2024. Sementara hingga akhir 2025, produksi batu bara Indonesia diperkirakan mencapai 750 juta ton. 

 

Dari tren ini, bank Indonesia masih menjadi salah satu kontributornya. Bank-bank besar seperti BRI, Mandiri, BNI, dan BCA secara rutin mencatatkan portofolio investasi di sektor batu bara.

 

Bank Mandiri, misalnya, menempati peringkat pertama perbankan nasional dalam hal pendanaan sektor batu bara. Laporan Trend Asia mengungkapkan, dalam rentang 2020-2023, Bank Mandiri menyalurkan Rp66 triliun untuk enam grup perusahaan batu bara terbesar di Indonesia.

 

Sementara di peringkat kedua ada BRI dengan total pendanaan sebanyak Rp23 triliun. Ada juga BNI yang mendanai proyek batu bara selama 2020-2023 senilai Rp22,7 triliun.

 

Gencarnya pendanaan untuk batu bara ini amat disayangkan. Sebab, menggeliatnya industri batu bara selaras dengan emisi yang semakin tinggi. Laporan International Energy Agency (IEA) pada 2023, emisi CO₂ dari pembakaran bahan bakar, termasuk batu bara, di Indonesia mencapai 659 juta ton CO₂. Angka ini pun terus meningkat tahun ke tahun.

 

Fakta-fakta tersebut turut memantik orang muda mengadakan aksi untuk menyuarakan kekhawatiran mereka. Misalnya lewat aksi damai saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan batu bara Adaro sedang berlangsung. Selain itu, Bank BUMN seperti BNI, BRI, dan Mandiri menjadi sasaran protes. Orang muda di Jakarta, Surabaya, Cirebon, Palembang, dan Yogyakarta menggelar aksi untuk meminta BNI setop danai batu bara.

 

Prospek investasi energi terbarukan

Survei ENTER Nusantara juga memaparkan bahwa nasabah muda mendukung upaya bank mengalihkan portofolio pembiayaan mereka ke energi terbarukan. Mereka menganggap energi ini sangat menjanjikan serta sesuai dengan kondisi Indonesia. Mayoritas responden, sekitar 86%, menganggap bahwa energi surya merupakan potensi yang sangat relevan untuk dikembangkan.

 

Sayangnya, aspirasi mereka masih jauh dari kenyataan, di mana pembiayaan perbankan untuk energi terbarukan dan efisiensi energi masih sangat kecil. Pada 2024, pembiayaan hanya mencapai Rp55 triliun, jauh lebih kecil dari jumlah kredit untuk sektor pertambangan batu bara sebesar Rp373 triliun. Secara rinci, pembiayaan bank BUMN seperti Mandiri dan BNI untuk proyek energi terbarukan masing-masing hanya Rp10 triliun per September 2024 dan BRI Rp6,48 triliun. 

 

Angka-angka ini menunjukkan bahwa meskipun aspirasi pendanaan energi terbarukan sangat besar, portofolio perbankan masih sangat bertumpu pada sektor fosil yang justru menghambat percepatan transisi energi nasional.

 

Temuan ini menguatkan riset CERAH yang mengumpulkan pendapat pelaku perbankan yang terdiri dari bank pelat merah, bank swasta, bank swasta internasional, dan non-bank. Menurut survei, 67% responden menilai pembiayaan energi terbarukan saat ini lebih penting dibandingkan 2-3 tahun lalu. 

 

Sementara itu, 69% pelaku perbankan memandang signifikansi pembiayaan energi terbarukan akan meningkat dalam 2-3 tahun mendatang dibandingkan dengan saat ini. Tidak hanya itu, 73% responden memperkirakan peran pembiayaan energi terbarukan akan semakin besar dalam 2-3 tahun mendatang dibandingkan dengan masa lalu.

 

Kebutuhan pembiayaan untuk mendukung transisi energi di Indonesia memang sangat besar dan terus meningkat. Untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2060, sektor energi diperkirakan membutuhkan investasi sebesar US$20-40 miliar setiap tahun.

 

Sektor kelistrikan saja kebutuhan kumulatif hingga 2030 diperkirakan mencapai US$97,1 miliar. Bahkan dengan dukungan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$21 miliar, masih terdapat kesenjangan pendanaan mencapai 79%. Artinya dukungan finansial yang tersedia saat ini masih jauh dari cukup untuk mewujudkan transformasi energi secara menyeluruh.

 

Riset CERAH juga memperlihatkan keputusan institusi dalam mendukung pembiayaan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh ‘nilai’ yang mereka anggap paling penting. Meski selama ini keuntungan finansial dianggap menjadi pendorong utama, temuan justru menunjukkan bahwa motivasi terbesar datang dari upaya menghindari kerugian (loss avoidance)

Loss avoidance memiliki pengaruh tiga kali lebih tinggi dibanding faktor lain, dengan 47% responden menyebut bahwa pembiayaan energi terbarukan tidak akan terjadi jika tidak ada risiko yang harus dihindari. Risiko tersebut misalnya potensi stranded assets, risiko reputasi, hingga kerusakan lingkungan yang dapat berdampak hukum maupun keuangan bagi institusi.

 

Sementara itu, faktor kebijakan (policy mandate) memiliki pengaruh lebih kecil, hanya 14% saja. Meskipun saat ini regulasi seperti POJK 51/2017 dan arahan pemerintah tetap menjadi pemicu penting pergeseran portofolio.

 

Faktor manfaat (benefit-oriented) seperti imbal hasil yang semakin kompetitif atau manfaat jangka panjang, bahkan hanya 6%. Temuan ini menegaskan bahwa pendekatan defensif masih mendominasi cara pandang institusi terhadap pendanaan energi bersih. Ini menunjukkan keputusan institusi dilakukan untuk menghindari risiko, bukan karena melihat peluang.

 

Jika faktor-faktor penopang seperti penegakan sanksi hukum (27%), dampak kerusakan lingkungan (20%), atau insentif yang semakin menarik (20%) tidak hadir, maka minat institusi untuk berinvestasi di energi terbarukan cenderung turun signifikan. 

 

Pada akhirnya, percepatan transisi energi di sektor finansial akan sangat bergantung pada cara pemerintah mengimplementasikan kebijakan. Semakin tinggi tekanan yang diberikan, maka institusi perbankan bisa bergerak selaras dengan aspirasi nasabah muda untuk meningkatkan pembiayaan di sektor energi terbarukan.

Populer

Terbaru