Mengenal Hidrogen Hijau: Potensi dan Tantangannya dalam Transisi Energi
Robby Irfany Maqoma • Penulis
31 Maret 2025
15
• 5 Menit membaca

Dalam perlombaan global menuju transisi energi bersih dan target net-zero emissions, hidrogen hijau (green hydrogen) makin sering disebut sebagai “bahan bakar masa depan.”
Disebut-sebut sebagai energi rendah emisi, hidrogen hijau berpotensi besar dalam mengurangi jejak lingkungan sektor-sektor sulit, seperti industri berat dan sektor penerbangan. Di Indonesia, pemanfaatan hidrogen hijau diawali dengan penggunaannya untuk mengurangi emisi industri pupuk.
Namun, di balik optimisme itu, muncul pula berbagai kritik dan tantangan yang perlu diperhitungkan, terutama di tanah air.
Apa itu hidrogen hijau?
Hidrogen hijau adalah hidrogen yang diproduksi melalui proses elektrolisis air, yaitu pemisahan molekul air (H₂O) menjadi hidrogen (H₂) dan oksigen (O₂) menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, atau air.
Melalui proses menyetrum air ini, hidrogen menjadi pembawa energi yang efektif dengan kepadatan energi yang tinggi. Sebagai ilustrasi, kendaraan berbahan bakar hidrogen hanya membutuhkan waktu 3-5 menit untuk proses isi ulang hingga penuh. Ini jauh lebih cepat dari isi ulang daya baterai pada kendaraan listrik yang memakan waktu hingga 10 jam untuk home charging.
Istilah hidrogen hijau baru digunakan digunakan belakangan untuk membedakan hidrogen lainnya yang berasal dari gas alam atau batu bara (hidrogen kelabu). Sementara ada hidrogen biru apabila emisi dari hidrogen kelabu diinjeksi kembali ke dalam tanah. Ada pula hidrogen yang diproduksi dengan bantuan energi nuklir (hidrogen pink).
Untuk apa saja hidrogen hijau digunakan?
Hidrogen hijau punya beragam aplikasi lintas sektor:
- Industri Berat: Industri seperti baja, semen, dan kimia—yang sulit didekarbonisasi—bisa menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar bersih pengganti batu bara atau gas.
- Transportasi: Kendaraan dengan bahan bakar sel (fuel cell) hidrogen, seperti mobil dan truk, menghasilkan emisi nol dan hanya mengeluarkan air. Ini menjadi alternatif untuk kendaraan listrik berbaterai, khususnya untuk transportasi jarak jauh atau beban berat. International Energy Agency (IEA) menyebutnya sebagai solusi penting untuk dekarbonisasi transportasi.
- Pembangkit listrik & penyimpanan energi: Hidrogen bisa disimpan dalam jangka panjang dan digunakan kembali saat pasokan energi dari surya atau angin tidak tersedia. Alhasil, hidrogen bisa mengatasi persoalan listrik energi terbarukan variabel (seperti surya dan angin) yang produksi setrumnya tidak stabil.
Tantangan pengembangan hidrogen
Meski bermanfaat, Indonesia masih perlu mengatasi tantangan dalam pengembangan hidrogen hijau.
Tantangan pertama adalah harga. Biaya produksi green hydrogen 2-3 kali lebih mahal dibandingkan hidrogen kelabu (grey hydrogen) yang berasal dari energi fosil. Apalagi jika biaya ini dihitung dengan ongkos desalinasi (penghilangan kadar garam), apabila sumber airnya berasal dari laut.
Distribusi dan penyimpanan juga menjadi tantangan teknis dan ekonomi tersendiri. Sebab, hidrogen sangat mudah terbakar dan memerlukan infrastruktur penyimpanan serta transportasi yang aman untuk mencegah kebocoran.
Hal lainnya yang perlu kita pertanyakan adalah efisiensi hidrogen. Setiap produksi 1 kg hidrogen akan membutuhkan listrik sekitar 50 kilowatt jam (kwh). Namun, 1 kg hidrogen hanya bisa digunakan untuk memproduksi listrik 33,33 kwh. Nilai ini bisa menurun apabila hidrogen disimpan sebagai fuel cell, yakni hanya 16 kwh.
Apakah hidrogen hijau cukup berkeadilan?
Meski menjanjikan, pengembangan hidrogen hijau tak lepas dari kritik.
Misalnya, proses elektrolisis untuk produksi hidrogen membutuhkan banyak air bersih: sekitar 9 liter air untuk setiap 1 kg hidrogen. Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan bahwa di wilayah rawan kekeringan, ini bisa memperburuk masalah pasokan air.
Di Indonesia, proyek di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, direncanakan akan memproduksi hidrogen hijau dengan kapasitas 2 gigawatt (GW). Menurut perhitungan CERAH, proses ini akan menggunakan 2,7 juta liter air atau setara dengan pasokan air bersih bagi 25,4% penduduk setempat.
Di tengah status Sumba Tengah sebagai daerah yang rawan kekeringan, produksi hidrogen hijau justru berisiko menciptakan ketimpangan pasokan air untuk proyek energi dan kebutuhan dasar masyarakat.
Penggunaan air dari sumber lainnya—misalnya bendungan—untuk produksi hidrogen juga berisiko merusak ekosistem dan mengubah pola aliran sungai.
Terkait hal ini, Indonesia perlu meninjau kembali rencana pengembangan hidrogen hijau yang termuat dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2060. Indonesia akan membangun pembangkit listrik tenaga air di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara hingga 22,7 gigawatt (GW) untuk bekal memproduksi hidrogen hijau.
Ekspansi PLTA di Papua berisiko menjadi bentuk baru green grabbing, yaitu perampasan ruang hidup masyarakat atas nama proyek ramah lingkungan. Sungai-sungai besar seperti Baliem dan Memberamo, yang berpotensi dibendung, adalah sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat dan bagian tak terpisahkan dari ekosistem mereka.
Hidrogen hijau perlu hati-hati
Penggunaan hydrogen hijau juga perlu hati-hati agar tidak menjadi alasan untuk memperpanjang umur pemakaian batu bara dalam pembangkit listrik tenaga uap. Pemerintah dan PLN menyinggung bahwa hidrogen merupakan salah satu bahan bakar pendamping batu bara melalui skema co-firing PLTU. Selain hidrogen, amonia juga menjadi salah satu bahan bakar alternatif yang dapat diproduksi dari hidrogen.
Oleh karena itu, Indonesia semestinya memperjelas tujuan penggunaan hydrogen hijau yang jelas. Saat ini, peta jalan hidrogen Indonesia yang disusun sejak 2023 lalu masih belum juga rampung.
PLN sebenarnya sudah memiliki fasilitas produksi yang mereka klaim bisa memproduksi hidrogen hijau di Jakarta Utara. Namun, perusahaan perlu memperjelas apakah produksi hidrogen ini 100% dari listrik energi terbarukan.
Sejauh ini PLN hanya mengumumkan hidrogen buatannya menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)berkapasitas 413 kilowatt peak (kwp) dan Renewable Energy Certificate (REC) pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang.
Perlu dicatat bahwa sertifikat ini bukan menandakan PLN menggunakan PLTP Kamojang sebagai sumber listrik untuk produksi hidrogen. REC hanyalah bukti bahwa PLN menggunakan kredit energi terbarukan dari aktivitas PLTP Kamojang untuk menebus produksi listrik energi fosilnya di suatu tempat.
Penggunaan sertifikat ini juga menjadi poin yang rawan pencitraan hijau (greenwashing) untuk memberi label hidrogen hijau—sebagaimana analisis dari International Council on Clean Transportation.
Jika Indonesia benar-benar ingin menjadikan hidrogen hijau sebagai bagian dari transisi energi, maka arah kebijakannya harus tegas dan tidak sekadar simbolis. Tanpa peta jalan yang jelas, hidrogen hijau berisiko menjadi sekadar jargon tanpa implementasi nyata atau, lebih buruk lagi, menjadi celah bagi industri fosil untuk terus beroperasi dengan dalih keberlanjutan.
Selain itu, upaya dekarbonisasi sektor industri berat tidak bisa hanya bergantung pada satu solusi seperti hidrogen hijau, apalagi jika masih ada risiko ekologis yang besar. Pengembangan energi terbarukan yang lebih efisien dan berkeadilan harus tetap menjadi prioritas utama.
Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hidrogen hijau bisa berbalik menjadi jebakan hijau (green trap)—sebuah ilusi solusi yang justru memperpanjang ketergantungan kita pada energi yang tidak benar-benar bersih.