Menggali Perdebatan Terkait Energi Nuklir Sebagai Energi Terbarukan

Novaeny Wulandari Penulis

11 Maret 2024

total-read

2

4 Menit membaca

Menggali Perdebatan Terkait Energi Nuklir Sebagai Energi Terbarukan

Energi nuklir masih menjadi topik hangat dalam diskusi-diskusi energi di Indonesia. Meskipun pemerintah dan DPR telah menyetujui pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan memasukkannya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan, perdebatan masih terus berlangsung. Namun, satu hal yang tak boleh diabaikan adalah penerimaan publik terhadap energi nuklir, yang menjadi faktor krusial dalam pengambilan keputusan.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Pemangku Kepentingan, Herman Darnel Ibrahim menilai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir masih mahal. Hasil riset Dewan Energi Nasional menunjukkan bahwa di Eropa, biaya investasi untuk membangun PLTN dapat mencapai 10 miliar dolar AS per 1.000 megawatt (MW), dengan potensi penundaan konstruksi hingga enam tahun. Proses pembangunan PLTN memang memerlukan disiplin yang ketat dan melewati berbagai tahap evaluasi yang memakan biaya tinggi.

“Untuk mencapai target emisi nol bersih (NZE) 2060 masih bisa memaksimalkan eksploitasi energi hidro, panas bumi, dan biomassa. Lalu didukung teknologi penangkapan karbon PLTU batubara. Juga PLTS, PLTB dan massive storage (penyimpanan),” terang Herman dikutip Kompas.id, Selasa 27 Februari 2024. 

Meskipun ada pro dan kontra terkait energi nuklir, penting untuk melihatnya sebagai bagian dari diversifikasi sumber energi. Keberadaan PLTN dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menyokong kebutuhan energi nasional, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan energi. Namun, sementara manfaatnya potensial, penting juga untuk mempertimbangkan aspek keselamatan, keamanan, dan dampak lingkungan yang harus dihadapi dalam mengoperasikan PLTN.

Dalam mengambil keputusan terkait energi nuklir, perlu adanya keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan pakar energi. Diskusi terbuka, transparan, dan mendalam akan membantu memahami risiko dan manfaat energi nuklir secara lebih komprehensif, sehingga keputusan yang diambil dapat lebih tepat dan berkelanjutan bagi masa depan energi Indonesia.

Persiapan kebijakan terkait teknologi nuklir menjadi krusial sebagai salah satu alternatif energi masa depan. Analisis dan proyeksi bauran energi hingga tahun 2060 dianggap penting untuk menentukan langkah-langkah ke depan terkait teknologi nuklir. Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rohadi Awaludin menyampaikan kolaborasi riset antara BRIN dengan MRI dan Ontario Tech University Jepang bertujuan untuk mengkaji kebijakan nuklir.  Khususnya dalam konteks kontribusi energi nuklir terhadap pencapaian Indonesia Net-Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

“Hal ini untuk menentukan kebijakan terkait teknologi nuklir apabila nuklir menjadi salah satu sumber energi yang diproyeksikan,” jelas Rohadi dikutip dari laman BRIN, Selasa 27 Februari 2024.

Dosen Institut Teknologi Bandung Prof. Sidik Permana dalam orasi ilmiahnya menyoroti pentingnya komitmen global dalam mengurangi efek gas rumah kaca dan menjelaskan bagaimana energi nuklir, sebagai bagian dari energi baru terbarukan (SDGs 7), dapat berperan dalam mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Melihat pertumbuhan konsumsi energi yang terus meningkat dan terbatasnya sumber daya, pengembangan sumber energi alternatif menjadi suatu kebutuhan mendesak. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah energi nuklir. Dengan demikian, upaya ini diharapkan tidak hanya memperkaya peradaban manusia namun juga meminimalkan risiko terhadap perdamaian, keselamatan, dan keamanan.

“Teknologi pasti ada dua mata uang sisi benefit atau resiko, tentunya mengoptimalkan benefit terhadap kebutuhan dasar kesejahteraan dan juga peradaban.” terang Sidik dalam orasinya seperti dikutip dari laman itb.ac.id pada Selasa 27 Februari 2024.

Di saat seperti Amerika Serikat, Jepang, China, Perancis, dan Inggris meningkatkan investasi mereka pada nuklir, Jerman justru memutuskan mematikan tiga reaktor nuklir terakhirnya.

Langkah tersebut telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Sejak 2002, Berlin berusaha meninggalkan tenaga nuklir, dan proses ini dipercepat oleh mantan Kanselir Angela Merkel pada 2011 setelah bencana nuklir di Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir Fukushima di Jepang. Penghentian tenaga nuklir sejalan dengan upaya Jerman untuk melepaskan diri dari sumber bahan bakar berbasis fosil.

Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Steffi Lemke mengatakan keputusan untuk tidak lagi menggunakan tenaga nuklir ini menjadi kebijakan yang populer di negara tersebut, terutama karena gerakan anti-nuklir yang kuat. Ketakutan akan konflik Perang Dingin dan bencana atom seperti Chernobyl di Ukraina juga turut mempengaruhi keputusan ini.

“Risiko tenaga nuklir pada akhirnya tidak dapat dikendalikan.” jelas Lemke dikutip Kompas.com pada Selasa 27 Februari 2024. 

#efisiensi-energi#energi-nuklir#energi-terbarukan#nol-emisi

Populer

Terbaru