Kebijakan Energi 2025: Berlanjutnya Mudarat Besar Subsidi Energi Fosil
Robby Irfany Maqoma • Penulis
03 Oktober 2025
3
• 7 Menit membaca

Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional pada 15 September silam, menggantikan KEN sebelumnya yang disahkan lebih dari satu dekade lalu.
Di permukaan, KEN 2025 seakan membuka jalannya transisi energi terbarukan Indonesia yang agresif hingga 2060. Misalnya dengan mendorong penggunaan energi surya hingga 2,8% dalam bauran energi nasional pada 2030, dan terus meningkat hingga 32% pada 2060. KEN 2025 juga berencana mengurangi bauran energi batu bara ke 41,6% pada 2030 dan terus menurun ke 7,8% pada 2060.
Namun, rincian beleid ini tak jauh beda dengan kebijakan energi selama ini. Untuk mencapai target tersebut, KEN masih menggunakan cara lama dalam mengelola energi Indonesia. Misalnya kebijakan subsidi energi fosil yang masih bercokol dalam KEN 2025. Ada juga sederet kebijakan lainnya yang justru berisiko menghambat penggunaan energi terbarukan secara massif di Tanah Air.
Tanpa transformasi kebijakan yang benar-benar mendukung pengakhiran energi fosil, sulit berharap transisi energi terbarukan Indonesia bisa tercapai sesuai target. Tanpa perubahan signifikan, KEN justru berisiko menjadi kaset kusut alias mengulang cerita tata kelola energi selama ini yang tidak berpihak ke sumber terbarukan di Indonesia.
Bermacam subsidi untuk energi fosil
Subsidi energi fosil, menurut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mencakup segala jenis bantuan yang diberikan negara baik bagi produsen untuk tetap menghasilkan energi fosil, maupun konsumen untuk terus menggunakan energi fosil. Bentuk ini bisa melalui intervensi harga secara langsung, ataupun fasilitas lainnya seperti pengecualian ataupun pengurangan pajak. WTO bahkan menyebutkan subsidi implisit, yakni ketika harga eceran energi fosil (seperti BBM, gas, ataupun tarif listrik) tidak memasukkan biaya eksternalitas seperti kerusakan lingkungan ataupun kesehatan.
Keberpihakan Indonesia terhadap energi fosil melalui subsidi tertuang dalam Pasal 65 KEN. Pasal ini mengatur bahwa pemerintah masih bisa mengatur harga energi tertentu untuk pembangkit listrik. Praktik tersebut acap dilakukan pemerintah, misalnya melalui harga khusus batu bara sebesar US$70 per ton untuk penggunaan dalam negeri (domestic market obligation) sejak 2018.
Tak hanya batu bara, pemerintah juga memberikan harga khusus gas fosil sebesar US$6 per juta kaki kubik per hari (mmscfd) untuk sektor industri tertentu, mulai dari industri keramik hingga pembangkit listrik. Lembaga Reforminer mencatat, selama 2020-2024, subsidi ini mengurangi penerimaan negara dari gas fosil hingga Rp81 triliun.
Selain intervensi harga, KEN masih membolehkan pemberian insentif maupun dukungan lainnya bagi penyedia maupun pengguna energi fosil—termuat dalam Pasal 67. Selama ini, kebijakan tersebut turut mencakup pengurangan pajak pertambahan nilai bagi industri minyak dan gas fosil maupun batu bara, fasilitas pajak bagi pengembang pembangkit listrik energi fosil, royalti khusus maupun besaran pajak penghasilan (PPh) badan spesial bagi penambang batu bara berskala kecil. Kebijakan ini juga mencakup fasilitas pengurangan royalti hingga 0% bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara di dalam negeri.
Dukungan juga turut mencakup kebijakan negara yang mengakomodasi subsidi tak langsung melalui Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk bahan bakar nabati (biofuel). Nilainya cukup besar dan meningkat seiring bertambahnya campuran biofuel dalam BBM. Pada 2016, subsidi biofuel sebesar Rp10,8 triliun. Sementara pada 2025 nilainya diperkirakan menembus Rp35,5 triliun.
KEN pun masih membolehkan subsidi energi fosil melalui PT PLN dan PT Pertamina yang menyediakan listrik dan bahan bakar minyak (BBM) melalui skema kompensasi. Maksudnya, PLN dan Pertamina bisa mengajukan pembayaran kompensasi ke pemerintah atas tarif listrik maupun harga BBM yang tidak naik meski harga komoditas seperti minyak bumi maupun batu bara tengah melonjak. Kompensasi lahir karena kedua perusahaan itu tak bisa sembarangan menaikkan tarif listrik maupun harga BBM.
Nilai kompensasi ini sangat besar. Jumlahnya pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama 2020-2021, negara membayarkan kompensasi sebesar Rp109 triliun. Sementara selama Januari-November 2024, pembayaran kompensasi menyentuh Rp176 triliun. Tagihan kompensasi bahkan sempat menyentuh Rp268,1 triliun selama Januari-Oktober 2022 saja karena harga minyak dan batu bara dunia yang sangat tinggi pada tahun tersebut.
Dari semua fasilitas negara untuk energi fosil di atas, tak ada satupun arahan dari KEN untuk mengakhiri subsidi. KEN hanya mengatur pengurangan subsidi secara bertahap ke konsumen—biasanya melalui BBM bersubsidi, gas elpiji 3 kg, dan tarif listrik pelanggan kecil.
Mudarat subsidi yang berlanjut
Berlanjutnya subsidi dalam KEN menyimpan segudang mudarat yang bertentangan dengan ketahanan dan dekarbonisasi sektor energi Indonesia.
Pertama, subsidi justru menciptakan harga artifisial sehingga masyarakat tidak bisa mengetahui biaya sebenarnya dalam memproduksi energi fosil. Berbagai dukungan negara mulai dari pengurangan pajak, insentif bahan bakar, hingga intervensi tarif membuat produsen energi merasakan “sensasi semu” bahwa usaha mereka menguntungkan bagi mereka ataupun masyarakat. Sementara dari sisi konsumen, subsidi menjadi penghambat usaha bersama untuk menghemat energi.
Sebagai ilustrasi, klaim murah biaya produksi listrik PLTU sebesar US$5-6 sen per kilowatt jam (kWh) saat ini merupakan hasil subsidi batu bara. Padahal, tanpa subsidi, harga listrik PLTU sebenarnya US$9 sen per kWh—lebih tinggi dari biaya listrik tenaga surya sekitar US$5,6-5,8 sen.
Kedua, ketiadaan biaya eksternalitas yang dianggap sebagai subsidi implisit dalam perhitungan harga energi juga berisiko besar bagi lingkungan. Energi fosil akan terus diproduksi atas nama “kepentingan publik” sehingga aspek kelestarian lingkungan hidup berisiko selalu menjadi nomor dua.
Sesat pikir ini padahal sudah menjadi bumerang bagi Indonesia. Meski energi fosil selama ini sepintas mendukung perekonomian, Indonesia justru kehilangan nyaris seribu triliun rupiah karena biaya lingkungan (seperti polusi udara dan pencemaran lingkungan) hanya dalam waktu setahun. Dalangnya tentu saja penggunaan energi fosil di berbagai sektor, mulai dari bahan bakar hingga produk petrokimia.
Ketiga, duit jumbo subsidi energi fosil menghambat pengembangan energi terbarukan. Laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) 2022 mencatat bahwa Rp1.153 triliun sudah dihabiskan untuk subsidi energi fosil selama 2016-2020. Bandingkan dengan subsidi untuk pengembangan energi terbarukan dalam periode yang sama hanya sebesar Rp12,25 triliun dan kendaraan listrik Rp19 miliar.
Timpangnya alokasi subsidi energi fosil dan energi terbarukan tahun 2016-2020. Tren ini bisa berlanjut karena adanya KEN baru (Infografis: Irene Esterlita).
Bayangkan jika seluruh anggaran energi fosil tersebut digunakan untuk membangun pembangkit listrik energi surya. Dengan biaya pengembangan energi surya yang sebesar US$900 ribu per megawatt (MW), duit subsidi energi selama 2016-2020 sebenarnya bisa digunakan untuk membangun 87,7 gigawatt (GW) energi surya. Angka tersebut setara dengan 87% dari total kapasitas listrik nasional.
Keempat, subsidi energi fosil membuat KEN tidak berkeadilan. Pasalnya, dukungan selama ini lebih banyak menguntungkan produsen energi, bukan konsumen apalagi masyarakat umum. Sementara subsidi langsung melalui tarif juga sebagian besar dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas. Masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya—terutama di daerah penghasil energi fosil—harus menanggung berbagai risiko, mulai dari kematian dini karena polusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), berkurangnya area produktif untuk pertanian, hingga kesehatan mental bahkan risiko bunuh diri.
Tiga contoh bagaimana PLTU batu bara berdampak buruk bagi warga sekitar (Infografis: Irene Esterlita).
Merombak kebijakan energi
Seiring parahnya dampak perubahan iklim bagi Indonesia dan dunia, KEN terbaru harusnya membuang jauh-jauh pendekatan lama dalam penyediaan energi. KEN perlu beberapa langkah lebih maju: mengarahkan kebijakan energi nasional untuk mengakhiri penggunaan energi fosil secepat mungkin dan mencabut segala subsidi energi yang menguntungkan segelintir produsen.
Dukungan masif seharusnya dialihkan ke pengembangan energi terbarukan. KEN bisa melampaui tren penyusunan kebijakan saat ini yang cenderung top-down dengan mendorong demokratisasi energi. Maksudnya, kebijakan harus membuat masyarakat bisa lebih bebas dan berdaya dalam memilih sendiri sumber energi terbarukan mereka.
Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dan memberi dukungan bagi transisi energi yang berkeadilan. Ini bisa dilakukan mulai dari pemberian subsidi angkutan umum yang masif di seluruh kota maupun daerah perintis, bantuan penggunaan listrik panel surya di rumah-rumah, maupun memudahkan kredit dan investasi bagi badan usaha yang ingin mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.