OJK Perlu Revisi Label ‘Hijau’ PLTU Batu bara
Sita Mellia • Penulis
05 Agustus 2025
23
• 3 Menit membaca

Kredit foto: Greenpeace/Reza Rahmandito
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2 pada Februari 2025 lalu. Taksonomi keuangan berkelanjutan adalah sistem klasifikasi resmi suatu negara yang menentukan aktivitas ekonomi yang ramah lingkungan atau “hijau”, sedang melakukan transisi secara keberlanjutan atau “transisi” tidak berkelanjutan.
Taksonomi menjadi pedoman bagi investor, pelaku usaha, dan pembuat kebijakan dalam memahami arah transisi suatu negara menuju ekonomi rendah karbon. Namun, lembaga pemikir (think tank) Energy Shift Institute (ESI) menilai OJK perlu mengkaji ulang TKBI sebab masih memberi ruang untuk berkembangnya PLTU batu bara.
Menurut peneliti ESI Hans Sutikno, kerangka taksonomi hijau saat ini berisiko menghasilkan emisi tinggi, alih-alih mendorong industri pertambangan mineral yang rendah karbon. “Tanpa reformasi segera, sistem ini berpotensi mengunci ketergantungan pada batu bara, menyesatkan arus investasi, dan mengganggu kepercayaan investor terhadap agenda transisi hijau nasional,” kata Hans.
Hans juga menambahkan, taksonomi hijau Indonesia tidak memiliki langkah mengurangi emisi secara bertahap dan bukti nyata pengurangan emisi, melainkan hanya menyampaikan rencana sesuai standar iklim global dengan label transisi.
Sementara Managing Director ESI Christina Ng menegaskan bahwa taksonomi hijau bukan sekadar kerangka teknis, tetapi sinyal strategis yang menunjukkan arah suatu negara. Menurut Christina, kredibilitas ambisi suatu industri hijau dapat dinilai dari keberhasilan dalam menyusun taksonomi dengan benar.
Laporan kajian ESI berjudul ‘Two Mining Powerhouses, Two Different Standards: Australia’s and Indonesia’s Contrasting Taxonomies’ telah membandingkan rencana taksonomi hijau Indonesia dan Australia—kedua negara yang sangat bergantung pada batu bara. Hasilnya, perbedaan mencolok ditemukan antara rencana transisi kedua negara ini.
Sustainable Finance Taxonomy Australia sangat mementingkan komitmen dan strategi dekarbonisasi berbasis ilmiah untuk industri tambang dan pengolahannya, sementara TKBI justru lebih toleran—bahkan masih memberikan ruang untuk pemanfaatan PLTU batu bara. Perbedaan yang signifikan ini sangat disayangkan, mengingat keduanya selama ini sama-sama ditopang dari bisnis batu bara. Jika Australia bisa memiliki rencana transisi energi yang hijau, Indonesia seharusnya juga mampu meninggalkan PLTU batu bara.
Perbandingan taksonomi hijau Australia dan Indonesia, diolah oleh Energy Shift Institute (2025)
Sustainable Finance Taxonomy Australia melabeli sektor tambang, pengolahan mineral, dan sektor penghasil emisi tinggi sebagai kegiatan ‘transisi’ hanya ketika industri tersebut memiliki strategi dekarbonisasi—penurunan emisi—yang kredibel dan berbasis ilmiah. Selain itu, seluruh kegiatan dan fasilitas yang masih menggunakan PLTU batu bara, meskipun terintegrasi dengan kawasan industri, tidak akan dikategorikan sebagai kegiatan transisi atau hijau.
Sementara itu, TKBI masih mengizinkan kegiatan yang menggunakan listrik dari PLTU batu bara dilabeli sebagai ‘transisi’. Meski tanpa verifikasi bukti nyata pengurangan emisi, suatu kegiatan atau proyek di Indonesia masih akan memperoleh label transisi jika telah memenuhi regulasi dalam negeri dan memiliki komitmen dekarbonisasi.
Perbedaan yang mencolok juga terlihat dari standar yang digunakan kedua negara ini. Sustainable Finance Taxonomy Australia mensyaratkan aktivitas transisi harus selaras dengan skenario 1,5°C dan menggunakan kerangka Net Zero Emissions dari International Energy Agency (IEA) serta peta jalan sektoral dari Science Based Targets initiative (SBTi).
Sementara taksonomi Indonesia lebih mengacu pada regulasi dalam negeri (seperti PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup), yang mungkin belum sejalan dengan standar iklim global. Hal ini berisiko mengizinkan aktivitas dengan ambisi emisi rendah yang tidak sesuai dengan target 1,5°C.
Menurut ESI, Indonesia seharusnya memiliki pendekatan taksonomi hijau yang menyerupai Australia. Sebab, keduanya kini sama-sama menghadapi tuntutan yang semakin tinggi dari investor global yang peduli dengan penurunan emisi, serta semakin ketat dalam mendefinisikan investasi industri hijau.
Proses revisi taksonomi yang sedang berjalan perlu menjadi momentum bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan evaluasi dan memperkuat pendekatan yang lebih hijau.