Bahaya Kampanye Bioenergi Brasil dalam COP30
Sita Mellia • Penulis
19 November 2025
8
• 4 Menit membaca

Hari pertama diskusi iklim dunia terbesar, Conference of the Parties ke-30 (COP30) di Brasil 10 November lalu diwarnai demonstrasi oleh sekelompok masyarakat adat hutan Amazon. Mereka menyerukan Presiden Lula da Silva untuk berhenti menjual tanah adat serta deforestasi. Pasalnya, mereka menilai Presiden Lula telah gagal melindungi hutan Amazon dari kebijakan ekspansif, contohnya pengembangan bioenergi khususnya bahan bakar nabati (BBN).
Ini menjadi ironi ketika Presiden Lula sengaja memilih lokasi COP30 di jantung hutan Amazon untuk menunjukkan ketimpangan yang dialami masyarakat adat kepada delegasi dunia yang hadir. Apalagi Presiden Lula juga menjadikan komunitas adat sebagai pemain kunci dalam diskusi iklim terbesar ini sebagai penjaga hutan Amazon.
Sebelumnya, Brasil telah menggenjot bauran bioetanol berbasis tebu dan biodiesel. Tak hanya itu, beberapa hari menjelang COP30, Brasil meluncurkan Belém 4x Pledge on Sustainable Fuels atau Komitmen Belém untuk Bahan Bakar Berkelanjutan yang mempromosikan solusi palsu berupa biofuel seperti biodiesel dan bioetanol. Kedua bahan bakar ini, dan beberapa pilihan lain seperti hidrogen, biogas, dan bahan bakar sintetis dianggap sebagai ‘energi bersih’ menurut Belém 4x.
Mirisnya, ekspansi ini juga ditiru di Indonesia yang berencana menaikkan campuran biodiesel dan rencana implementasi bioetanol di Indonesia. Padahal, kebijakan ini bukanlah solusi tepat untuk mengatasi krisis iklim. Jika terus dipromosikan apalagi dalam momentum COP30, bioenergi dapat menjadi jeratan krisis iklim baru di tengah sulitnya dunia melepas energi fosil.
Efek domino bioenergi
Protes dari kelompok masyarakat adat di tengah megahnya agenda COP30 menjadi sebuah sinyal bahwa hutan hujan global sedang tidak baik-baik saja.
Ini bukan hanya soal konflik lahan antara masyarakat adat dan korporasi. Dalam jangka panjang, BBN berisiko menambah kemiskinan baru dan memperlebar ketimpangan. Ekspansi lahan akibat bertambahnya permintaan biofuel nyatanya mengakibatkan kenaikkan harga pangan. Inflasi terjadi karena BBN di banyak negara cenderung menggunakan teknologi lama, alias mengandalkan bahan baku pangan untuk membuat bahan bakar.
Dampaknya, masyarakat kelas bawah semakin kesulitan mengakses nutrisi. Negara pun harus menerima tingginya angka kasus kelaparan. Bank Dunia telah menghitung, kenaikan harga pangan global sebesar 1% saja dapat mendorong sepuluh juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem.
Hal ini bertentangan dengan deklarasi COP30 yang akan menjadikan anti kemiskinan, anti kelaparan, dan keadilan sosial sebagai jantung dari aksi iklim global.
Selain memperparah ketimpangan, biofuel Brasil juga justru memperparah krisis iklim, bukan menyelesaikan masalah iklim.
Belem 4x kemungkinan besar adalah hasil dari keputusan Brasil yang mendorong BBN sebagai solusi jangka panjang untuk bahan bakar alternatif untuk kapal pelayaran untuk kepentingan kepentingan ekonomi politiknya. Pasalnya, selama ini bahan bakar kapal pelayaran menyumbang emisi yang besar akibat pemakaian energi fosil sebesar 300 juta ton per tahun—setara 5% minyak global. Sementara biofuel diprediksi akan menopang kapal pelayaran sebanyak 76% di tahun 2040, sehingga berisiko memicu deforestasi besar-besaran.
Pada 2024 saja, produksi kedelai dan minyak sawit untuk memproduksi biofuel di Brasil telah menyebabkan kerusakan ekologi yang besar. Pada tahun 2024, untuk memproduksi kedelai, Brasil mengekspansi lahan yang luasnya setara dengan Swedia.
Ekspansi lahan kedelai yang besar-besaran ini akan menghasilkan jumlah gas rumah kaca yang tinggi. Studi tahun 2024 menemukan, biodiesel berbasis kedelai di Brasil akan menuntut banyak pembukaan peternakan yang banyak melepas gas metana. Sebab, hutan biasanya dialihfungsikan terlebih dulu lewat ekspansi peternakan sapi, baru kemudian dialihfungsikan ke kedelai.
Analisis studi ini juga mengemukakan bahwa sektor peternakan dan biofuel menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar di Brasil.
Paradoks hijau COP30
Rencana peningkatan bauran biodiesel dan dorongan bioetanol tak hanya berisiko memperburuk deforestasi, tetapi juga memperkuat kekuasaan oligarki atas lahan. Dalam jangka panjang, ini dapat membuka jalan bagi konflik sosial baru—dari petani kecil hingga masyarakat adat yang lahannya sering menjadi sasaran untuk memenuhi kebutuhan energi negara-negara industri.
Jika tren ini terus berlanjut, COP30 akan menjadi contoh bagaimana konferensi iklim terbesar dunia masih menjadi tempat oligarki melobi dan melanggengkan kolonialisme energi. Apalagi tak sedikit pelobi dari sektor pertanian yang juga menghadiri COP untuk memengaruhi aksi iklim di sektor penggunaan lahan.
Alih-alih menjadi momen koreksi dan refleksi, COP30 berpotensi menjadi panggung legitimasi bagi bioenergi yang merusak ekosistem, menghimpit ruang hidup masyarakat adat, dan melemahkan kedaulatan pangan.




