Kesepakatan Tarif AS Bisa Menghambat Transisi Energi Indonesia
Robby Irfany Maqoma, Dinita Setyawati • Penulis
28 Juli 2025
20
• 5 Menit membaca

Indonesia dan Amerika Serikat baru saja mencapai kesepakatan penting: menurunkan tarif ekspor produk Indonesia ke AS dari 32% menjadi 19%. Ini dianggap angin segar bagi ekspor nasional, terutama sektor manufaktur dan tekstil.
Sayangnya, di balik kesepakatan tersebut, ada harga yang harus dibayar mahal oleh Indonesia—berpotensi mengganggu proses transisi energi bersih. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Indonesia akan mengimpor produk energi dari AS senilai US$ 15 miliar, dengan gas alam cair (LNG) atau gas fosil disebut-sebut termasuk di dalamnya.
Pemerintah memang menyebut penggunaan gas adalah bagian dari strategi diversifikasi energi. Namun, jika dilihat lebih dalam, langkah ini berisiko menjadi jebakan jangka panjang. Indonesia berpotensi makin tergantung pada bahan bakar fosil dan infrastruktur gas, justru di saat dunia sedang mempercepat transisi ke energi bersih.
Di atas kertas, gas fosil terlihat sebagai solusi yang “lebih ramah lingkungan” dibanding batu bara karena emisi yang lebih rendah.
Namun, emisi gas fosil justru juga proses produksi, transportasi, dan distribusi gas juga menyumbang emisi metana—gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dari CO₂ dalam menjebak panas. Metana bisa bocor dari sumur pengeboran, pipa, hingga fasilitas penyimpanan, dan sering kali luput dari pemantauan.
Kebocoran metana ini jadi masalah serius karena dampaknya ke iklim sangat besar. Dalam 20 tahun pertama, metana punya potensi pemanasan lebih dari 80 kali lipat dibanding CO₂.
Gas fosil dan risiko tersembunyi
Penggunaan gas juga menyimpan risiko besar terhadap ketahanan energi nasional.
Salah satu risiko utama dari LNG adalah security of supply atau keamanan pasokan. Kontrak LNG umumnya bersifat jangka panjang, harganya sangat fluktuatif, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi geopolitik. Lihat saja krisis Rusia–Ukraina yang menyebabkan lonjakan harga gas global pada 2022. Negara-negara Eropa kelimpungan dan harus mengubah strategi energi mereka dalam waktu singkat.
Indonesia bisa saja menghadapi hal serupa. Ketergantungan terhadap LNG impor, terutama dari negara yang jauh, membuat kita rentan terhadap krisis global. Sementara itu, hingga kini belum ada kejelasan tentang kontrak jangka panjang LNG yang akan kita bangun dengan AS. Hal ini kemungkinan tidak sejalan dengan arah visi Asta Cipta Presiden, yaitu kemandirian energi.
Tak cuma soal harga dan pasokan. Pembangunan infrastruktur LNG juga mahal dan kompleks. Mulai dari terminal penerima, fasilitas regasifikasi, hingga jaringan pipa yang bisa menjangkau pembangkit. Proyek-proyek ini butuh waktu bertahun-tahun dan biaya besar. Artinya, hanya perusahaan besar yang bisa mengembangkan proyek ini. Akibatnya, potensi tumbuhnya pelaku energi terbarukan menjadi tertahan.
Ketahanan energi juga belum menghitung risiko ketahanan anggaran dan gangguan daya beli masyarakat karena impor gas fosil. Studi tahun 2023 menunjukkan bahwa dalam beberapa skenario, biaya produksi pembangkit listrik berbasis gas bisa lebih tinggi daripada PLTU modern. Misalnya, gas Combined-Cycle Gas Turbine (CCGT) memiliki levelized cost of electricity (LCOE) kisaran US$ 5,5–12,2 sen per kilowatt jam (kWh), sedangkan PLTU ultra-supercritical—generasi mutakhir teknologi batu bara—masih lebih rendah di kisaran US$ 4,6–10,7 sen per kWh. Ini menunjukkan bahwa di saat harga bahan bakar gas melonjak, biaya produksi listrik dari gas bisa lebih mahal daripada energi dari batu bara.
Mahalnya penggunaan gas membawa risiko besar pada tarif listrik nasional. Jika pemerintah mengandalkan gas impor untuk pembangkit, fluktuasi harga LNG dan biaya transportasi yang tinggi bisa menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Dalam jangka panjang, kenaikan biaya ini bisa diteruskan ke konsumen dalam bentuk tarif listrik lebih tinggi.
Dibandingkan dengan surya dan angin, gas terlihat kuno
Sekarang mari kita bandingkan gas fosil dengan energi terbarukan seperti surya.
Panel surya bisa dipasang di atap rumah, di tanah kosong, secara terapung di perairan, hingga di gedung perkantoran. Secara teknologi, skala, dan biaya, energi surya dan angin makin efisien dan kompetitif. Pembangkit energi surya juga bisa digunakan untuk menyalakan listrik di daerah terpencil tanpa perlu membangun infrastruktur besar yang rumit dan mahal. Biaya pembangkitan tenaga surya juga lebih murah dibandingkan dengan teknologi gas.
Perserikatan Bangsa Bangsa bahkan menggarisbawahi energi surya sebagai solusi penyediaan akses energi yang adil bagi masyarakat di daerah terpencil.
Sementara pembangkit gas fosil harus dibangun dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan bakar, pengangkutan, pengolahan, hingga pembakaran dan pengurangan emisi.
Selain itu, ketika kita memilih untuk membangun infrastruktur gas, Indonesia menghadapi satu risiko besar: inersia kebijakan energi. Ini istilah dalam studi kebijakan yang merujuk pada kondisi ketika negara sulit berubah karena sudah terlanjur berinvestasi besar di satu jenis energi.
Semakin banyak pipa gas, terminal LNG, dan pembangkit gas yang dibangun, semakin besar resistensi suatu negara terhadap perubahan ke energi bersih. Sebab, investasi fasilitas tersebut membutuhkan pendanaan hingga ratusan triliun rupiah dan membutuhkan waktu sekitar 8-15 tahun untuk pengembalian modal.
Gas jadi andalan, tapi dunia bergerak ke energi bersih
Rencana pemerintah dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menunjukkan bahwa gas akan menjadi salah satu tulang punggung sistem energi kita ke depan. Namun, ini bisa menjadi langkah mundur, bukan maju. Saat dunia bergerak cepat menuju listrik dari surya, angin, dan baterai, kita justru menambah ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Lebih mengkhawatirkan lagi, strategi ini bisa mengirim sinyal buruk ke investor internasional. Saat ini, arus investasi global—terutama dari lembaga keuangan besar—semakin diarahkan ke proyek-proyek energi bersih. Negara seperti Singapura, Vietnam, dan Thailand sudah lebih agresif membangun portofolio energi terbarukan mereka.
Jika Indonesia terlalu bertumpu pada gas, bukan tidak mungkin investor akan mengalihkan dana mereka ke negara-negara yang dianggap lebih progresif. Kita bukan hanya tertinggal secara teknologi, tapi juga dalam kompetisi investasi.
Saatnya tinjau ulang strategi gas
Pemerintah perlu meninjau ulang rencana ekspansi gas besar-besaran, apalagi jika dasarnya adalah komitmen dagang dengan AS. Impor LNG bisa saja menguntungkan secara jangka pendek, tapi lebih banyak mudaratnya dalam jangka panjang—baik untuk ekonomi, iklim, maupun ketahanan energi.
Alih-alih membeli gas, Indonesia bisa menegosiasikan bentuk kerja sama lain dengan AS. Negeri itu adalah pemimpin dunia dalam teknologi energi terbarukan—baik itu panel surya, baterai, maupun sistem jaringan pintar. Kita bisa menjadikan kerja sama ini sebagai peluang mempercepat transisi energi, lewat alih teknologi, investasi langsung, maupun asistensi teknis.
Dengan strategi diplomasi yang lebih cermat, Indonesia tidak perlu memilih antara ekspor dan iklim. Kita bisa meraih keduanya—selama kita mampu menempatkan kepentingan jangka panjang selaras dengan tren masa kini dan mendesaknya krisis iklim
-
Dinita Setyawati adalah Senior Energy Analyst di EMBER sekaligus Panel Ahli Transisienergiberkeadilan.id bidang kebijakan energi.