Tantangan Industri Mobil Listrik  dan Potensi Nikel di Indonesia

Novaeny Wulandari Penulis

26 Februari 2024

total-read

8

4 Menit membaca

Tantangan Industri Mobil Listrik  dan Potensi Nikel di Indonesia

Pasar mobil listrik atau Electric Vehicle (EV) di Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesales mobil listrik nasional mencapai 17.062 unit pada periode Januari-Desember 2023, meningkat sebesar 65,22 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 10.327 unit. 

Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto  menyatakan kontributor utama dalam pertumbuhan ini adalah Hyundai Ioniq 5, yang menjadi mobil listrik terlaris di Indonesia pada tahun 2023 dengan penjualan sebanyak 7.176 unit. Diikuti oleh Wuling Air EV dengan penjualan sebanyak 5.575 unit. Kedua model tersebut mendapatkan diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pemerintah, dengan menurunkan tarif pajak dari 11 persen menjadi hanya 1 persen, karena memenuhi syarat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.

Menurut Jongkie Secara umum, terdapat potensi peningkatan penjualan mobil listrik nasional melebihi angka penjualan tahun sebelumnya. Namun, terlihat bahwa mencapai target penjualan hingga 200.000 unit per tahun dalam waktu dekat tampaknya sulit bagi industri mobil listrik nasional. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa harga mobil listrik di Indonesia masih terlalu tinggi bagi sebagian besar konsumen. 

“Sebagian besar masyarakat Indonesia mampunya membeli mobil dengan harga Rp 300 juta ke bawah,” jelas Jongkie dikutip Kontan, 16 Februari 2024. 

Pertumbuhan ini merupakan langkah positif dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, masih ada tantangan besar lainnya yang  menghadang di depan. Lembaga think tank keuangan energi, Energy Shift Institute (Energy Shift), menyoroti ironi di balik pertumbuhan industri mobil listrik. Meskipun Indonesia merupakan salah satu pemain utama dalam penguasaan sumber daya nikel, yang merupakan bahan utama dalam produksi baterai kendaraan listrik secara global, namun kapasitas produksi baterai EV di Indonesia jauh tertinggal dari eksploitasi nikel itu sendiri.

Energy Shift Institute (Energy Shift) memperkirakan bahwa Indonesia hanya akan memiliki kapasitas produksi baterai sebesar 10 gigawatt-hour (GWh) tahun ini, atau kurang dari 0,4 persen dari kapasitas global sebesar 2.800 GWh. Dengan perkiraan bahwa kapasitas produksi global akan meningkat dua kali lipat menuju tahun 2030, menjadi sangat jelas bahwa Indonesia tertinggal jauh di belakang, meskipun produksi nikelnya telah meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015.

Sementara itu, produksi nikel Indonesia mencapai 49 persen dari total produksi global pada tahun 2022 dan diperkirakan terus meningkat hingga mencapai 70 persen pada tahun 2040. Produksi nikel Indonesia pada tahun 2023 mencapai 1,8 juta metrik ton (MT), sementara Tiongkok, yang mendominasi pasar baterai EV di Asia, hanya memproduksi 110 ribu ton nikel.

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menekankan bahwa meskipun produksi nikel Indonesia telah meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015, namun kapasitas produksi baterai EV masih jauh tertinggal. Namun, ada optimisme bahwa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan ini.

“Produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mengikuti perkembangan pasar KBLBB. Sedangkan di Indonesia, adopsi kendaraan listrik masih lamban. Hal itu dianggap menjadi permasalahan utama dalam pengembangan baterai EV di Indonesia, ujar Putra seperti dikutip Medcom.id Jumat 16 Februari 2024.

Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia, Bahlil Lahadalia, memperkirakan bahwa produksi baterai untuk mobil listrik dapat mencapai 100 gigawatt-hour (GWh), cukup untuk memenuhi kebutuhan 1,7 juta mobil listrik.

“Mungkin pada tahun 2027 akan diproduksi kurang lebih 100 gigawatt atau setara dengan 1,7 juta mobil listrik,” tutur Bahlil seperti dikutip Antara 16 Februari 2024. 

Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa Indonesia telah berhasil menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memproduksi baterai untuk mobil listrik. Saat ini, kapasitas produksi baterai untuk mobil listrik di Indonesia mencapai sekitar 10 GWh, cukup untuk memenuhi kebutuhan 170 ribu mobil listrik. 

Indonesia memiliki cadangan bijih nikel yang cukup besar, mencapai 4,5 miliar ton, dengan sebagian 90 persen terdapat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Pada tahun 2019, Indonesia juga menjadi produsen tambang bijih nikel terbesar di dunia dengan produksi mencapai 2.668.000 ton Ni.

Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah ini dan komitmen pemerintah untuk mendukung industri mobil listrik, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri ini di tingkat global. Namun, diperlukan upaya lebih lanjut dalam pengembangan infrastruktur, investasi dalam riset dan pengembangan, serta kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga penelitian untuk mengatasi tantangan dan mewujudkan visi transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

#mobil-listrik#nikel#transisi-energi

Populer

Terbaru