Setahun Hilirisasi Nikel Era Prabowo: Masih Jauh dari Keadilan
Sita Mellia • Penulis
20 Oktober 2025
8
• 6 Menit membaca

Hilirisasi nikel di bawah Presiden Prabowo Subianto genap menginjak satu tahun. Sejak dilantik 20 Oktober 2024 lalu hingga hari ini, Prabowo dan wakilnya Gibran Rakabuming tak kunjung menepati janji kampanye untuk menyejahterakan warga lewat hilirisasi nikel—yang sudah digenjot sejak era Presiden Joko Widodo.
Misalnya, soal penciptaan 5 juta lapangan pekerjaan hijau. Hilirisasi komoditas, salah satunya nikel, diklaim menjadi fokus utama pertumbuhan 8% juga justru terus menciptakan masalah sosial-ekologis yang melahirkan kemiskinan baru.
Proyek yang diklaim sebagai ‘transisi energi hijau’—melalui peralihan kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik untuk mengurangi polusi udara—ini pun jauh dari cita-cita awal. Pasalnya, mayoritas nikel Indonesia atau sekitar 71% berakhir menjadi baja tahan karat, bukan baterai kendaraan listrik. Pada 2022 saja, sebanyak 75% baterai mobil listrik yang terjual di Indonesia bukan berasal dari nikel, melainkan besi atau lithium iron phospate (LFP). Ini dikarenakan LFP yang harganya jauh lebih murah.
Dengan hasil yang melenceng dari tujuan transisi energi, pemerintahan Prabowo justru menggenjot penggunaan energi kotor yang terus menggerus kualitas hidup warga di Maluku Utara, Sulawesi, dan Kalimantan. Analisis EMBER tahun 2025 menyebut, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menambahkan kapasitas PLTU batu bara sebanyak 26,8 GW hingga 2031. Lebih dari 20 GW diantaranya adalah untuk memasok listrik terutama smelter nikel dan industri mineral di Maluku Utara dan Sulawesi (PLTU batu bara captive). Sementara pada 2025 akan ada 190 pabrik peleburan nikel.
Selama setahun ini, masyarakat wajib mempertanyakan kemana sebenarnya Presiden Prabowo membawa hilirisasi nikel.
Brutal mengeruk mineral, merentankan yang marginal
Hadirnya hilirisasi nikel selama ini melahirkan kelompok-kelompok marginal seperti masyarakat adat, nelayan, pekerja industri nikel terutama perempuan.
Tata kelola mineral kritis justru dibuat tidak transparan. Publik tidak mengetahui data pasti berapa banyak dan hingga kapan bahan tambang harus dikeruk dan diolah, serta berapa banyak kebutuhan olahan nikel sebenarnya—baik untuk baja maupun untuk baterai.
Pelaksanaannya pun top-down karena sering kali berasal dari inisiatif pemerintah pusat maupun perusahaan negara melalui proyek strategis nasional (PSN). Alhasil, hilirisasi selama ini lebih banyak menguntungkan investor maupun perusahaan. Sementara warga selalu terpinggirkan.
UU Mineral dan Batu Bara yang disahkan dengan minim pelibatan warga dan buru-buru, misalnya, dijadikan alat kriminalisasi atau membungkam warga adat yang tengah mempertahankan ruang hidupnya dari lahan penambangan nikel. Sebelas warga adat Maba Sangaji, contohnya, divonis bersalah karena menolak penggusuran tanah adat untuk perluasan tambang nikel di Halmahera Timur. Mereka sempat mengalami kekerasan fisik dan verbal oleh aparat ketika mencoba memblokir alat berat yang masuk ke hutan adat.
Climate Rights International (CRI) Indonesia pada 2024 telah mewawancarai 45 warga di sekitar penambangan dan peleburan nikel Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Mereka mengungkapkan, beberapa perusahaan bekerja sama dengan aparat kepolisian dan militer untuk merampas tanah, memaksa, dan mengintimidasi masyarakat adat. Aparat kepolisian berulang kali mendatangi rumah warga adat agar mereka lekas memberi lahannya kepada korporasi.
Akhirnya, represi negara atas nama hilirisasi nikel ini membuat masyarakat adat kehilangan hak atas tanah, hak untuk menjalani cara hidup tradisional, hak untuk mengakses air bersih, dan hak atas kesehatan.
Proyek peleburan nikel terbesar lainnya, IMIP juga berlaku tak adil kepada pekerjanya. Upah pokok pekerja IMIP hanya sekitar Rp3.000.000-Rp3.100.000—di bawah upah minimum kabupaten (UMK) sebesar Rp3.236.848.
Dengan upah tak layak ini, pekerja memiliki jam kerja panjang, minim fasilitas keselamatan dan keamanan termasuk APD (alat pelindung diri) di tengah suhu yang kian panas. Inilah yang menyebabkan kecelakaan kerja berulang. Sejak awal 2023 hingga Mei 2025, tercatat 43 pekerja meninggal dunia di kawasan IMIP karena berbagai insiden.
Narasi ‘Hijau’ hanya polesan
Narasi nikel ‘hijau’ selama ini hanya di lapisan luar. Presiden Prabowo akan sulit mengklaim hilirisasi nikel membawa kesejahteraan bagi warga setempat selama proyeknya tidak hijau.
Sebaliknya, hilirisasi nikel justru berisiko memperparah perubahan iklim. Dengan asumsi seluruh smelter belum menggunakan energi terbarukan, hilirisasi nikel berpotensi menaikkan emisi 38,5 juta ton karbon pada 2028 karena lonjakan produksi nikel yang peleburannya dengan masih menggunakan PLTU batu bara.
Prediksi tersebut berisiko menjauhkan Indonesia dari komitmen Perjanjian Paris untuk menahan laju suhu global 1,5°C pada 2030 dan 2°C pada 2050. Padahal Indonesia sudah berkomitmen mengurangi sekitar 31% emisi dengan kemampuan sendiri dan bisa memangkas 43% emisi dengan bantuan internasional.
Selain intensif karbon, nilai tambah ekonomi dari hilirisasi juga tidak sebesar yang diklaim pemerintah. Sebagian besar keuntungan justru dinikmati oleh pemilik modal besar dan perusahaan asing yang mengendalikan rantai pasok.
Hilirisasi buat siapa?
Kehadiran proyek-proyek raksasa di sentra produksi nikel kepulauan Maluku juga belum memberi dampak kesejahteraan bagi warga. Misalnya, rasio gini di Maluku naik ke 0,296 pada tahun ini, dibandingkan 0,291 pada 2024. Sementara rasio gini di Maluku Utara naik dari 0,296 ke 0,299 selama 2024-2025. Rasio gini menandai ketimpangan yang melebar jika angkanya semakin mendekati 1.
Di lain pihak, investigasi Project Multatuli (2024) menunjukkan bagaimana oligarki domestik menguasai hampir seluruh rantai industri nikel, dari tambang, smelter, hingga ekspor. Sejumlah taipan lama Indonesia berjejaring dengan raksasa tambang Tiongkok seperti Tsingshan, Huayou, dan CNGR.
Tak hanya elit nasional, elit lokal juga meraup keuntungan dari industri nikel. Melalui praktik kolusi, tokoh lokal—mulai dari pengurus partai hingga tokoh agama, saling berjejaring dalam pengerukan nikel ilegal yang kemudian terhubung ke pabrik-pabrik pengolahan nikel.
Sementara itu, masyarakat di sekitar tambang hidup dalam udara berdebu, air tercemar, dan harga bahan pokok yang naik akibat hilangnya lahan pertanian dan pesisir. Hilirisasi yang dijanjikan sebagai jalan menuju kemakmuran, justru meminggirkan mereka dari masa depan yang dijanjikan. Akibat berbagai dampak tersebut, studi Center for Economic and Law Studies dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) meramalkan para petani dan nelayan akan merugi hingga Rp3,64 triliun pada15 tahun mendatang.
Merombak Hilirisasi
Jika Prabowo sungguh ingin menjadikan hilirisasi sebagai jalan menuju kemakmuran, pendekatannya harus dirombak dari akar. Hilirisasi tak bisa terus dipandang sebagai proyek industri semata, melainkan sebagai proyek sosial—yang mengutamakan keadilan ekologis dan kesejahteraan warga di wilayah tambang.
Langkah pertama adalah mengembalikan kendali kepada publik. Setiap rencana pembangunan smelter dan proyek energi seharusnya disertai kajian lingkungan dan sosial yang terbuka serta melibatkan masyarakat. Tanpa partisipasi bermakna, hilirisasi hanya menjadi kelanjutan penjajahan baru.
Kedua, pemerintah perlu memastikan nilai tambah nikel benar-benar dinikmati di dalam negeri, bukan hanya oleh segelintir investor. Skema dana abadi sumber daya alam, misalnya, dapat digunakan untuk membiayai layanan publik, diversifikasi ekonomi daerah tambang, hingga program transisi kerja bagi pekerja industri nikel.
Akhirnya, keberhasilan hilirisasi nikel tidak diukur dari seberapa banyak pabrik berdiri atau berapa besar ekspor bertambah, melainkan dari seberapa adil pembagian manfaatnya. Jika tidak, hilirisasi hanya akan menjadi simbol kemajuan semu—di atas tanah yang ditinggalkan rapuh dan warga yang kehilangan masa depan.