Kepasrahan Warga Halmahera Tak Bisa Perbaiki Panel Surya Bantuan Pemerintah
Novaeny Wulandari • Penulis
27 Januari 2024
10
• 3 Menit membaca

Maluku Utara, sebuah provinsi termuda yang letaknya berada di Timur Indonesia. Terkenal dengan kekayaan rempah dan merupakan provinsi kepulauan. Karena memiliki 805 pulau, yang mana desa-desa mereka berada di di pulau-pulau kecil.
Secara total terdapat 1.203 desa dan 898 di antaranya adalah desa pesisir. Namun, tidak semua desa tersebut mampu mengakses listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Salah satunya adalah Kabupaten Halmahera, yang memiliki 300 pulau besar dan kecil. Luas wilayah Halmahera saja mencapai 40.263,72km. Dari luasan itu, ada enam pulau besar utama. Yaitu Obi, Bacan, Makian, Kayoa, Kasiruta, dan Mandioli.
Beberapa tahun lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Selatan membuat program untuk memberikan akses kelistrikan pada masyarakat.
Melalui program “Halmahera Selatan Terang” pemerintah daerah berharap bisa mendorong elektrifikasi dengan mendistribusikan panel tenaga surya untuk rumah tangga. Dengan begitu, Halmahera Selatan bisa mandiri dan memiliki energi yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan desa yang mandiri dan memiliki energi yang berkelanjutan tidaklah mudah. Program tersebut tidak berjalan mulus dalam rentang waktu dua tahun terakhir.
Banyak unit yang rusak dan tidak dapat diperbaiki. Seperti yang terjadi di Desa Laigoma (pulau Laigoma), Siko (pulau Siko), Bokimiake (pulau Moari), Marituso (pulau Kasiruta), dan Wiring (pulau Tawabi).
Setelah dibangun dan diserahkan oleh pihak desa, banyak warga yang mengeluhkan soal operasionalnya yang sering berkendala. Padahal penggunaanya hanya sebatas untuk penerangan.
Proyek tersebut hanya sekali dan kini tidak ada lagi keberlanjutan proyek tersebut.
Dari sisi anggaran, program “Halmahera Selatan Terang” di tiga pulau–Siko, Gafi, dan Laigoma–saja sudah menghabiskan puluhan miliar rupiah dari kantong APBD kabupaten. Malah beberapa desa didukung oleh Kementerian ESDM dengan pemberian bantuan panel surya dan empat mata lampu dari dana APBN.
Contohnya di Laigoma. Setelah berjalan 1,5 tahun, panel surya dan keempat unit lampu tersebut rusak.
Kondisi itu membuat warga desa bimbang dan menunggu keputusan pemerintah desa yang terpaksa harus rela merogoh kocek sendiri dari Alokasi Dana Desa untuk memperbaiki unit-unit tersebut.
“Torang (kami) dengar katanya kerusakan ini pada inverter yang jebol atau hangus. Berarti anggarannya (untuk memperbaiki) akan besar,” jelas Anggota BPD Desa Laigoma, Amir Ibrahim seperti dilansir Mongabay. Rabu 16 Agustus 2023.
Sebagian besar kerusakan panel surya mereka diakibatkan dari fluktuasi atau perubahan tegangan. Ketidakstabilan daya, cepat atau lambat membuat panel surya menjadi rusak.
Persoalan lainnya adalah pengelolaan panel surya oleh masyarakat setempat. Pasalnya, setelah diberikan oleh pemerintah daerah, mereka tidak lagi memprioritaskan perawatan fasilitas tersebut. Satu sisi, masyarakat belum siap karena masih minim literasi untuk melakukan perawatan panel surya mereka.
Dengan kondisi itu, penting bagi masyarakat desa khususnya para pemuda untuk mempelajari pemeliharaan dan penanganan teknis panel surya.
“Tidak perlu lagi tunggu tenaga ahli dari luar pulau dari Ternate atau dari Jawa (kalau pemuda bisa belajar dan memperbaiki unit),” tambahnya.
Salah satu perwakilan warga desa Siko, Suprapto Mahyadin mengungkapkan, kalau energi surya sangat penting baginya dan warga desa. Sebab, genset atau generator yang ada di daerah tersebut tidak bisa dinyalakan selama 24 nonsetop.
Kebanyakan warga bisa menikmati genset hanya sekitar 6–12 jam saja per hari. Selebihnya, hanya ada cahaya remang-remang dari lampu teplok.
Penggunaan listrik menjadi hal utama bagi masyarakat Halmahera, tidak hanya untuk penerangan semata. Karena mayoritas dari mereka adalah nelayan, listrik dibutuhkan untuk membuat es balok dan mengawetkan hasil tangkapan ikan.
Oleh karena itu, kehidupan perekonomian mereka terbantu dan dapat menjadi desa yang berkelanjutan dengan adanya sumber listrik dari energi baru terbarukan (EBT).





