Membedah Klaim Bahlil Soal Sulitnya Transisi Energi Sesuai Perjanjian Paris
Robby Irfany Maqoma • Penulis
04 Februari 2025
6
• 6 Menit membaca

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengungkapkan kerisauannya terhadap partisipasi Indonesia dalam Perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah diteken hampir seluruh negara di dunia sebagai komitmen bersama mencegah dampak terburuk perubahan iklim.
Sikap Bahlil menyusul langkah Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump yang mundur dari perjanjian tersebut dengan dalih melindungi kepentingan nasional. Alasan yang sama pun digunakan Bahlil, terutama dalam urusan transisi energi.
Bahlil mengklaim transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan sangat mahal bila dibandingkan energi fosil—khususnya batu bara. Begitu juga dengan rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Menurut dia, opsi ini sulit dilakukan karena tak kunjung didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan.
Pernyataan Bahlil berlawanan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang ingin memensiunkan PLTU hingga 15 tahun mendatang. Selain itu, pada tahun yang sama, Presiden juga berniat menambah kapasitas listrik energi terbarukan sebanyak 75 gigawatt (GW).
Selain kontradiktif, kebenaran ucapan Bahlil juga patut dipertanyakan. Bukti dari sejumlah studi sebenarnya justru menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai transisi energi sesuai skenario dalam Perjanjian Paris, bahkan pada 2040.
Namun, alih-alih berusaha mencapai target dan memperbaiki berbagai hambatan, Bahlil justru mengemukakan pesimisme terhadap pelaksanaan Perjanjian Paris.
Apa benar PLTU lebih murah?
Klaim Bahlil bahwa energi fosil lebih murah sebenarnya cukup meragukan. Biaya pembangkitan PLTU di Indonesia memang tercatat lebih murah. Studi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) menghitung levelized cost of electricity (LCoE) PLTU sebesar US$4,59-11,85 sen per kilowatt jam (kwh) pada 2020—tergantung jenisnya. LCoE menghitung ongkos operasional, teknologi, biaya bahan bakar, dan sebagainya selama masa pakai.
Kendati demikian, perhitungan LCoE tidak menghitung biaya sebenarnya dari pengadaan batu bara sebagai bahan bakar. Saat ini Indonesia menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) yang membatasi harga pembelian batu bara sebesar US$70 per ton.
Hasil perhitungan IESR soal biaya pembangkitan PLTU dengan tiga teknologi berbeda dan tiga harga batu bara berbeda. (Subc: PLTU subcritical, SuperC: PLTU supercritical, dan USC: PLTU ultrasupercritical). Sumber: IESR.
Jika kebijakan DMO dicabut, studi tersebut menghitung LCoE PLTU sebenarnya bisa melampaui US$10 sen per kwh. Bahkan, pada Juni 2022—saat harga batu bara mencapai U`S$324 per ton, LCoE PLTU bisa menyentuh US$16 sen per kwh.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dari LCoE pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada 2020 sebesar US$4,09-10,09 sen per kwh. Murahnya PLTS terutama berasal dari ketiadaan biaya bahan bakar dalam pembangkit tersebut.
Selain DMO, pemerintah juga secara tidak langsung mengalokasikan subsidi tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga 450-900 VA untuk menghidupi operasional PLTU. Ini belum dihitung kompensasi yang harus dibayarkan negara ke PLN apabila tarif listrik tidak dinaikkan.
Subsidi energi fosil muncul karena 60% listrik Indonesia dihasilkan dari PLTU. Analisis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memaparkan negara membayarkan mencapai US$8 miliar atau sekitar Rp123 triliun untuk subsidi dan kompensasi kepada PLN yang masih sangat bergantung pada batu bara.
Jumlah subsidi listrik dan kompensasi yang terhitung sebagai pendapatan PLTN selama 2017-2022. Selama kurun waktu tersebut, jumlahnya terus meningkat. (Sumber: PLN diolah IEEFA)
Selain aspek teknis dan keekonomian, masih ada juga komponen lainnya yang belum dimasukkan pemerintah dalam menghitung biaya sebenarnya dari pembakaran batu bara, seperti biaya kesehatan dan pelepasan CO2.
Laporan Greenpeace pada 2019 menyatakan bahwa biaya sebenarnya dari PLTU mencapai U$140 per megawatt jam atau sekitar US$14 sen per kWh. Argumen senada juga menjadi salah satu rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendorong negara-negara menghitung biaya batu bara berdasarkan ongkos sosial, kesehatan, dan lingkungannya.
Pensiun dini PLTU tak mustahil
Sejumlah studi telah berkontribusi dalam menavigasi arah pensiun dini PLTU yang selaras dengan komitmen Perjanjian Paris. Studi oleh IESR bersama University of Maryland, misalnya, menggarisbawahi bahwa seluruh PLTU dapat disuntik mati pada 2040. Ini pun termasuk PLTU captive di kawasan industri yang menjadi batu sandungan transisi energi Indonesia.
Studi yang terbit pada 2024 tersebut memaparkan langkah komprehensif dengan melibatkan strategi interkoneksi (penyambungan antarjaringan) dan penambahan kapasitas energi terbarukan hingga 11,2 GW hingga 2040. Energi surya menjadi salah satu tulang punggung pengganti batu bara, dengan kontribusi kapasitas sebesar 4,2 GW pada waktu tersebut.
Arah senada juga menjadi rekomendasi dari analisis terbaru organisasi think-tank Ember. Analisis ini menyarankan Indonesia mengakhiri kapasitas PLTU dalam jaringan PLN setidaknya 3 GW setiap tahun hingga 2040. Kapasitas listrik yang hilang dapat ditambal dengan membangun lebih banyak panel surya dan turbin angin, dilengkapi dengan baterai hingga 16 GW untuk menjaga stabilitas pasokan listrik. Studi Ember pun masih selaras dengan target energi terbarukan dan penambahan kapasitas listrik pemerintah pada 2040.
(Infografis oleh Robby Irfany Maqoma)
Pelaksanaan rencana ambisius untuk mengakhiri era PLTU di Indonesia memang tak murah. Kurang lebih biayanya mencapai US$97 miliar (Rp1.581 triliun atau hampir separuh dari APBN 2025). Namun, selalu ada jalan untuk mencari pendanaan hijau di tengah tren transisi energi dunia saat ini, misalnya melalui Coal to Clean Credit Initiative (CCCI) inisiatif sejumlah lembaga filantropi untuk mengakhiri pembakaran batu bara.
Melampaui Perjanjian Paris
Menggenjot transisi energi melalui pengakhiran batu bara tak hanya terkait pemenuhan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris. Pasalnya, meski dielu-elukan pemerintah, pengoperasian PLTU juga menjadi penyebab masalah sosial dan lingkungan di Indonesia.
Dari aspek kesehatan masyarakat, pensiun dini PLTU merupakan upaya menghindari 182 ribu kasus kematian akibat polusi dan biaya kesehatan sebesar US$130 miliar di masa depan. Emisi berlebih akibat PLTU juga bisa dikurangi sehingga mencegah risiko krisis iklim yang dapat menyebabkan defisit beras bagi 26,6 juta orang di akhir abad mendatang.
Transisi energi juga merupakan bentuk upaya perbaikan (corrective action) pemerintah yang memaksakan percepatan pembangunan PLTU sejak 2006 di tengah melimpahnya sumber energi terbarukan Indonesia. Apalagi pada saat itu perencanaan PLTU dilakukan tanpa mitigasi dampak lingkungan, sosial, kesehatan, dan ekonomi yang memadai.
Pengakhiran PLTU juga dapat memangkas biaya subsidi dan kompensasi tak langsung terhadap PLTU. Angka penghematannya bisa mencapai $34,8 miliar (Rp547 triliun) hingga akhir operasi PLTU. Uang tersebut bisa digunakan untuk mendanai pembangunan PLTS hingga 36,9 GW—dengan asumsi ongkos pembangunan sebesar US$0,9 juta per MW—melebihi separuh dari skenario ideal pengembangan PLTS Indonesia hingga 2040 versi EMBER.
Terakhir, pengakhiran PLTU juga akan mengurangi pelepasan emisi Indonesia secara signifikan. Per 2022, pembangkitan listrik menghasilkan 40% emisi (296 juta ton setara CO2/MTCO2e) dari total emisi sektor energi sebesar 727 MTCO2e. Pengakhiran PLTU dapat memangkas 61% emisi sektor pembangkitan listrik menjadi 115 MTCO2e pada 2040.
Langkah besar-besaran, segera
Indonesia tak punya banyak waktu untuk merealisasikan komitmen transisi energi yang sejalan dengan upaya global memangkas suhu Bumi 1,5°C pada 2030. Rating aksi iklim Indonesia saat ini sudah masuk ke peringkat terburuk—terutama karena gencarnya pembangunan PLTU.
Ada tiga langkah yang perlu dilakukan pemerintah secara paralel.
Pemerintah perlu segera merampungkan peta jalan pengakhiran PLTU yang sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris. Langkah ini juga harus dibarengi upaya pencarian dana luar negeri agar pemensiunan PLTU bisa sesuai target. Negara juga berpeluang mendanai pensiun dini PLTU melalui penerapan pajak karbon.
Upaya berikutnya adalah mengatasi berbagai hambatan untuk masuknya energi terbarukan dalam sistem kelistrikan. Langkah ini turut mencakup pengembangan proyek energi terbarukan untuk menggantikan listrik dari PLTU yang berakhir. Perlu juga untuk merombak kebijakan seperti sistem kuota untuk PLTS, kewajiban kandungan dalam negeri, hingga tarif energi terbarukan agar lebih memikat investor.
Terlepas dari ada atau tidaknya Perjanjian Paris, pemerintah Indonesia tetap wajib mengoreksi kesalahannya di masa lalu dengan segera menerbitkan kebijakan transisi energi terbarukan yang lebih berkeadilan. Kelambanan bertindak akan memicu segudang permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan baru akibat pencemaran dan krisis iklim.