Muara Enggelam, Mandiri Energi Desa Tanpa Daratan dari PLTS Komunal
Michelle Clysia • Penulis
30 Januari 2024
49
• 4 Menit membaca

Muara Enggelam merupakan sebuah desa terpencil di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim). Desa tersebut berpenduduk 700 jiwa dengan 174 kepala keluarga (KK).
Meski pelosok, Desa Muara Enggelam menjadi percontohan (role model) dalam pengelolaan listrik bertenaga surya secara mandiri. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di desa yang jarak tempuhnya 95 kilometer (km) dari Samarinda itu dikelola secara komunal oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat, bernama KLIK ME atau Kelola Listrik Komunal Muara Enggelam.
Keberadaan PLTS memudahkan warga yang selama ini terisolir aliran listrik beraktivitas. Pasalnya, letak geografis desa tersebut berada di tepi sisi Barat Danau Melintang yang jauh dari daratan.
Ketua Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Muara Enggelam, Doni Oni mengatakan, sebelum sukses memanfaatkan bantuan PLTS senilai Rp4 miliar dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), warga Muara Enggelam lebih dulu menggunakan generator set (genset), pemberian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar.
“Lantaran biaya perawatan yang mahal, genset hanya mampu digunakan saat malam hari saja,” katanya dikutip Mongabay, Jumat, 8 September 2023.
Salah satu pengurus BUMDes Bersinar Desaku, Ramsyah mengaku, mesin genset tidak ramah lingkungan. Mesin mengeluarkan asap hitam dan deru keras yang membisingkan warga ketika beroperasi dari jam 06.00–18.00 WITA setiap hari.
“Ada empat unit (genset) yang tersebar di 4 RT (Rukun Tetangga). Kalau ada satu genset rusak, maka tiga lainnya menopang listrik di wilayah RT yang gelap. (Kalau rusak) perbaikan satu mesin bisa berhari-hari” ungkapnya.
Permasalahan lain yang kerap ada saat menggunakan genset adalah tunggakan retribusi warga yang tidak menutupi harga beli bahan bakar minyak (BBM) solar. Setiap kepala keluarga wajib membayar iuran Rp10 ribu per hari, yang jika diakumulasikan pengeluaran mereka mencapai Rp300 ribu per bulan.
“Satu mesin memerlukan solar 15 liter seharga Rp67.500. Kalau pakai (bahan bakar) minyak (solar), mesin hanya kuat sampai tengah malam,” ujar Ramsyah.
Dengan perhitungan tersebut, biaya pengeluaran per hari mencapai Rp270 ribu untuk keempat genset atau sekitar Rp8,1 juta per bulan hanya untuk kebutuhan bahan bakar.
Bagi Ramsyah, angka tersebut cukup mahal jika dibandingkan–dengan biaya yang sama bagi masyarakat perkotaan–ketika menggunakan listrik dari PLN selama 24 jam.
“(Di desa ini) tidak ada kulkas maupun AC. Hanya kipas angin dan TV, itu pun kalau punya. Puluhan tahun kami merasakan sulitnya mendapat listrik. Tidak ada gunanya peralatan elektronik (di sini karena tidak termanfaatkan dengan baik pasokan listriknya),” akunya.
Nasib warga berubah setelah kabar Desa Muara Enggelam mendapatkan bantuan 150 unit panel surya dari Kementerian ESDM pada tahun 2014.
“Kami langsung membuat panggung untuk wadah panel ukuran 20 x 20 meter dengan tinggi tinggi 15 meter. Arahnya, menghadap matahari. Untuk baterai dan regulator, kami buatkan rumah khusus, di samping panggung panel,” jelas Ramsyah.
Setelah itu, warga bisa menikmati listrik dengan leluasa sepanjang hari dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal yang resmi beroperasi satu tahun kemudian atau pada 2015.
Listrik dari PLTS tersebut mengaliri 160 rumah yang masing-masing mendapatkan jatah 30 kilowatt-peak (kWp) seharga Rp3 ribu per hari.
“Lalu kami menambah jatah aliran listrik menjadi 43,5 kWp (pada tahun 2021, karena ada penambahan panel surya sebanyak 45 unit pada 2018), yang juga difungsikan untuk fasilitas umum seperti masjid, penerangan jalan, puskesmas, dan sekolah,” jelasnya sebagaimana dilaporkan Harian Haluan.
Setelah pengoperasian, Pemerintah Desa (Pemdes) Muara Enggelam pun membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan PLTS. Dalam perdes tersebut mengatur biaya retribusi dan perawatan.
Mengacu aturan itu, iuran warga setempat untuk PLTS hanya Rp100 ribu per bulan. Biaya itu merupakan akumulasi perhitungan dari Rp3 ribu dengan kuota 30 KWp per hari.
“Ini murah sekali. Hasil retribusi dipakai untuk biaya operasional, perawatan, hingga gaji operator, dan teknisi. Juga, ditabung untuk mengganti peralatan yang rusak, semisal baterai,” papar Ramsyah.
Pendapatan BUMDes melalui KLIK ME mampu meningkatkan perekonomian setempat. Dari catatannya, per Desember 2021, penerimaan dari PLTS Komunal mencapai Rp1,7 miliar.
Ramsyah berharap pemerintah dapat menambah perangkat panel PLTS di Desa Muara Enggelam. Cita-cita itu senapas dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 mengenai Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Apalagi, aksi mereka menjadi bagian dalam upaya pemenuhan target nol bersih emisi (Net Zero Emission/NZE) tahun 2060 atau lebih cepat di Indonesia.