BRICS: Peluang atau Tantangan bagi Transisi Energi Indonesia?

Cintya Faliana Penulis

26 Agustus 2025

total-read

9

6 Menit membaca

BRICS: Peluang atau Tantangan bagi Transisi Energi Indonesia?

Kredit foto: Setkab.go.id

 

Indonesia bergabung dengan (Brazil, Russia, India, China, South Africa (BRICS)), aliansi negara-negara berkembang, pada awal Januari 2025 lalu. BRICS mulanya dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, dan Cina pada 2009 dan menambahkan Afrika Selatan pada 2010. Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab kemudian ikut menyusul.

 

Keputusan ini diumumkan oleh Brasil yang memegang posisi kepresidenan BRICS tahun ini. Indonesia menjadi negara pertama Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) yang bergabung dengan aliansi ini.

 

Keputusan Indonesia untuk bergabung akan memengaruhi hubungan diplomatik dan kerja sama bilateral. Termasuk membawa peluang dan tantangan terkait transisi energi. 

 

Dalam lawatannya ke Brasil, Presiden Prabowo Subianto mengajak negara-negara BRICS untuk berkolaborasi mempercepat transisi energi. Bagaimana posisi transisi energi setelah Indonesia masuk ke dalam BRICS? 

 

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 di Brasil menghasilkan Deklarasi Rio yang mendorong transisi energi adil dan terjangkau dengan mempertimbangkan kondisi nasional masing-masing. 

 

Pertemuan ini juga menekankan perlunya reformasi tata kelola energi global agar lebih seimbang dan tidak didominasi kepentingan negara maju. Baik dari aspek pembiayaan hingga peningkatan akses teknologi bersih.

 

Menyambut peluang-peluang manis

 

Peluang investasi energi terbarukan kini tidak hanya datang dari negara-negara Dunia Utara (Global North) atau negara maju. Laporan Global Energy Monitor (GEM) menampilkan keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Cina terhadap 60% pembangkit listrik yang sedang dibangun di negara-negara anggota BRICS.  Ini termasuk lebih dari 90% pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang juga sedang dibangun. Indonesia pun ikut menerima sumber pendanaan ini.

 

Tidak hanya Cina, melalui BRICS, Indonesia dapat mendorong pembiayaan inovatif untuk transisi energi terbarukan. Sehingga proyek serupa Just Energy Transition Partnership (JETP) bisa direplikasi dan diperbanyak. Harapannya, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dapat berbuah lebih banyak model pembiayaan untuk mempercepat transisi energi.

 

Melalui BRICS, Indonesia bisa memanfaatkan transfer teknologi energi terbarukan yang dibutuhkan. Misalnya, Indonesia dapat belajar seputar kisah sukses pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap maupun skala kecil di Brasil hingga menyentuh 37,4 GW. Ekspansi PLTS atap bahkan bisa berkontribusi dalam pengembangan kapasitas PLTS di Brasil yang diperkirakan bisa melampaui 120 GW pada 15 tahun mendatang.

 

Angka ini jelas mengungguli kapasitas PLTS Indonesia yang hanya berkisar 600-an Megawatt (MW) per 2023. Dari kapasitas tersebut, Indonesia masih berambisi menambah kapasitas PLTS hingga 267 GW pada 2060. Mengisi gap ini hingga 35 tahun mendatang merupakan pekerjaan yang amat menantang jika tanpa dukungan regulasi dan ekosistem bisnis yang memadai.

 

Inisiator BRICS lainnya yakni Cina berhasil menjadi produsen utama sekaligus pasar terbesar untuk fotovoltaik (PV). Cina juga menguasai 69% suplai modul surya global. Masifnya produksi modul surya di Cina juga mendorong penurunan biaya panel surya hingga lebih dari 99% dalam 40 tahun terakhir. 

 

Maraknya produksi dan penurunan harga turut menyumbang besarnya penetrasi energi surya di Cina. Antara 2014 hingga 2018, Cina berhasil menambahkan sekitar 158 gigawatt kapasitas energi surya PV atau setara dengan total kapasitas pembangkit listrik Brasil.

 

Sementara itu, Dalam teknologi efisiensi energi, Indonesia dapat mempelajari kisah India yang berhasil meningkatkan pemanfaatan LED hingga 130 kali lipat dalam 5 tahun. Kenaikan ini dapat menghemat sekitar 40 TWh tiap tahun,setara dengan kebutuhan listrik 37 juta rumah tangga.

 

Posisi rawan soal PLTU

 

Bergabungnya Indonesia juga membuat BRICS sebagai aliansi yang menguasai 94% dari daftar proyek pembangunan PLTU global. Data GEM (2025) menghitung, dengan masuknya Indonesia, maka 94% kapasitas PLTU yang sedang dibangun maupun dalam tahap pra-konstruksi kini berada di dalam BRICS. 

 

Dengan porsi ini, Indonesia memiliki daya tawar diplomatik untuk mengarahkan diskusi dalam BRICS ke arah percepatan transisi serta pengurangan batu bara.

 

Namun, tanpa komitmen yang kuat untuk melepaskan diri dari batu bara, BRICS justru membuat Indonesia terperosok dalam ketergantungannya terhadap ekstraksi batu bara. Sebab, Cina dan India masih mengandalkan batu bara Indonesia. Pada 2023, penjualan batu bara Indonesia ke Cina dan India menyerap sekitar 63% dari total ekspor. 

 

Bahkan, sepanjang 2023, Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan batu bara Cina hingga 205 juta ton atau sekitar 55% dari total impor Negeri Panda. Bagi Cina, impor ini menjadi rekor setelah 2021 dengan jumlah hanya 193 juta ton. Laporan CoalHub 2024 juga menunjukkan tren serupa, impor dari Indonesia sepanjang Januari-Oktober saja sudah mencapai 185 juta ton. 

 

Selain Cina, Indonesia juga mengirim sebagian besar batu bara ke India. Angkanya mencapai 103 juta ton sepanjang 2024, atau setara 56% dari total impor batu bara India. 

 

Ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan negara dari ekspor batu bara dapat menjadi dilema bagi Indonesia—berikut anggota BRICS lainnya—dalam mendorong transisi energi terbarukan.

 

Jebakan investasi

Sumber pendanaan yang mayoritas berasal dari Cina membuka tantangan ketergantungan Indonesia terhadap Negeri Panda. Tren ini sejalan dengan meningkatnya investasi luar negeri Cina yang pada 2024 naik 10%, terutama untuk investasi teknologi bersih yang naik dua kali lipat dibandingkan Amerika Serikat atau Uni Eropa.

 

Melalui kebijakan Belt and Road Initiative (BRI), Cina mencatat nilai investasi tertinggi sepanjang sejarah. Lebih dari sepertiga aktivitas BRI dalam satu dekade terakhir difokuskan pada sektor energi. Sayangnya, mayoritas investasi energi Cina tetap diarahkan ke proyek berbasis fosil. 

 

Indonesia adalah penerima terbesar investasi BRI pada 2024, hampir seluruhnya di sektor energi, terutama untuk PLTU captive yang menopang industri pengolahan mineral. Kapasitas PLTU captive dengan dukungan dana Cina di Indonesia bahkan sudah tiga kali lipat sejak 2019. Tercatat, 88% dari tambahan 8,6 GW yang berada di tahap pembangunan melibatkan BUMN Cina.

 

Investasi Cina selama ini banyak diarahkan untuk PLTU captive yang mendukung smelter nikel dan mineral lain. Rentetan fakta ini melahirkan tantangan pembentukan kebijakan, terutama terkait energi fosil, dapat dipengaruhi intervensi Cina yang semakin besar. 

 

Jika pemerintah tidak berhati-hati dan memitigasi, ketergantungan ini bisa mempersempit ruang kebijakan energi Indonesia apabila tidak diimbangi diversifikasi pendanaan.

 

Ketergantungan ini juga menyulitkan Indonesia dan aliansi BRICS dalam memenuhi komitmennya melaksanakan transisi energi yang adil bagi negara berkembang.

 

Laporan GEM menampilkan hampir seluruh kapasitas PLTA yang sedang dibangun di Indonesia melibatkan investasi Cina. Sebagai contoh, terdapat PLTA Upper Cisokan di Jawa Barat berkapasitas 1.040 MW yang sedang dibangun bersama dengan China Energy Engineering Group Co (CEEC). Kemudian PLTA Mentarang di Kalimantan Utara berkapasitas 1.375 MW dibangun dengan kolaborasi bersama PowerChina.

 

Padahal, pembangunan PLTA –terutama yang membendung sungai dan membanjiri hutan– terbukti merusak lingkungan. PLTA Mentarang kini tengah menjadi sorotan karena pembangunannya bakal membabat 243 hektare kawasan Taman Nasional Mentarang serta memangkas ruang hidup masyarakat adat setempat: Lundayeh dan Punan. Masyarakat Punan adalah salah satu kelompok berburu dan meramu terakhir di belantara Kalimantan.  

 

Memperkecil kesenjangan antara target dan realisasi

Kondisi transisi energi di Indonesia saat ini cenderung stagnan. Meski Indonesia telah memiliki target net zero emission 2060 dan rencana pensiun dini PLTU, pembangunan proyek energi fosil masih jauh lebih cepat dibandingkan energi terbarukan. 

 

Dari target bauran energi terbarukan 23% per tahun ini, Indonesia hanya mampu memenuhi 14% saja. Sementara, PLTU captive terus meningkat dari tahun ke tahun. Total PLTU captive yang beroperasi dan dalam proses pembangunan saat ini mencapai 26,2 GW. Angka ini lebih besar dari kapasitas PLTU di Australia (22,9 GW) atau setara dengan seluruh PLTU di Vietnam yaitu 27,2 GW pada 2023.

 

Bergabung ke BRICS bisa menjadi langkah strategis untuk posisi transisi energi Indonesia, jika pemerintah sungguh-sungguh memanfaatkan beragam peluang yang tersedia. Termasuk, pada saat yang masa, pemerintah menyiapkan mitigasi berbagai risiko yang menghampiri, serta komitmen yang kuat untuk transisi energi berkeadilan.

Populer

Terbaru