Oligarki Energi Fosil di Bisnis Energi Terbarukan: Berisiko Cederai Keadilan

Cintya Faliana Penulis

31 Oktober 2025

total-read

8

7 Menit membaca

Oligarki Energi Fosil di Bisnis Energi Terbarukan: Berisiko Cederai Keadilan

Kredit foto: Greenpeace

 

Rencana pemerintah menambah kapasitas energi terbarukan hingga kini menyisakan sejumlah persoalan. Mulai dari degradasi lingkungan hingga konflik sosial dengan masyarakat.

 

Sebagai contoh, PLTA Kayan di Kalimantan Utara yang berpotensi menenggelamkan 200 ribu hektar kawasan hutan. Padahal kawasan ini menjadi rumah bagi masyarakat adat dan keragaman hayati termasuk satwa endemik Kalimantan.

 

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu di Pangalengan, Jawa Barat, juga menghilangkan Desa Cibitung. Penyebabnya pipa milik PLTP Wayang Windu meledak akibat longsor pada 2015. Sebanyak 50 kepala keluarga (KK) atau 200 jiwa kehilangan rumah dan kampung halaman. Proyek ekspansi geotermal Ulumbu di Nusa Tenggara Timur juga mendapatkan penolakan dari warga dan bahkan—berdasarkan studi—turut berisiko menggerus kesejahteraan mereka yang mencari nafkah dari pertanian.

 

Kasus-kasus tersebut menandai bahwa pemerintah masih mempertahankan pola lama dalam menggenjot transisi energi terbarukan, yakni melalui kolonialisme energi. Pola ini kerap terjadil melalui kemitraan dengan investor kakap untuk membangun proyek-proyek besar yang berjalan tanpa perencanaan bersama warga.

 

Studi terbaru dari Koalisi Transisi Bersih mengonfirmasi gelagat tersebut: Keterlibatan konglomerat, khususnya pebisnis besar energi fosil, dalam transisi energi Indonesia.

 

Keterlibatan oligarki fosil dan praktik buruk yang berulang

Koalisi Transisi Bersih menganalisis enam konglomerasi dan 44 anak usaha yang terlibat dalam bisnis energi baru dan terbarukan. Enam konglomerasi tersebut adalah Adaro, Barito Pacific, Jhonlin, Medco, Sinarmas, dan Wilmar.

 

Keenam korporasi ini terlibat dalam jenis bisnis energi yang berbeda, meski memberikan ekses buruk yang serupa. 

 

1. Adaro

PT Adaro Energy Indonesia (Adaro) berdiri pada 2008 dan menjadi produsen batu bara terbesar di Indonesia—salah satu perusahaan yang membangun PLTA Kayan, Kalimantan Utara. PLTA ini dirancang untuk mendukung Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) dengan kapasitas 9.000 megawatt (MW). Bermodal investasi Rp275 triliun, PLTA ini diprediksi selesai pada 2035 mendatang. 

 

Meski nampak sebagai sebuah kemajuan transisi energi, namun PLTA Kayan Mentarang akan menenggelamkan lahan seluas 22.604 hektar, dengan tinggi 325 meter di Kecamatan Mentarang Ulu dan Sungai Tubu. Proses pembangunan PSN ini menyebabkan 514 KK terdampak sengketa lahan di Mangkupadi, Tanah Kuning, dan Desa Binai.

 

Adaro juga dianggap melakukan greenwashing dengan kampanye “Responsible Carbon” yang menampilkan bagan penuh ‘jargon keberlanjutan’ tapi masih berlandas pada bisnis utama Adaro di sektor batu bara. Bisnis boros karbon ini dilakukan melalui PT Adaro Andalan Indonesia. 

 

Selain itu, keterkaitan dengan sejumlah pihak yang memiliki pengaruh politik signifikan (politically exposed persons/PEPs) membuat posisi Adaro menjadi semakin kompleks.

 

2. Grup Barito Pacific 

Grup Barito juga terlibat dalam bisnis energi terbarukan yang serampangan. Barito Pacific adalah tokoh di balik pembangunan PLTP Wayang Windu yang kontroversial itu. Proyek ini meninggalkan jejak kerusakan lingkungan termasuk retakan tanah dan sumber air mengering.

 

Barito Pacific juga menikmati keuntungan besar dari solusi palsu mengatasi krisis iklim seperti perdagangan karbon. Pada 2018, PT Barito Renewables Tbk (BREN) meraup kapitalisasi pasar terbesar dari perdagangan karbon melalui izin restorasi ekosistem di Bursa Efek Indonesia (BEI). Barito Renewables menjadi pilar baru bisnis ‘hijau’ perusahaan kendati masih terlibat sejumlah bisnis energi kotor PLTU batu bara.

 

3. Grup Medco 

Medco merupakan perusahaan minyak dan gas swasta terbesar di Indonesia yang bergerak di bisnis energi terbarukan lewat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Merauke, Papua Selatan. PLTBm ini mulai beroperasi sejak 2015 lalu. 

 

Grup Medco mendapat investasi dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) di bawah naungan Kementerian Keuangan sebesar Rp65 miliar untuk proyek ini. PLTBm berkapasitas 3,5 MW ini berbahan dasar dari pelet kayu. 

 

Sayangnya, pelet kayu berasal dari pembabatan hutan seluas 3.500 hektare. Tidak hanya sampai di situ, Medco berencana menambah luas perkebunan sebesar 2.500 hektare. 

 

Perluasan kebun tersebut menyasar tanah ulayat masyarakat adat Marind. Padahal, orang Marind masih menggantungkan hidup dengan berburu dan meramu, sehingga mereka kini kesulitan mendapat bahan pangan. Pada Agustus 2022, jumlah anak tengkes (stunting) mencapai 14 orang. Sembilan orang anak juga dilaporkan meninggal karena kurang gizi sejak 2012.

 

4. Grup Jhonlin

Selain menjadi produsen sekitar 400 ribu ton batu bara setiap bulan, Grup Jhonlin juga merambah ke sektor migas, agrobisnis, dan transportasi. Pada 2022, PT Jhonlin Agro Raya Tbk (JARR) mencatatkan diri di pasar modal.

 

PT JARR menguasai lahan konsesi seluas 17 ribu hektare untuk memproduksi bahan baku B50 atau biodiesel yang merupakan campuran produk turunan sawit dan solar. Selain itu, perkebunan kelapa sawitnya melalui PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) memiliki konsesi seluas 8,6 ribu hektare dan PT Jhonlin Agro Lestari seluas 10 ribu hektare. Perkebunan ini rencananya akan ditanami kayu sengon dan jabon untuk produksi pelet kayu dan plywood.

 

Dalam proses perluasan kebun ini, Grup Jhonlin merebut tanah legal warga Pulau Laut. Alih-alih melakukan mediasi dan negosiasi, Grup Jhonlin memilih menggusur warga baru kemudian menawarkan ganti rugi tanpa ruang tawar dengan angka Rp35 ribu/m2. 

 

Konflik agraria juga diselimuti dengan ancaman dan intimidasi dari Grup Johnlin. Warga diancam somasi dan pemanggilan oleh pihak kepolisian, seperti yang dialami enam kelompok tani pada 5 April 2023 di Polres Kotabaru. 

 

Kriminalisasi juga dilakukan kepada jurnalis Kemajuan Rakyat, Muhammad Yusuf. Usai memberitakan soal sengketa lahan, Yusuf dituduh menyebarkan berita palsu. Ia sempat ditahan dan dijadikan tersangka. Ia tak pernah sampai di meja hijau sebab meninggal di Lapas II B pada Juni 2018.

 

5. Grup Wilmar dan Sinarmas

Dalam laporan Koalisi Masyarakat Bersih, konglomerasi seperti Wilmar dan Sinarmas yang bergerak di kelapa sawit juga ikut terlibat ‘praktik buruk’ di bisnis energi terbarukan. Grup Wilmar menjadi salah satu produsen biodiesel terbesar di Indonesia yang memasok untuk PT Pertamina (Persero). 

 

Grup Wilmar diuntungkan Keputusan Menteri ESDM No 341/2024 terkait mandatori bahan bakar nabati hingga 40%. Mereka setidaknya menerima Rp56,6 triliun dari subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sepanjang 2015-2023.

 

Sinarmas mulai masuk ke bisnis ketenagalistrikan lewat PLTP dan penyedia PLTS. Pada saat yang sama, Grup Sinarmas juga menguasai sekitar 14% dari total 3,9 juta hektar sawit ilegal melalui PT Tapian Nadenggan. Grup Sinarmas juga disebut-sebut dalam kasus korupsi minyak goreng 2021 silam.

 

Transisi energi: perbaikan tata kelola dan keadilan 

Peralihan konglomerasi batu bara dan migas ke bisnis energi terbarukan sering dianggap ‘sinyal positif’ adaptasi mereka dengan tuntutan transisi energi. Namun, langkah ini baru benar-benar menjadi positif jika sudah memenuhi aspek keadilan, tidak semata-mata soal keuntungan.

 

Ketika konglomerasi fosil masuk ke bisnis energi terbarukan dan terus menerus diuntungkan oleh kebijakan, masyarakat patut waspada terhadap potensi korupsi dan politik rente. Masuknya aktor-aktor besar dengan koneksi politik ke sektor energi terbarukan bisa melanggengkan pola lama.

 

Proyek-proyek baru yang mereka jajal ditentukan bukan karena urgensi lingkungan, melainkan karena kedekatan kekuasaan. Ketika proyek energi bersih dikuasai oleh segelintir elit ekonomi dan politik, risiko penyalahgunaan wewenang dan ketimpangan akses energi justru meningkat.

 

Transisi energi seharusnya jadi momen untuk pemerintah memperbaiki kesalahan di masa lalu. Tidak hanya fokus mengganti sumber energi, tetapi juga memperbaiki tata kelola dan fokus pada kepentingan masyarakat. 

 

Jika praktik lama di energi fosil seperti eksploitasi sumber daya tanpa pemulihan, penggusuran, dan pengabaian hak masyarakat adat kembali diulang, maka transisi energi hanya ‘topeng’ untuk keuntungan konglomerasi.

 

Pemerintah bisa mendorong transisi energi tidak hanya melalui perusahaan-perusahaan besar, melainkan lewat komunitas. Kini sudah banyak inisiatif energi terbarukan berbasis masyarakat di berbagai daerah. Artinya, desentralisasi energi tidak hanya mempercepat akses listrik, tapi juga memperkuat ekonomi lokal dan rasa kepemilikan.

 

Jangan sampai mendorong transisi energi hanya sekadar pergantian label dari fosil ke ‘hijau’. Transisi energi berkeadilan harus memberi ruang bagi partisipasi warga, memperluas manfaat ekonomi, dan meminimalisir dampak lingkungan.

Populer

Terbaru