Menakar Subsidi Kendaraan Listrik untuk Dekarbonisasi Transportasi
Novaeny Wulandari • Penulis
30 Januari 2024
4
• 6 Menit membaca

Penjualan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/ BEV) di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) hingga Mei 2023, volume penjualan mobil listrik di Indonesia telah mencapai 1.560 unit.
Jumlah tersebut naik 21 persen dibandingkan bulan April 2023. Lonjakannya bahkan mencapai 680 persen jika dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu atau Mei 2022.
Untuk motor listrik, Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (AISMOLI) mengeklaim, penjualan motor listrik di Indonesia telah mencapai 48 ribu unit. Angka itu merupakan kalkulasi mulai tahun 2019–2023, tepatnya hingga Juni 2023.
Apakah peningkatan permintaan (demand) tersebut merupakan berkah dari kebijakan pemberian subsidi kendaraan listrik oleh pemerintah? Idealnya demikian.
Penelitian berjudul Renewable and Sustainable Energy Reviews yang terbit pada 2017 di ScienceDirect menyebutkan, jika subsidi menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik di Amerika Serikat (AS) dan Norwegia.
Bentuk subsidi tersebut beragam. Mulai dari pemberian hibah, pembebasan pajak pertambahan nilai, atau pajak pembelian di muka.
Di Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Maret 2023 mengeluarkan dana untuk subsidi pembelian dan konversi motor listrik sebesar Rp7 triliun (sekitar $456 juta).
Anggaran yang berasal dari dana bendahara umum negara itu diperuntukkan khusus untuk meningkatkan penggunaan motor listrik. Adapun rinciannya sebagai berikut.
Pada tahun 2023 subsidi yang dikeluarkan mencapai Rp1,75 triliun, dengan peruntukan:
- Pembelian 200 ribu unit motor listrik baru oleh Kementerian Perindustrian sebesar Rp1,4 triliun
- Konversi motor listrik 50 ribu unit oleh Kementerian ESDM Rp350 miliar.
Lalu, pada tahun 2024, subsidi serupa sebesar Rp5,25 triliun dikucurkan untuk:
- Pembelian 600 ribu unit motor listrik baru oleh Kementerian Perindustrian sebesar Rp350 miliar
- Konversi motor listrik 150 ribu unit oleh Kementerian ESDM Rp4,9 triliun.
Melansir data Asosiasi Industri Sepeda motor Indonesia (AISI), penjualan motor listrik baik yang subsidi atau konversi masih belum menggembirakan. Hingga Oktober 2022 baru ada 31.827 unit motor listrik yang mendapatkan Sertifikasi Registrasi Uji Type (SRUT) oleh Kementerian Perhubungan alias bisa digunakan masyarakat.
Belenggu Syarat TKDN untuk Insentif
Bantuan pemerintah untuk mobil listrik bukan subsidi melainkan berupa insentif. Pemberian insentif tersebut resmi berlaku sejak 1 April 2023.
Nilai insentif yang diberikan oleh pemerintah berkisar Rp30–65 juta per mobil listrik.
Mobil listrik yang telah memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen akan mendapatkan insentif pajak sebesar 10 persen. Padahal, sejak awal pajak pertambahan nilai pada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu dan KBL berbasis baterai bus tertentu yang ditetapkan pemerintah mencapai 11 persen.
Dari ketentuan itu, ketika membeli mobil listrik dengan syarat TKDN yang berlaku, konsumen hanya perlu membayar pajak sebesar satu persen.
Artinya, makin besar kapasitas baterai mobil listrik yang akan dibeli, makin besar pula untuk mendapatkan insentif.
Sayang, di Indonesia belum banyak pemain mobil listrik yang memenuhi standar TKDN. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) hanya ada beberapa merek mobil listrik yang memenuhi kriteria tersebut. Sebut saja mobil listrik dari pabrikan Hyundai dan Wuling.
Meski demikian, belakangan pemerintah melonggarkan kewajiban perusahaan otomotif terkait penggunaan komponen lokal untuk mobil listrik yang diproduksi di Indonesia. Kelonggaran ini tersebut mencakup penundaan aturan wajib memakai 40 persen TKDN hingga tahun 2026. Semula aturan tersebut berlaku untuk mobil listrik yang diproduksi sejak periode 2022–2023.
Seperti diketahui, TKDN mobil listrik diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Aturan itu diteken Presiden Joko Widodo pada 8 Agustus 2019.
Ketentuan pemberian insentif mobil listrik tidak berhenti pada aturan TKDN semata. Ada syarat lain, yakni pabrikan mobil listrik diwajibkan memiliki pabrik di Indonesia.
Sejauh ini–masih dari catatan Gaikindo– hanya ada dua mobil listrik yang memenuhi kriteria tersebut, yakni:
- Wuling Air ev yang mempunyai nilai TKDN 40,04 persen. Mobil tersebut diproduksi di pabrik PT SGMW Motor Indonesia di Cikarang, Jawa Barat
- Hyundai Ioniq 5 dengan nilai TKDN sebesar 40 persen. Produksinya di pabrik PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, di Cikarang, Jawa Barat.
Dari analisis tersebut, insentif untuk pembelian mobil listrik Hyundai Ioniq 5 mencapai Rp70–80 juta. Sedangkan Wuling Air ev sebesar Rp25–35 juta. Lalu, apakah insentif tersebut mampu mendongkrak penjualan mobil listrik?
Mengingat, data Gaikindo menunjukkan, jumlah penjualan mobil listrik berbasis baterai (BEV) hingga tahun 2022 sebanyak 10.327 unit. Jumlah itu naik dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya 685 unit mobil listrik.
Pilihan Ekonomis untuk Mengejar Target Emisi
Program subsidi mobil dan motor listrik menjadi jalan pintas pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Targetnya bisa mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga mengatakan, kebijakan subsidi atau insentif kendaraan listrik oleh pemerintah sudah tepat. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa memberikan multiplier effect (efek berganda) dan mampu memenuhi target komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon.
“Kebijakan ini sudah tepat karena termasuk ke dalam roadmap (peta jalan) transformasi kendaraan mesin pembakar internal (internal combustion engine/ ICE) atau konvensional berbahan bakar minyak menjadi kendaraan bermotor listrik, dan ini juga pasti akan memberikan multiplier effect.” ujar Daymas dikutip Ruang Energi, Minggu, 3 September 2023.
Pihaknya juga mendukung program pembangunan ekosistem kendaraan listrik. Khususnya kendaraan listrik roda dua. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia menggunakan motor daripada mobil.
Saat ini, lanjut Daymas, pola konsumsi kendaraan yang digunakan masyarakat Indonesia kebanyakan masih menggunakan energi fosil atau berbahan bakar minyak. Konsumsinya untuk kendaraan mencapai lebih dari 70 persen.
Senada dengan Daymas, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Materi Baterai Institute for Essential Services Reform (IESR), His Muhammad Bintang menjelaskan, dekarbonisasi transportasi darat dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik menjadi agenda utama memenuhi target NZE Indonesia. Pasalnya, emisi dari sektor transportasi di Indonesia tahun 2020 mencapai 30 persen dari total emisi karbon. Parahnya lagi, emisi karbon tersebut tertinggi berasal dari transportasi darat yang mencapai 88 persen.
Penggantian ICE dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi mengurangi emisi tetapi juga menjadi pilihan yang ekonomis. Menurutnya, penjualan kendaraan listrik skala Global akan mendominasi sampai 60 persen pada tahun 2023.
“Untuk itu, perlu disiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti penyediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU),” katanya dikutip dari laman resmi IESR.
Meski kendaraan listrik diakui lebih hemat dan efisien, sumber energi kendaraan tersebut masih mengandalkan kelistrikan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batu bara (fosil).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengakui jika mayoritas sumber listrik di Indonesia–termasuk untuk kendaraan listrik–dari PLTU. Ia menyebutkan, masih belum ada solusi yang berkelanjutan atas kebijakan penggunaan kendaraan listrik, khususnya untuk pasokan energinya.
“Nantinya ketika migrasi terhadap kendaraan listrik makin besar, diharapkan terdapat aliran investasi yang masuk ke Indonesia untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Sementara ini, (sumber) listrik yang ada dulu dipakai (dari PLTU. Setidaknya, (penggunaan kendaraan listrik) itu sudah mengurangi emisi,” ujarnya dilansir Republika.
Belajar dari Negara Lain
Pemberian subsidi dan insentif kendaraan listrik tidak hanya ada di Indonesia. Negara seberi seperti Norwegia, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Jerman, dan Inggris sudah lebih dahulu menerapkan kebijakan tersebut. Baik diberikan secara langsung atau tidak langsung.
Laporan Electric Vehicle Incentives dari tim peneliti University of California (UC) menyebutkan, pemberlakuan subsidi kendaraan listrik sudah dilakukan di sejumlah negara sejak 2019.
Sebut saja Norwegia. Pada tahun 2021 telah menerapkan pembebasan pajak untuk pembelian mobil listrik tipe battery electric vehicle (BEV) senilai US$10.700 atau sekitar Rp160,5 juta (kurs Rp15.000/US$).Lalu, Jerman juga memberlakukan hal yang sama. Memberikan potongan harga senilai US$10.600 atau sekitar Rp159 juta.