10 Tahun Perjanjian Paris: Deretan Masalah Kebijakan Iklim Indonesia
Cintya Faliana • Penulis
15 November 2025
2
• 6 Menit membaca

Tahun ini menandai sepuluh tahun Perjanjian Paris yang sudah diratifikasi oleh 195 negara di dunia, sebelum Amerika Serikat keluar pada awal 2025. Perjanjian ini turut mengawali kontribusi bersama negara-negara peserta untuk menahan laju pemanasan global di angka 1,5°C dalam bentuk Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional.
Sayangnya, berdasarkan Emission Gap Report yang dirilis Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) baru-baru ini, target tersebut kemungkinan besar tak akan berhasil. NDC seluruh negara peserta dianggap PBB masih jauh dari memadai—sehingga berisiko menyebabkan kenaikan suhu global sekitar 2,4-2,6°C.
Evaluasi NDC negara-negara peserta Perjanjian Paris: Upaya untuk mengejar target suhu global masih sangat jauh. (Carbon Brief/UNEP)
Begitu pula Indonesia. Sepuluh tahun setelah Perjanjian Paris, komitmen iklim Indonesia yang terbaru yaitu Second Nationally Determined Contribution (SNDC) justru membiarkan emisi terus naik hingga 2030.
Namun SNDC bukanlah awal, melainkan satu dari sekian banyak kebijakan Indonesia yang berlawanan dengan upaya melawan perubahan iklim sejak satu dekade silam. Berikut ini adalah beberapa contoh kebijakan iklim sektor energi yang kontradiktif tersebut.
1. Permen ESDM 24/2021: dorong biodiesel sebagai solusi palsu
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan peraturan yang mengatur terkait penggunaan biodiesel sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) berbasis energi fosil sejak 2015. Padahal, penggunaan biodiesel yang berbahan dasar kelapa sawit rentan dengan konflik lahan, deforestasi, dan lagi-lagi berpotensi memperpanjang penggunaan energi fosil yakni minyak bumi.
Pada 2021, Permen ESDM Nomor 24 Tahun 2021 terbit sebagai penegasan peran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menggelontorkan dana pencampuran biodiesel yang lebih banyak ke dalam solar. Sejak 2016, BPDPKS bertugas mengumpulkan pungutan ekspor dari perusahaan sawit kemudian menyalurkan ke produsen biodiesel untuk menurunkan biaya produksi.
BPDPKS menuai banyak kritik sebab justru menggunakan subsidi biodiesel untuk menguntungkan pengusaha dan pejabat pemerintah alih-alih petani kecil. Laporan Satya Bumi menemukan 17 orang pengusaha biodiesel yang terindikasi menjadi politically exposed person (PEP). Bahkan, lima di antaranya adalah mantan anggota tim pemenangan calon presiden dalam Pemilu 2019 dan 2024.
2. Omnibus Law Cipta Kerja
Secara fundamental, Omnibus Law Cipta Kerja merevisi 82 dan mencabut 2 undang-undang. Termasuk di dalamnya UU Ketenagalistrikan, UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Minyak dan Gas Bumi, UU Panas Bumi, dan UU Ketenaganukliran.
Namun, alih-alih memperbaiki iklim bisnis energi terbarukan yang seret, UU tersebut justru melanggengkan penggunaan energi fosil.
Misalnya dengan aturan royalti 0% bagi pertambangan batu bara yang digunakan untuk hilirisasi. Padahal, batu bara yang diolah seperti gasified coal termasuk dalam solusi palsu yang memperpanjang umur energi fosil. Perusahaan juga bisa bisa mendapat tambahan masa operasi 10 tahun setiap kali perpanjangan izin.
3. Perpres 79/2023: insentif salah sasaran untuk kendaraan listrik
Pemerintah berusaha mendorong Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) atau electric vehicle (EV) melalui sejumlah insentif, termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023. Mulai dari insentif bebas bea masuk, pajak penjualan atas barang mewah, pengurangan pajak pusat, hingga pengurangan pajak daerah.
Aturan ini menargetkan 2.200 unit kendaraan listrik roda empat dan 2,1 juta unit kendaraan listrik roda dua pada tahun 2025. Sementara Perpres ini hanya meningkatkan porsi mobil listrik pada angkutan umum hingga 10% dari total populasi di perkotaan.
Elektrifikasi sektor transportasi memang merupakan salah satu solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Apalagi di Indonesia sektor transportasi menjadi penyumbang emisi terbesar kedua—23% dari total emisi gas rumah kaca nasional.
Namun, upaya percepatan elektrifikasi dalam Perpres 79/2023 yang mengarah pada kendaraan pribadi justru berisiko bagi Indonesia karena tidak dibarengi elektrifikasi transportasi umum yang agresif. Pasalnya, EV akan tetap memenuhi jalan sehingga tidak mengurangi kemacetan yang menimbulkan masalah ekonomi dan sosial.
Sementara EV tidak sepenuhnya ‘bebas emisi’ jika listrik yang disediakan PLN masih bergantung pada PLTU batu bara. Ditambah jika melihat rantai pasok EV seperti tambang nikel dan smelter masih menggunakan PLTU captieve–yang tinggi emisi.
4. Revisi Perpres No 112/2022: payung hukum mempromosikan penggunaan batu bara
Peraturan Presiden Nomor 112/2022 ‘diniatkan’ untuk meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia. Namun dalam realitanya, Perpres 112/2022 justru memperpanjang penggunaan batu bara dengan mengizinkan pembangunan PLTU baru lewat jalur pengecualian.
Analisis CERAH menyebutkan Pasal 3 (4) huruf a dan b poin 1 sampai 3 memberikan izin kepada proyek strategis nasional (PSN) untuk membangun PLTU captive. Perusahaan yang melakukan hilirisasi produk pertambangan seperti smelter nikel juga mendapat keistimewaan ini tanpa ada batasan maksimum kapasitas.
Akibatnya, jumlah PLTU batu bara meningkat 15% atau mencapai 7,5 GW dalam rentang waktu Juli 2023-Juli 2024. Sedangkan, sekitar 4,5 GW di antaranya adalah PLTU captive.
Selain itu, Perpres ini juga mengizinkan pembangunan PLTU baru selama dapat mengurangi 35% emisi. Padahal cara yang digunakan untuk ‘mengurangi emisi’ ini melalui teknologi seperti Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage (CCS/CCUS) dan co-firing biomassa yang merupakan solusi palsu transisi energi.
PLTU juga masih diizinkan beroperasi hingga 2050. Artinya, Indonesia akan sulit mencapai net zero emission sesuai target yang ditetapkan di dokumen NDC dan lainnya.
Kini pemerintah tengah berencana melakukan revisi untuk menyesuaikan dengan RUPTL terbaru. Dalam draft revisi Perpres, pemerintah justru membuka ruang lebih luas untuk pembangunan PLTU yang berpotensi menghambat transisi energi.
Dalam rencana revisi tersebut, syarat komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) ditetapkan minimal 35% dalam 10 tahun. Namun, teknologi pengurangan yang ditulis dalam revisi ini justru mengarah ke solusi palsu transisi energi. Contohnya seperti pembangkit listrik tenaga (PLT) hibrida yang mengkombinasikan energi fosil dan energi terbarukan, mulai dari co-firing biomassa dan carbon offset yang dihitung dalam bauran energi terbarukan.
5. Inkonsistensi KEN, RUKN, RUPTL, dan Peta Jalan Transisi Energi
Ketiga aturan yang baru dikeluarkan tahun ini seharusnya saling berkesinambungan mengacu pada NDC yang sudah disusun. Namun, bukannya saling melengkapi, ketiga aturan ini justru berdiri sendiri.
Analisis CERAH menilai terdapat perbedaan target bauran energi terbarukan dalam dokumen KEN, RUKN, dan RUPTL 2025-2034. Dengan proyeksi yang berbeda, target 100% energi terbarukan yang dinyatakan Presiden Prabowo jelas sulit tercapai. RUPTL 2025-2035 yang memiliki target bauran tertinggi sebesar 34,3% saja akan kesulitan untuk mengejar sisa 70% dalam waktu singkat.
Sedangkan, peta jalan yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga tampak enggan memensiunkan PLTU batu bara. Indikator utama yang digunakan dalam pemensiunan PLTU masih berorientasi pada aspek ekonomi semata, misalnya pendanaan, umur teknis PLTU, dan efisiensi operasional.
Akibatnya, untung rugi dari aspek lingkungan cenderung tidak diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Pemerintah seolah berpihak pada untung rugi pemilik proyek PLTU, bukan berorientasi pada target mengurangi emisi karbon sesuai Perjanjian Paris.
Inkonsistensi ini berdampak pada kebingungan yang muncul di sektor privat atau pelaku usaha. Ketika pemerintah mengaku mendorong energi terbarukan, tapi masih memberi lampu hijau energi fosil, pelaku usaha akan enggan memasukkan investasinya. Akibatnya bauran energi terbarukan akan stagnan dan jauh dari target.
Menanti kebijakan dan implementasi 10 tahun mendatang
Ambisi pemerintah untuk mencapai bauran energi terbarukan 100% pada 2035 seharusnya diiringi dengan kebijakan yang konsisten dan saling mendukung. Alih-alih menerbitkan peraturan baru yang tidak selaras, pemerintah dapat memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai pembelajaran berharga untuk memperkuat arah kebijakan ke depan.
Sepuluh tahun adalah rentang waktu yang cukup panjang untuk berbenah dan menata ulang strategi. Kini saatnya pemerintah memastikan kebijakan iklim dalam satu dekade mendatang benar-benar mencerminkan komitmen terhadap transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.




