Memahami Istilah COP dan Kebijakan Iklim Indonesia
Cintya Faliana • Penulis
07 November 2025
7
• 5 Menit membaca

Setiap tahun, dunia berkumpul dalam Conference of the Parties (COP). Tahun ini, pertemuan ke-30 akan digelar di Belem, Brasil yang menandai tiga dekade upaya global dalam menghadapi krisis iklim. Namun, meski sudah berlangsung puluhan tahun, banyak masyarakat belum memahami apa sebenarnya COP itu, mengapa penting, dan bagaimana hasilnya berdampak langsung pada kebijakan iklim di Indonesia.
Padahal, keputusan-keputusan yang lahir dari COP telah membentuk arah kebijakan iklim dunia. Salah satunya adalah komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi, beralih ke energi bersih, dan mencapai Net Zero Emission (NZE).
1. Apa itu COP?
Conference of the parties (COP) adalah acara besar tahunan yang diselenggarakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Acara ini pertama kali digelar di Berlin, Jerman pada 1995. Setelahnya, anggota COP secara bergilir menjadi tuan rumah hajatan besar ini. Indonesia pun pernah menjadi tuan rumah COP 13 pada 2007 lalu.
Secara teknis, COP adalah lembaga tertinggi yang membuat keputusan terkait kebijakan iklim secara global. Setidaknya terdapat 198 negara yang menjadi anggota dan melakukan evaluasi terhadap keputusan-keputusan yang telah dibuat tahun sebelumnya.
Anggota-anggota COP meninjau sejauh mana kesepakatan sudah dijalankan, membahas aturan atau kebijakan baru yang perlu dibuat, dan mengambil keputusan agar pelaksanaan konvensi bisa berjalan lebih efektif.
Salah satu kesepakatan besar yang diambil dalam COP adalah Perjanjian Paris, 2015 silam. Perjanjian inilah yang menjadi acuan kebijakan pemerintah seluruh dunia untuk menekan laju kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celcius.
2. NDC
Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen dan kontribusi setiap negara dalam mencapai Perjanjian Paris. Setelah Perjanjian Paris, setiap lima tahun negara-negara harus memperbarui komitmen dan kontribusi yang dilakukan untuk mencapai target yang telah ditentukan. Target yang ditetapkan itu pun diharapkan terus meningkat untuk menunjukkan keseriusan setiap negara mengatasi krisis iklim.
Pertama kali negara-negara mengumpulkan dokumen NDC pada 2015/2016 setelah Perjanjian Paris. Kemudian, putaran kedua dilakukan lima tahun setelahnya yaitu 2020/2021 untuk memperbarui komitmen setiap negara. Terkini, negara peserta Perjanjian Paris harus mengumpulkan kembali target NDC yang lebih ambisius dari periode sebelumnya.
Pada dasarnya, dokumen ini mengatur kegiatan setiap sektor mulai dari energi, industri, pertanian, hingga transportasi untuk ikut berkontribusi mengurangi emisi. NDC bertugas sebagai kerangka kerja (framework) yang memastikan aksi iklim mereka terintegrasi dan berkelanjutan.
3. Mengapa Net Zero Emission (NZE) penting?
NZE adalah kondisi ketika jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer seimbang dengan jumlah emisi yang diserap kembali oleh alam atau melalui teknologi. Artinya, walaupun aktivitas manusia pasti menghasilkan emisi, jumlahnya bisa diimbangi oleh penyerapan emisi dari hutan, tanah, laut, atau teknologi penangkap karbon. Tujuan utamanya agar tidak ada lagi peningkatan emisi berlebih di atmosfer.
Konsep NZE muncul pertama kali dalam Perjanjian Paris, meski tidak disebutkan secara eksplisit. Konsep ini tertuang dalam pasal yang menegaskan bahwa seluruh negara harus mencapai keseimbangan antara emisi yang dihasilkan dan yang diserap di paruh kedua abad ini.
Ketika 191 negara meratifikasi Perjanjian Paris, artinya seluruh negara tersebut sepakat untuk menuju kondisi Net Zero Emission sekitar pertengahan abad ke-21 atau 2050. Namun, melihat realitanya, target NZE bervariasi: Malaysia, Singapura, hingga Inggris menargetkannya pada 2050, sedangkan India pada 2070. Indonesia sama seperti Cina, memiliki target NZE pada 2060.
4. Transisi energi dan keadilan Iklim (climate justice)
Untuk bisa menahan laju kenaikan suhu bumi sesuai angka yang disepakati, negara-negara perlu melakukan perubahan terutama di sektor energi. Pada 2020, volume emisi gas rumah kaca (GRK) global disumbang oleh sektor energi sebesar 75%. Penyebabnya adalah penggunaan energi fosil yang tinggi emisi.
Pada 2023, temuan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menunjukkan sumber GRK dari energi dan transportasi menyumbang 49%. Kemudian disusul oleh industri (24%), kegiatan di sektor pangan, kehutanan, dan alih fungsi lahan (22%).
Transisi energi adalah upaya mendorong penggunaan energi terbarukan yang lebih rendah emisi dan menghentikan penggunaan energi fosil. Meski membutuhkan waktu yang panjang, jika upaya ini tidak dilakukan maka kenaikan suhu bumi dan dampak krisis iklim semakin parah.
Bagaimana hubungannya dengan keadilan iklim? Keadilan iklim adalah upaya untuk mengakui bahwa dampak perubahan iklim tidak dirasakan secara merata atau sama. Kelompok berpendapatan rendah justru menanggung beban dampak yang lebih besar. Misalnya, mereka lebih mungkin terkena banjir, tidak bisa mengakses pendidikan mitigasi bencana, dan lainnya. Padahal, kontribusi emisi GRK mereka lebih kecil daripada para konglomerat.
Ketika mendorong transisi energi, penting untuk memastikan aspek keadilan iklim di dalamnya. Pendekatan ini mencari solusi yang tidak hanya mengatasi gejala, tetapi juga mencari akar penyebab perubahan iklim. Dalam prosesnya, keadilan iklim berupaya mengatasi berbagai ketidakadilan sosial, rasial, dan lingkungan sekaligus.
5. Kebijakan Energi Nasional (KEN)
Ketika membahas transisi energi, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang saling mendukung. Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru disahkan September lalu berfungsi sebagai panduan untuk pengelolaan energi menuju Net Zero Emission 2060 mendatang.
Dokumen strategis ini mengatur berbagai aspek, mulai dari tujuan hingga arah dan strategi kebijakan nasional. Selain itu, KEN juga mengatur penyusunan rencana energi di level nasional dan daerah.
KEN menjadi penting karena emisi GRK dari sektor energi Indonesia sangat besar. Sepanjang 2023, Indonesia menduduki peringkat 6 negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia khusus untuk sektor energi saja.
Nantinya, KEN diharapkan bisa menjadi acuan atau fondasi untuk kebijakan-kebijakan lain seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
RUKN disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menjadi pedoman makro dalam penyusunan dan pengembangan sistem ketenagalistrikan di seluruh Indonesia. Sedangkan, RUPTL disusun oleh PT PLN (Persero) untuk menjadi pedoman dalam mengembangkan sistem kelistrikan nasional 10 tahun mendatang. RUPTL disusun menjadi rencana bisnis dan teknis PLN untuk menyediakan tenaga listrik sesuai kebutuhan nasional dan arah RUKN.




