Mengenal Teknologi Energi Panas Bumi di Indonesia untuk Listrik Bersih
Novaeny Wulandari • Penulis
10 Maret 2024
3
• 5 Menit membaca

Indonesia, sebagai negara yang dilewati Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire, memiliki potensi energi panas bumi yang luar biasa. Menurut data dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) hingga Desember 2021, potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,766 gigawatt (GW) atau 23,766 megawatt (MW). Potensi ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, dari Sumatera hingga Papua.
Menurut Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022 yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, berikut adalah potensi panas bumi di Indonesia berdasarkan pulau. Sumatera memiliki potensi sebesar 9.517 MW, Jawa 8.050 MW, Bali 335 MW, Nusa Tenggara 1.399 MW, Kalimantan 175 MW, Sulawesi 3.071 MW, Maluku 1.144 MW, dan Papua 75 MW.
Energi panas bumi terbentuk ketika air, misalnya dari hujan, meresap ke dalam tanah dan mencapai batuan reservoir. Magma di bawah bumi memanaskan air ini hingga menjadi uap panas atau air panas dengan suhu mencapai 240-310°C. Energi panas ini dapat digunakan untuk menghasilkan listrik, yang dikenal sebagai energi panas bumi.
Ada tiga teknologi utama untuk mengkonversi energi panas bumi menjadi listrik, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tipe dry steam, flash steam, dan binary cycle.
- Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Tipe Steam Kering (Dry Steam Power Plants)
Pembangkit tipe ini merupakan jenis pertama yang dikembangkan. Pada tipe ini, uap panas langsung digunakan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik melalui generator. Sisa panas yang tidak digunakan akan kembali ke dalam reservoir melalui sumur injeksi. Pembangkit ini pertama kali digunakan di Lardarello, Italia, pada tahun 1904 dan masih beroperasi hingga sekarang. Di Amerika Serikat, teknologi ini juga digunakan di daerah Geysers, California Utara.
- Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Tipe Flash Steam (Flash Steam Power Plants)
Teknologi ini memanfaatkan panas bumi yang berupa fluida, seperti air panas alami, dengan suhu di atas 175°C. Fluida panas tersebut dialirkan ke dalam tangki flash dengan tekanan yang lebih rendah, menyebabkan terjadinya uap panas secara cepat. Uap panas tersebut menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik melalui generator. Sisa panas yang tidak terpakai kembali ke dalam reservoir melalui sumur injeksi. Contoh dari pembangkit ini adalah Cal-Energy Navy I flash geothermal power plants di Coso Geothermal field, California, Amerika Serikat.
- Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Tipe Siklus Biner (Binary Cycle Power Plants)
Teknologi ini berbeda dengan dua teknologi sebelumnya, yaitu dry steam dan flash steam. Pada pembangkit binary cycle, air panas atau uap panas dari sumur produksi tidak langsung menggerakkan turbin. Air panas bumi digunakan untuk memanaskan fluida kerja pada heat exchanger. Fluida kerja ini kemudian menghasilkan uap yang menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik melalui generator. Uap panas yang dihasilkan oleh heat exchanger merupakan fluida sekunder (biner). Pembangkit ini merupakan sistem tertutup, sehingga tidak ada yang dilepaskan ke atmosfer. Keunggulan dari pembangkit binary cycle adalah dapat beroperasi pada suhu rendah, yakni 90-175°C. Contoh penerapannya adalah di Mammoth Pacific Binary Geothermal Power Plants di Casa Diablo geothermal field, Amerika Serikat.
Diperkirakan penggunaan pembangkit listrik panas bumi tipe binary cycle akan semakin meningkat di masa depan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah merancang dan menguji prototipe pembangkit listrik panas bumi tipe siklus biner dengan kapasitas 2KW menggunakan fluida hidrokarbon sebagai fluida kerjanya.
PLTP Sarulla di Tapanuli Utara menjadi proyek pembangkit Energi Terbarukan (EBT) yang paling efisien di Indonesia, mengungguli PLTP Drajat, PLTP Kamojang, dan PLTP Wayang Windu. Efisiensi PLTP Sarulla terutama terlihat dalam pemanfaatan uap dan produk uap (brine) melalui tiga metode pembangkitan: condensing, bottomic, dan binary, yang dikenal dengan teknologi combine cycle.
Namun tidak semua proyek pembankit listrik memperhatikan dampak lingkungan. Dikutip dari Ecadin.org Implementasi proyek panas bumi dapat menimbulkan berbagai dampak lingkungan yang perlu dievaluasi dalam berbagai kategori. Beberapa faktor yang menjadi perhatian utama dalam penilaian ini termasuk tingkat kebisingan dan debu, emisi H2S (hidrogen sulfida), getaran, limbah dari proses pengeboran, penggunaan air dari sumber alam seperti sungai, tingkat kepadatan lalu lintas, dan juga dampak terhadap tenaga kerja lokal.
Di antara berbagai kategori tersebut, limbah dari proses pengeboran sering kali menjadi isu utama yang diperhatikan dalam proyek panas bumi. Selain itu, penggunaan air dari sumber alam seperti sungai juga menjadi perhatian kritis, terutama selama tahap pengeboran dimana penggunaan air dalam jumlah besar dapat mengganggu pasokan air untuk masyarakat sekitar. Tidak hanya itu, proses pengeboran juga dapat menyebabkan perubahan kualitas air, menyebabkan pencemaran pada sumber air yang ada dan mengganggu ketersediaan air bersih bagi masyarakat setempat.
Seperti warga yang tinggal di kaki Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Salah satu keprihatinan utama mereka adalah dampak yang mungkin terjadi terhadap ketersediaan air. Diketahui bahwa sumber air yang ada di kawasan Gunung Gede Pangrango menjadi penopang hidup bagi masyarakat Cianjur baik di daerah kaki gunung maupun di perkotaan. Dengan adanya proyek pembangkit listrik, potensi pengurasan air yang signifikan dari wilayah tersebut menjadi kekhawatiran yang nyata.
Pemanfaatan energi panas bumi untuk menghasilkan listrik memberikan beberapa keuntungan, antara lain sebagai sumber energi bersih dan ramah lingkungan. Energi panas bumi tidak tergantung pada cuaca dan tidak membutuhkan lahan yang luas. Namun, meskipun potensi ini besar, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengoptimalkan pemanfaatannya agar dapat menjadi salah satu sumber energi utama Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.