Pajak Karbon PLTU Captive: Menambal Kas Negara, Keadilan Iklim untuk Warga
Sita Mellia • Penulis
30 Oktober 2025
8
• 6 Menit membaca

Kredit foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace
Suhu global terus naik seiring meningkatnya emisi gas rumah kaca.Warga kelas menengah dan bawah di wilayah industri nikel, yang bukan aktor penghasil emisi, selama ini terus terpapar polusi dan terdampak bencana krisis iklim. Sementara korporasi penghasil emisi terus bertambah kaya sambil memperparah krisis iklim tanpa pengendalian lewat pajak karbon.
Indonesia sebenarnya memiliki instrumen pajak karbon untuk memastikan korporasi membayar lebih atas kerusakan yang mereka timbulkan. Namun hingga kini, aturan pajak karbon baru terbatas pada sektor ketenagalistrikan di bawah skema cap-and-tax. Tarifnya pun masih terlalu rendah, yakni sebesar Rp30 per kilogram CO₂e, atau setara sekitar US$ 2 per ton—jauh di bawah rekomendasi internasional sebesar US$ 30–50 per ton.
Padahal, industri nikel telah berkontribusi pada penurunan kualitas hidup warga, khususnya karena emisi yang diakibatkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive mereka. Studi pada 2024 menyebut, beban kesehatan yang ditanggung warga akibat PLTU batu bara captive mencapai US$ 20 miliar. Jika tidak segera dikendalikan, polusi udara dari smelter yang menggunakan PLTU captive diprediksi akan menyebabkan 5.000 kematian dan beban ekonomi US$ 3,42 miliar pada 2030.
Pajak karbon yang progresif harus dikenakan pada PLTU captive yang selama ini menghambat laju aksi iklim dan transisi energi di Indonesia sekaligus yang telah menghasilkan kemiskinan. Analisis EMBER tahun 2025 menyebut, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menambahkan kapasitas lebih dari 20 gigawatt (GW) PLTU captive baru, atau setara 74,6% PLTU batu bara baru nasional hingga 2031.
Selain untuk mengendalikan emisi, hasil pajak karbon ini harus kembali kepada masyarakat di sekitar industri ekstraktif, untuk mewujudkan keadilan iklim bagi daerah penghasil. Apalagi, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk meredam perubahan iklim hingga Rp3.779 triliun.
Menahan laju emisi tak terkendali PLTU captive
Sejak 2014 hingga 2023, PLTU captive telah tumbuh lima kali lipat (dari 2,3 GW menjadi 11,2 GW) sebagai sumber energi pabrik pengolahan mineral di Maluku Utara dan Sulawesi. Dari kapasitas PLTU captive yang beroperasi di tahun 2024 yakni sebesar 15,3 GW, sebanyak 76% atau 11,6 GW diantaranya digunakan untuk mendukung pengolahan nikel.
PLTU captive lahir dari logika industrialisasi intensif karbon—dibangun dengan buru-buru tanpa pelibatan bermakna bersama masyarakat, terpusat di suatu wilayah, dan dibangun tanpa analisis dan dampak lingkungan (AMDAL) yang transparan. Dengan tata kelola yang carut marut ini, manfaatnya pun nyaris tidak dirasakan publik.
Ketergantungan PLTU batu bara captive oleh industri nikel tak hanya menghambat aksi iklim Indonesia untuk memenuhi target Perjanjian Paris, tetapi juga melahirkan kemiskinan baru selama satu dekade terakhir.
Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, rumah bagi banyak PLTU captive, adalah potret bagaimana perusahaan nikel memiliki daya rusak tinggi hingga melahirkan kemiskinan struktural. Perempuan rumah tangga mendapat beban domestik ganda karena harus bekerja sekaligus membersihkan rumah dari debu batu bara. Warga juga menderita diare, batuk bernanah dan berdarah sejak penambangan Harita Group di tahun 2010 yang mencemari mata air Kawasi. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, sebanyak 4 ribu warga sekitar Kamasi mengonsumsi air terkontaminasi zat kromium-6 (kromium heksavalen) yang melebihi batas aman. Senyawa ini bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker.
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2024 telah menghitung, empat perusahaan nikel terbesar seperti PT Aneka Tambang (Antam), Merdeka Battery Materials (MBMA), Trimegah Bangun Persada (TBP Harita), dan PT Vale bertanggung jawab atas pelepasan emisi 15,3 juta ton setara CO2 (MTCO2e) pada 2023. Jumlah emisi ini bahkan diproyeksikan naik menjadi 38,5 MTCO2e pada 2028 karena lonjakan produksi nikel yang masih dilebur menggunakan PLTU.
Sebelum emisi semakin parah, pemerintah perlu bergerak cepat mengendalikannya lewat pajak karbon. Meski pemerintah belum menetapkan batas emisi untuk sektor industri, kita bisa membayangkan potensi penerimaan pajak dari PLTU captive keempat perusahaan nikel di atas.
Dengan menggunakan tarif pajak karbon saat ini Rp30 per kilogram CO₂e (sekitar US$ 2 per ton), memajaki emisi ANTAM, MBMA, Harita, dan Vale yang mencapai 15,3 juta ton CO₂e pada 2023, berpotensi menghasilkan penerimaan hingga Rp459 miliar per tahun.
Oleh karena tarif pajak karbon masih terlalu rendah untuk mengubah perilaku perusahaan, kita bisa menghitung dengan tarif yang direkomendasikan Bank Dunia yakni US$ 30–50 per ton CO₂e. Dengan tarif ini, potensi penerimaan negara akan jauh lebih signifikan, yaitu sekitar Rp7,1 triliun hingga Rp11,9 triliun per tahun hanya dari empat perusahaan nikel terbesar –menjadi dorongan kuat bagi korporasi untuk bertransisi
Studi juga telah mengungkap pentingnya menerapkan carbon pricing pada PLTU captive. Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) pada 2024 menyebutkan, penerapan prinsip ESG (environmental, social, and governance) oleh perusahaan nikel tidak cukup untuk mengurangi emisi PLTU captive, sehingga perlu adanya carbon pricing yang progresif. Perpres No. 112 Tahun 2022 bahkan sudah mengatur bahwa PLTU captive yang termasuk proyek strategis nasional (PSN) harus memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) tertentu dalam jangka 10 tahun operasinya.
Semua pencemar perlu membayar
Selain PLTU captive, pemerintah juga tak boleh luput untuk mengenakan pajak pada sektor pembangkit listrik. Sesuai dengan Polluter Pays Principle atau ‘Prinsip Pencemar Membayar’, pelaku pencemar harus menanggung seluruh biaya pemulihan akibat pencemaran yang ditimbulkan.
Dengan catatan, pengenaan pajak karbon di sektor pembangkit listrik harus disertai pengurangan subsidi batu bara serta memastikan tarif listrik yang adil buat warga. Pajak karbon harus dibarengi kemauan politik pemerintah untuk berhenti mensubsidi energi fosil dan memberi perlindungan sosial memadai untuk terhadap rumah tangga.
Alih-alih menjadi beban, pajak karbon justru bisa meningkatkan PDB Indonesia hingga 1,5 kali. Bayangkan apabila uang Rp5.996 triliun PDB Indonesia berasal dari terungkitnya kesejahteraan warga di daerah penghasil, terutama kelas menengah ke bawah.
Pajak karbon juga berpotensi menambah daya saing ekspor Indonesia di pasar hijau global. Pasalnya, pembatasan energi kotor akan memudahkan komoditas Indonesia masuk ke pasar global yang tengah memperketat standar hijau barang impor. Seperti Uni Eropa yang tengah menyiapkan regulasi Battery Passport 2027, yang mewajibkan transparansi jejak karbon dalam rantai pasok kendaraan listrik. Amerika Serikat yang menjadi target utama pasar proyek hilirisasi baterai kendaraan listrik juga telah memberlakukan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism)—sebuah pengenaan pajak untuk produk impor yang intensif karbon. Sebut saja nikel, baja, dan aluminium dari pabrik intensif karbon yang kemungkinan tidak akan masuk pasar EU dan AS karena standar hijau mereka.
Dengan situasi ini, pemerintah mau tidak mau ada di antara dua pilihan: memajaki sektor energi kotor domestik, termasuk PLTU captive, untuk menambah penerimaan negara atau terus melanggengkan energi fosil hingga komoditas seperti nikel yang tak bernilai jual rendah di pasar global (karena persoalan lingkungan). Sejumlah laporan dari lembaga internasional, termasuk OECD, IMF, dan International Energy Agency (IEA), menunjukkan bahwa penerapan harga karbon adalah salah satu instrumen kebijakan yang paling efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kualitas udara di masa depan.
Tidak ada lagi waktu untuk menunda menetapkan batas emisi. Apa lagi, pengenaan pajak karbon yang rencananya diimplementasi pada 2025 pun sudah tertunda 3 tahun. Pada akhirnya, pajak karbon bukan hanya soal bagaimana pajak harus adil kepada warga kelas menengah dan bawah yang tak menghasilkan polusi, tetapi juga soal mengantisipasi biaya menanggulangi krisis iklim agar tak membebani kas negara maupun masyarakat di masa depan.




