Jor-joran Pasar Karbon Indonesia: Merayakan Risiko Kegagalan?
Cintya Faliana • Penulis
21 November 2025
5
• 6 Menit membaca

Kredit foto: Kementerian Lingkungan Hidup
Indonesia kembali ‘berjualan’ di Conference of Parties (COP) 30 yang kali ini digelar di Belem, Brasil. Utusan Presiden RI Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mengklaim berhasil meraup Rp7 triliun.
Angka tersebut didapatkan setelah menjual 13,5 juta ton CO₂. Maksudnya, Indonesia menawarkan beberapa inisiatif yang diklaim berhasil meredam emisi karbon, untuk dibeli oleh pihak-pihak yang membutuhkan kredit karbon hijau. Kredit tersebut dibutuhkan perusahaan/negara penghasil emisi (biasanya terkait energi fosil) untuk mengurangi catatan emisi yang mereka hasilkan.
Setahun lalu, Hashim pertama kali menjajakan pasar karbon di COP 29, Azerbaijan. Alih-alih menyampaikan soal komitmen pemerintah dalam mengatasi krisis iklim di Indonesia, Hashim fokus pada solusi skema dagang kredit karbon menggunakan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS).
Pemerintah tampaknya bangga dan merasa metode ‘berjualan’ ini sebagai langkah yang tepat mengatasi dampak krisis iklim di Indonesia. Nyatanya, skema pasar karbon dalam negeri yang dirilis sejak 2023 silam justru stagnan.
Mentereng di luar, stagnan di dalam
Skema karbon yang dijual oleh Hashim di COP 29 dan 30 adalah perdagangan karbon antarnegara. Seharusnya, skema ini dilakukan jika pasar karbon dalam negeri sudah matang dan mampu menyuplai demand dari internasional.
Namun, laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) justru menunjukkan total transaksi Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) hanya Rp7,8 miliar sejak mereka beroperasi dua tahun silam. Dalam periode tersebut, hanya ada delapan proyek yang terdaftar dengan 132 peserta saja.
Performa ini jauh dari ekspektasi, sebab dalam tiga bulan pertama sejak launching pada September 2023, pasar karbon mencatat transaksi sebesar Rp31 miliar. Volume perdagangannya mencapai 494 ribu ton setara CO₂ (tCO₂e). Namun setelahnya, pasar menunjukkan tren penurunan.
Pada Februari 2024, bahkan tercatat tidak ada transaksi sama sekali di pasar karbon. Peningkatan sempat terlihat pada Oktober 2024 ketika Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden RI. Momen itu juga bertepatan dengan pembentukan Badan Pengelolaan Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon (BP3I-TNK). Pada Oktober 2024, nilai transaksi melonjak mencapai Rp13 miliar, meskipun hanya sementara.
Secara akumulatif, pada 2024 perdagangan karbon hanya mencatat Rp20 miliar dari tiga proyek saja. Ketiga proyek tersebut adalah Pertamina Geothermal Lahendong, PLTGU di Muara Karang milik PLN, dan PLTM di Gunung Wugul milik grup PLN. Setelah COP29, Indonesia membuka IDX Carbon untuk pembeli internasional pada Januari 2025. Meski sempat memicu kembali aktivitas pasar yang mencerminkan minat investor, namun momentum tersebut cuma sementara.
Dari Maret hingga September 2025, nilai transaksi total IDX Carbon turun menjadi hanya Rp1 miliar, dengan volume perdagangan 27.613 tCO₂e. Pada September 2025, rata-rata harga karbon tercatat Rp67.047 per ton (sekitar USD4), dengan delapan proyek terdaftar dan 132 peserta. Total volume karbon yang telah diredam mencapai 600.768 tCO₂e.
Jika dibandingkan dengan pasar karbon Jepang (GX-ETS), angka-angka ini sangat jauh. Meski dimulai belakangan, pada 2024, terdapat lebih dari 700 peserta pasar karbon Jepang yang sukarela untuk ikut. Jumlah tersebut berpotensi meningkat pesat pada 2026, ketika Pemerintah Jepang menerapkan skema pasar karbon wajib—imbas pembatasan emisi yang ketat. Dalam satu tahun, GX-ETS berhasil menjual 521.704 tCO₂e, atau hampir menyamai jumlah penjualan IDX Carbon dalam dua tahun.
Selain Jepang, pasar karbon Uni Eropa (EU-ETS) menjadi yang paling kuat di dunia. Dengan lebih dari 11 ribu peserta, harga karbon rata-rata mencapai US$70 dan mencakup lebih dari 40% total emisi Uni Eropa.
Mengapa minim peminat?
Analisis IEEFA menyebutkan kelemahan desain dan ‘kehati-hatian’ politik yang membuat pasar karbon Indonesia sepi peminat. Saat ini, IDX Carbon menggunakan mekanisme cap-and-trade dengan pajak karbon sebagai opsi cadangan.
Artinya, pemerintah menetapkan batas emisi sektoral melalui Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Untuk permulaan, pemerintah menetapkan 99 PLTU batu bara dari 42 perusahaan yang menjadi peserta pasar karbon.
Batas emisi sektoral ditetapkan Kementerian ESDM, menyesuaikan dengan jenis dan kapasitas pembangkit. Perusahaan yang beroperasi di bawah batas emisi akan memperoleh sertifikat pengurangan emisi (SPE-GRK). Sementara yang melampaui batas harus membeli kredit tersebut atau membayar pajak karbon jika kredit tidak tersedia.
Meski terlihat fleksibel, tapi sebenarnya ambang emisi yang ditetapkan sangat tinggi. Akibatnya, hanya sebagian kecil perusahaan yang melampaui batas dan membuat permintaan di pasar karbon rendah. Kebijakan ini justru melemahkan insentif perusahaan untuk mengurangi emisi dan berpartisipasi dalam perdagangan karbon.
Alasan lainnya adalah pajak karbon yang belum berlaku di Indonesia. Meskipun tarif awal sudah diusulkan, tapi ada penolakan dari pelaku industri.
Aturan penetapan harga karbon pun masih tumpang tindih antar kementerian. Secara teknis, dasar hukum memang sudah diatur lewat Perpres 98/2021. Namun demikian, pelaksanaannya terhalang proses perizinan dan sertifikasi yang tidak jelas.
Reformasi sistem
Pemerintah berupaya memperbaiki lewat penerbitan Peraturan Presiden 110/2025 sebagai revisi aturan sebelumnya, agar tata kelola perdagangan karbon lebih transparan dan mendorong kolaborasi lintas kementerian.
Namun, kebijakan perdagangan karbon akan sulit optimal jika dilakukan tanpa transparansi. Sejauh ini, meski IDX Carbon telah dibuka untuk internasional, perdagangan di bursa ini masih kurang menarik.
Ini terjadi karena proyek-proyek yang tersedia belum memiliki sertifikasi internasional. Sementara, tanpa sertifikasi, pembeli karbon tidak bisa mengetahui apakah kredit yang mereka beli benar-benar efektif mengurangi emisi gas rumah kaca.
Selain transparansi, batas emisi karbon yang ditetapkan harus efektif dan selaras dengan target net zero emission Indonesia. Batas emisi saat ini perlu diperketat untuk menandai ketegasan Indonesia mengurangi emisi dan menahan laju perubahan iklim.
Setelah batas emisi ditingkatkan, harga pajak karbon atas emisi yang melampaui batas harus cukup besar untuk bisa merangsang pelaku industri beralih ke bisnis ataupun teknologi yang rendah karbon.
Sebagai contoh, jika melihat penerapan pajak karbon di Singapura sejak 2019, harga yang ditetapkan meningkat secara konsisten. Sepanjang 2019-2023, harga karbon di Singapura sebesar S$5 per ton CO2. Kemudian ditingkatkan menjadi S$25 pada 2024-2025 dan S$45 pada 2026-2027 mendatang. Peningkatan inilah yang akan mendorong perubahan perilaku industri menuju rendah karbon.
Pendapatan yang diterima dari pajak karbon Singapura kemudian digunakan untuk upaya dekarbonisasi. Mulai dari riset dan pengembangan sistem solar photovoltaic (PV) ataupun teknologi rendah karbon lainnya. Skema yang digunakan oleh Singapura inilah yang membentuk ekosistem berkelanjutan.
Bukan satu-satunya solusi
Indonesia memang memiliki potensi yang besar dalam pasar karbon. Dengan 125 juta hektare hutan hujan tropis, secara teori Indonesia mampu menyerap hingga 25,18 miliar ton CO₂. Secara keseluruhan, ekosistem Indonesia memiliki kapasitas untuk menyerap lebih dari 113 miliar ton CO₂.
Sayangnya, pasar karbon Indonesia justru seolah-olah dibangun hanya untuk monetisasi aset, alih-alih benar-benar untuk mengurangi emisi.
Pembuktian keseriusan Indonesia menaati komitmen Perjanjian Paris tak hanya cukup ditunjukkan melalui jor-joran di pasar karbon. Upaya langsung dengan mengakhiri penggunaan batu bara secepat mungkin, mendukung percepatan energi terbarukan, maupun melarang deforestasi, seharusnya lebih mendesak untuk dilakukan.




