Legalitas yang Longgar: Risiko Tata Kelola Izin Tambang untuk UMKM dan Koperasi
Muhamad Saleh, Cintya Faliana • Penulis
30 Juli 2025
11
• 6 Menit membaca

Kredit foto: Presidenri.go.id
Rencana pemerintah untuk melibatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Koperasi untuk mengelola tambang bisa menjadi bumerang bagi penguatan tata kelola pertambangan. Menteri UMKM Maman Abdurrahman disebut tengah menyusun peraturan untuk memudahkan keterlibatan UMKM mengelola pertambangan.
Mulanya, rencana yang diusulkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membawa ‘semangat’ mendayagunakan UMKM sekitar area tambang. Namun demikian, sejumlah risiko menjadi perhatian banyak pihak. Benarkah kebijakan pengelolaan tambang oleh UMKM membawa lebih banyak manfaat ketimbang kerugiannya?
Berbagai Risiko Tata Kelola
Pelibatan koperasi dan UMKM untuk mengelola tambang menambah ragam entitas hukum yang terlibat dalam sektor ekstraktif. Sebelumnya, kegiatan ini hanya diperuntukkan bagi badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang pendiriannya tunduk pada Undang-Undang PT. Kini, koperasi dan UMKM yang diatur dalam rezim hukum berbeda turut diberi akses, meski ketiga jenis badan hukum ini jelas memiliki karakteristik usaha, kapasitas modal, dan struktur pertanggungjawaban yang berlainan.
Secara kelembagaan, PT memiliki struktur yang lebih kompleks, mulai dari modal minimum, sistem pengawasan internal, kewajiban audit keuangan, hingga kewajiban transparansi bagi pemegang saham. UMKM, terutama yang berbasis perseorangan, memiliki batasan modal dan sering kali berada dalam ekosistem informal. Usaha mikro, misalnya, dibatasi pada modal di bawah Rp1 miliar, sementara usaha kecil dan menengah masing-masing berada di bawah Rp5 miliar dan Rp10 miliar.
Sementara itu, koperasi dikelola secara kolektif. Dengan membuka ruang bagi entitas yang pada dasarnya tidak dirancang untuk menangani aktivitas dengan kompleksitas dan risiko tinggi seperti pertambangan, kebijakan ini secara tidak langsung menyamakan kapasitas hukum dan tata kelola dari entitas yang sebenarnya tidak sebanding.
Penyamaan ini mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam hukum perusahaan dan prinsip proporsionalitas dalam tata kelola. Selama ini, sistem hukum dan kebijakan publik telah membedakan bentuk badan usaha bukan sebagai sekat, tetapi sebagai upaya menyesuaikan jenis usaha dengan kapasitas dan tanggung jawab yang melekat pada masing-masing entitas.
Penyesuaian itu juga diwujudkan dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang berfungsi untuk menetapkan bidang usaha sesuai karakter entitas. KBLI merupakan instrumen penting untuk menata peta sektor ekonomi, sekaligus menjaga agar setiap entitas hanya menjalankan kegiatan usaha yang relevan dengan kapasitasnya.
Pelonggaran akses terhadap sektor tambang berpotensi menurunkan standar tata kelola di sektor yang sejak lama dikenal memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan, konflik sosial, dan keselamatan kerja. Dengan regulasi yang ada saja, pemerintah masih mengalami kesulitan menegakkan kepatuhan perusahaan terhadap standar lingkungan dan pascatambang. Apalagi jika izin diberikan kepada pelaku usaha yang tidak memiliki kapasitas kelembagaan, sistem pelaporan, dan mekanisme pengawasan internal yang memadai.
Masalah lain muncul dalam aspek ketenagakerjaan. BPS mencatat bahwa per Februari 2025, rasio pekerja informal meningkat menjadi 59,4% dari total angkatan kerja, atau sekitar 86 juta orang. Dalam konteks UMKM, sebagian besar pelaku usaha dan tenaga kerjanya berada dalam sektor informal yang tidak terikat pada ketentuan standar upah, perlindungan keselamatan kerja, dan jaminan sosial.
Berbeda dengan PT yang relatif lebih mudah diawasi melalui regulasi formal, entitas kecil cenderung luput dari radar pengawasan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja. Hal ini mengkhawatirkan mengingat sektor pertambangan menuntut penerapan standar tinggi, baik dari regulasi Kementerian ESDM maupun standar internasional seperti Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) dan Environment Social and Governance (ESG).
Lebih jauh lagi, perlu diperhatikan bahwa bentuk dan struktur entitas hukum akan berdampak langsung pada mekanisme pertanggungjawaban hukum ketika terjadi pelanggaran. Misalnya, penyidikan tindak pidana korporasi terhadap koperasi bisa menyulitkan karena lembaga ini yang tidak memiliki struktur pengambilan keputusan formal seperti direksi dan komisaris. Sebab, terdapat tantangan dalam menetapkan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sementara dalam kasus kepailitan, ganti rugi lingkungan, atau pencabutan izin, negara bisa menghadapi kesulitan menagih kewajiban hukum dari entitas dengan struktur modal terbatas atau kepemilikan kolektif.
Risiko Modal dan Celah Afirmasi
Pengelolaan tambang emas dan tembaga membutuhkan investasi sangat besar, berkisar US$200–350 juta (sekitar Rp3,2–5,67 triliun). Keterbatasan modal membuat UMKM dan koperasi sangat rentan, baik secara pendanaan maupun kapasitas kelembagaan. Ketimpangan regulasi antara badan usaha juga membuka peluang penyalahgunaan hukum.
Kebijakan afirmatif bagi UMKM justru bisa dimanfaatkan perusahaan besar untuk memperluas konsesi secara terselubung, seperti kasus Freeport yang diduga sempat mengendalikan IUP-IUP kecil di sekitar wilayah konsesinya. Perlakuan khusus bagi UMKM pun berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap pelaku usaha lain yang lebih siap.
Minimnya pendanaan berisiko menimbulkan beban pada negara, terutama jika UMKM gagal mengelola tambang. Misalnya, pemerintah harus menanggung biaya pascatambang, tenaga kerja, dan kerusakan lingkungan.
Kasus PT Timah menunjukkan bahwa bahkan perusahaan besar bisa menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun akibat kerusakan ekologis dan biaya pemulihan. Di Bangka Belitung, pertambangan menyebabkan hilangnya hutan tropis seluas 460 ribu hektar dan ribuan lubang tambang.
Ekonomi Restoratif untuk UMKM dan Koperasi
Jika benar pemerintah ingin agar UMKM dan koperasi di sekitar wilayah tambang mendapatkan manfaat secara langsung, maka masih terbuka banyak alternatif yang dapat diambil tanpa harus menurunkan standar tata kelola industri ekstraktif.
Salah satu pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah mendorong pengembangan ekonomi restoratif—menekankan pengembangan ekonomi yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan—bukan semata memperluas praktik ekonomi ekstraktif.
Pemerintah perlu melihat potensi sektor lain di wilayah tambang yang selama ini terpinggirkan, seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Ambil contoh Kalimantan Timur, yang selama ini dikenal sebagai lumbung batu bara nasional. Wilayah ini menyimpan potensi perikanan yang luar biasa. Data dari dashboard potensi desa yang disusun CELIOS menunjukkan komoditas unggulan seperti udang windu jumbo, tuna sirip biru, udang galah, dan ubi kayu memiliki nilai ekonomi tinggi tapi belum tergarap maksimal.
Begitu pula dengan sektor pertanian dan perkebunan yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam strategi pembangunan ekonomi wilayah tambang. Padahal, hilirisasi di dua sektor ini dapat menjadi fondasi penting bagi ekonomi lokal yang lebih inklusif, berketahanan, dan tidak tergantung pada eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan.
Dengan memberi perhatian serius terhadap penguatan UMKM dan koperasi dalam skema ekonomi restoratif, pemerintah sejatinya sedang menapaki jalur yang sejalan dengan visi hilirisasi tapi tak terbatas pada pertambangan.
Skema ini juga membuka ruang bagi masyarakat sekitar tambang untuk bersiap menghadapi transisi menuju energi terbarukan. Dengan dukungan pada kapasitas ekonomi lokal yang lebih hijau dan beragam, masyarakat dapat membangun ketahanan ekonomi jangka panjang, bahkan ketika era batu bara dan ekstraksi sumber daya alam telah usai.
-
Muhamad Saleh adalah Peneliti bidang Hukum dan Regulasi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS).