Memahami Pajak Karbon dan Implementasinya di Indonesia

Sita Mellia Penulis

09 Oktober 2025

total-read

14

5 Menit membaca

Memahami Pajak Karbon dan Implementasinya di Indonesia

Suhu global terus meningkat seiring dengan emisi gas rumah kaca yang terus bertambah. Perempuan, lansia, ibu hamil, dan anak-anak yang merupakan kelompok  rentan, akan menjadi kelompok paling terdampak bencana akibat krisis iklim seperti banjir, kebakaran, maupun kenaikan muka air laut. 

 

Warga kelas menengah dan bawah, yang bukan aktor penghasil emisi, selama ini terus dibebani dengan pajak tinggi dan terus terpapar polusi. Sementara korporasi penghasil emisi terus bertambah kaya sambil memperparah krisis iklim tanpa pengendalian lewat pajak.

 

Sebelum menimbulkan ketimpangan yang parah, dibutuhkan solusi untuk menekan emisi secara berkeadilan, seperti pajak karbon. Kebijakan ini bisa membantu meningkatkan rasio pajak ke produk domestik bruto (PDB) yang  masih rendah (7,95%) dari target 23%. Apalagi, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk meredam perubahan iklim hingga Rp3.779 triliun.

 

Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi pajak karbon dan menjadikannya salah satu usaha untuk mengurangi emisi guna memenuhi target Perjanjian Paris. Sayangnya, tiga tahun setelah aturan terbit, pajak karbon tak kunjung diberlakukan.

 

Apa itu pajak karbon?

Menurut Direktorat Jenderal Pajak, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap barang yang menghasilkan emisi karbon, baik emisi dari aktivitas pembakaran bahan bakar fosil maupun emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor energi, pertanian, kehutanan, industri serta limbah. Pajak karbon bisa dikenakan dari kegiatan produksi, distribusi, hingga konsumsi. Gas rumah kaca yang dipajaki ialah metana, karbon dioksida, dan nitrogen oksida.

 

Pajak karbon merupakan salah satu instrumen agar orang, perusahaan, maupun pemerintah mengurangi emisi. Melalui pajak karbon, biaya untuk memproduksi bahan bakar fosil bisa lebih mahal sehingga dapat mengurangi motivasi ekonomi pelaku usaha untuk bergerak di sektor tersebut. 

 

Sementara bagi masyarakat, idealnya harga BBM dan tarif listrik yang lebih mahal karena pajak karbon bisa mendorong penghematan energi. Bagi orang kaya bisa mendorong mereka menggunakan energi yang ramah lingkungan.

 

Pajak karbon pun bukan hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal atau sumber penerimaan negara, tetapi juga memiliki fungsi lingkungan hidup—yakni untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional, seperti yang tercantum dalam dokumen komitmen iklim Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022. 

 

Implementasi dan tarif pajak karbon di Indonesia

Pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 2021 lalu. Isinya mengatur tarif minimal pajak karbon, yakni sebesar Rp 30 per kilogram CO2e bagi PLTU. Tarifnya bisa lebih tinggi atau sama dengan harga di pasar karbon. Jika harga di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2e, maka tarif pajak karbon mengikuti tarif minimum yaitu Rp30 per kilogram setara CO2e.

 

Kendati begitu, pajak karbon tidak dikenakan bagi seluruh emisi PLTU, melainkan bagi besaran emisi tertentu yang melewati batas atas. Misalnya, batas atas emisi PLTU sebesar 100 metrik ton setara CO2e. Jika emisi PLTU A mencapai 110 metrik ton CO2e, maka emisi yang dikenakan pajak hanya 10 metrik ton CO2e. Artinya, negara masih menanggung sebagian besar kerugian lingkungan akibat emisi tersebut.

 

Skema pajak karbon yang diberlakukan hingga hari ini masih mengintegrasikan skema cap and tax (batas emisi dan pajak) dan perdagangan karbon (cap and trade) untuk sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Integrasi ini mengurangi bahkan menihilkan beban pajak karbon bagi pengusaha PLTU yang sudah membeli karbon dari pihak lain maupun bursa karbon. Pembelian karbon maksudnya adalah pembelian capaian pencegahan emisi karbon dari proyek ramah lingkungan seperti pemulihan hutan, penggunaan energi terbarukan, dan lain-lain. 

 

Sebagai ilustrasi, pengusaha PLTU yang emisinya berlebih sebesar 30 metrik ton CO2e tapi sudah membeli sertifikat emisi sebesar 25 metrik ton CO2e hanya wajib membayar pajak 5 metrik ton CO2e. 

 

Parahnya lagi, hingga saat ini pajak karbon belum diberlakukan karena pemerintah tak kunjung menerbitkan batas atas emisi. Alhasil, PLTU masih bebas beroperasi tanpa memikirkan biaya lingkungan yang seharusnya ditebus ke masyarakat melalui pajak karbon. 

 

Pajak karbon masih terlalu rendah

Masalah pajak karbon lainnya di Indonesia adalah besarannya yang terlalu rendah.  Mulanya, pemerintah mengusulkan tarif pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram setara CO2e. Akan tetapi, mayoritas fraksi di DPR tidak menyetujui karena dinilai masih terlalu mahal dan berisiko membebani industri. Fraksi Gerindra, Nasdem, dan Demokrat adalah tiga partai yang mengusulkan tarif pajak karbon yang jauh lebih rendah, yakni antara Rp 5 hingga Rp 10 per kilogram CO2e. 

 

Menurut organisasi masyarakat sipil, rendahnya besaran pajak karbon tidak memberi efek jera pada penghasil emisi. Artinya, tarif yang rendah ini akan mendorong para penghasil emisi lebih memilih untuk membayar pajak dibanding mengurangi energi kotor. 

 

Dari 65 negara yang telah menjalankan perpajakan untuk lingkungan hidup, Indonesia menempati posisi tarif pajak terendah kedua. Selama September 2023 hingga Desember 2024 di IDX Carbon, harga karbon Indonesia rata-rata ada di angka Rp55.000 per ton CO₂ ekuivalen. Tarif ini 12 kali lebih rendah dibandingkan harga karbon rata-rata global yang mencapai US$39,5 per ton CO₂ ekuivalen atau Rp649.034 per ton CO₂ ekuivalen. 

 

Darurat pajak karbon berkeadilan

Di tengah krisis iklim dan minimnya pendanaan iklim, kita tak memiliki waktu untuk terus menunda implementasi pajak karbon yang berkeadilan. Kebijakan pajak karbon harus sejalan dengan Polluter Pays Principle atau ‘Prinsip Pencemar Membayar’, bahwa pelaku pencemar harus menanggung seluruh biaya pemulihan akibat pencemaran yang ditimbulkan. 

 

Selama ini, para ‘polluter’ telah menjadi aktor yang berkontribusi pada ketimpangan, terutama di daerah industri nikel yang masih menggunakan PLTU batu bara. Pengenaan tarif pajak karbon bisa dikenakan lebih tinggi pada tiga perusahaan nikel penghasil emisi terbesar yang tidak memiliki peta jalan dekarbonisasi atau tidak menggunakan energi terbarukan di smelter nikelnya—seperti PT Aneka Tambang (Antam), Merdeka Battery Materials (MBMA), Trimegah Bangun Persada (TBP Harita). Selain menambal kas negara, tarif yang progresif ini dapat mendorong perusahaan nikel untuk beralih ke energi terbarukan.

Populer

Terbaru