Potensi Besar Pajak Kekayaan Mendanai Transisi Energi Berkeadilan

Sita Mellia Penulis

19 Februari 2025

total-read

10

6 Menit membaca

Potensi Besar Pajak Kekayaan Mendanai Transisi Energi Berkeadilan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan salah satu dari sekian banyak lembaga yang terkena pemangkasan anggaran. Jumlahnya sekitar Rp1,6 triliun. Kebijakan ini dianggap berisiko melemahkan fungsi pengawasan Kementerian ESDM terhadap laju transisi energi di Indonesia.

Pemerintah seharusnya menghindari risiko-risiko yang dapat mengganggu kecepatan transisi energi. Pasalnya, upaya dekarbonisasi sektor energi yang konstan—tetapi juga massif di saat yang bersamaan—amat dibutuhkan dan mendesak untuk membatasi kenaikan suhu global yang telah melampaui batas aman 1,5°C dalam Perjanjian Paris. 

Situasi inilah yang seharusnya mendorong pemerintah memperkuat tata kelola transisi energi sekaligus memastikan pendanaan, alih-alih melakukan penghematan. Upaya ini dapat dilakukan pemerintah melalui penyediaan sumber pendanaan khusus untuk transisi energi, salah satunya melalui melalui pajak kekayaan yang menyasar orang-orang dengan nilai aset super besar.

Mengapa kelompok super kaya?

Selain untuk memastikan pendanaan transisi energi, pajak kekayaan juga layak diterapkan sebagai bentuk ‘kompensasi’ atas pelepasan karbon dari aktivitas orang-orang super kaya.

Kelompok super kaya merupakan kelompok yang paling bertanggung jawab terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca. Studi OXFAM di tahun 2022 menunjukkan, 125 miliarder terkaya di dunia menyumbang 3 juta ton CO₂ per tahun melalui investasinya. Emisi tersebut sejuta kali lebih banyak dibanding emisi rata-rata yang dihasilkan dari 90% populasi di level bawah. 

Di Indonesia, orang-orang super kaya—yang jumlahnya sekitar 1% dari total penduduk, memiliki jejak karbon sebesar 42,2 ton per kapita. Jejak mereka jauh melampaui rata-rata jejak karbon masyarakat berpendapatan terbawah dan menengah yakni masing-masing 1,4 dan 3,5 ton per kapita.  

Separuh dari 50 orang terkaya di Indonesia pun memiliki bisnis pertambangan. Bisnis ini merupakan sektor yang intensif karbon dan lekat dengan kerusakan lingkungan. 

Korban terbesar dari kerusakan ini adalah masyarakat miskin yang hidup di sekitar daerah pertambangan. Di desa dekat fasilitas pengolahan mineral, misalnya, masyarakat menanggung beban biaya kesehatan yang besar, dengan kerugian tahunan yang berisiko mencapai US$3,42 miliar atau Rp55,6 triliun rupiah pada 2030.

Tingginya pelepasan karbon juga memperparah bencana akibat krisis iklim. Lagi-lagi, masyarakat menengah ke bawah dengan sumber daya yang terbatas menjadi kelompok paling merugi karena tak bisa banyak beradaptasi dengan beraneka jenis cuaca ekstrem hingga kenaikan muka air laut.

Masjid Wal Adhuna yang tenggelam akibat banjir rob selama bertahun-tahun, di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara. Meski kawasan ini ditutup oleh tanggul raksasa setinggi 2 meter, banjir tetap terjadi. Fenomena di kawasan Muara Baru menjadi bukti bahwa tanggul laut atau giant sea wall hanya solusi sementara, yang tidak menyelesaikan masalah perubahan iklim. (Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace)

Bagaimana potensinya?

Jika negara mau memberlakukan pajak kekayaan, kerugian sosial-ekonomi masyarakat terdampak pelan-pelan bisa dibayar. Berdasarkan hitungan CELIOS (2024), memajaki 1 dari 2 triliuner di antara 50 orang terkaya tersebut dapat menyumbang pajak kekayaan sebesar Rp2,3 ribu triliun. 

Per tahunnya, total penerimaan dari memajaki 50 orang triliuner adalah Rp. 81,6 triliun. Jika pemerintah memberlakukan pajak kekayaan bagi 50 orang terkaya sejak tahun ini, maka penerimaannya dapat berkontribusi 30% kebutuhan dana transisi energi yang membutuhkan setidaknya Rp4000 triliun hingga 2040. 

Di sisi lain, pajak kekayaan juga memungkinkan PLTU batubara pensiun lebih cepat—termasuk biaya pemensiunan PLTU Cirebon-1 senilai US$ 1,3 miliar (Rp 21 triliun) yang sempat tertunda. Melalui penerapan pajak kepada 50 triliuner sejak 2025, Indonesia dapat mengakhiri operasi PLTU Cirebon-1 pada 2027-2028—lebih cepat dari rencana semula yakni 2035.

Angka tersebut juga dapat mengkompensasi kerugian ekonomi di ketiga provinsi penyimpan mineral terbesar, yaitu Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah, yang telah mengalami penurunan PDB di tahun ke-sembilan pembangunan smelter nikel.  Selain itu, pajak kekayaan juga berpeluang digunakan untuk menambal kas daerah seperti Kalimantan Timur dan Sumatra selatan. Kedua provinsi ini berisiko terdampak transisi energi karena berkurangnya penggunaan batu bara dapat memengaruhi pendapatan daerah.  

Pajak kekayaan geng negara maju

Indonesia perlu melirik bagaimana progresifnya pajak kekayaan negara anggota OECD. OECD memiliki tiga negara yang mengenakan pajak kekayaan bersih yang mencakup properti dan kekayaan finansial, yakni Norwegia, Spanyol, dan Swiss. 

Swiss, negara dengan sistem perpajakan terbaik keempat di OECD telah mengenakan pajak kekayaan sejak tahun 1840 sebagai sumber utama pendapatan hingga Perang Dunia Pertama. Semua negara bagian di Swiss memberlakukan pajak kekayaan dengan tarif 0,05% – 0,45%, dengan basis saldo aset bruto di seluruh dunia dikurangi utang. Aset-aset yang dilaporkan ialah saldo rekening bank, obligasi, saham, asuransi jiwa, mobil, kapal, pesawat terbang, properti atau real estate, dan aset berharga lainnya seperti lukisan dan perhiasan.

Sementara itu, pajak properti yang dikenakan di Swiss ialah nilai properti—jumlah uang yang dikeluarkan individu untuk membayar properti dikurangi utang yang belum dibayar. Tarif pajak properti di Swiss adalah 0,02% – 0,3%, bergantung pada nilai properti, lama kepemilikan, dan kota lokasi properti. 

Selain itu, pemilik properti di Swiss juga wajib membayar pajak keuntungan properti, pajak pengalihan properti, dan pajak nilai sewa. Sementara aset rumah tangga umum, real estate asing, dan kekayaan pensiun swasta dikecualikan dari pajak kekayaan. Pajak properti di Swiss berhasil berkontribusi 7,3% terhadap pendapatan, lebih tinggi dari rata-rata negara-negara OECD yaitu 5,6%.

Pundi-pundi penerimaan

Potensi penerimaan negara bahkan bisa lebih besar jika negara tidak hanya memberlakukan pajak kekayaan, tetapi juga pajak berkelanjutan. Studi Celios di tahun 2024 menunjukkan, dengan mengenakan kombinasi pajak karbon, pajak produksi batu bara, pajak windfall, dan pajak orang super kaya 2%, potensi penerimaan bisa mencapai 222,78 hingga 241,62 triliun per tahun—angka yang sangat cukup untuk mendanai transisi energi sekaligus sebagai pertanggungjawaban sosial perusahaan tambang terhadap warga terdampak.

Total penerimaan dari akumulasi pajak karbon, pajak windfall, pajak produksi batu bara, dan pajak orang super kaya. (Sumber: CELIOS, Infografis: Sita Mellia)

Indonesia dapat mencontoh salah satu negara anggota OECD yang telah menerapkan pajak windfall pada sektor energi fosilyakni Republik Ceko. Republik Ceko mengenakan pajak 60% pada perusahaan di sektor energi dan bahan bakar fosil, yang memiliki omzet tahunan minimal CZK 2 miliar. Pajak ini juga dikenakan pada perbankan dengan pendapatan bunga bersih pada tahun 2021 minimal 6 miliar CZK.

 

Butuh komitmen kuat

Dalam forum KTT G20 di Brasil akhir tahun 2024 lalu, Presiden Prabowo menyebut bahwa kekayaan yang hanya dinikmati sedikit orang adalah resep negara gagal. Pernyataan ini sayangnya masih jauh panggang dari api.

Pajak—sebagai salah satu instrumen keadilan sosial—di Indonesia hari ini belum progresif dan cenderung membebani kelas menengah maupun kelompok miskin. Indonesia pun belum memiliki aturan pajak kekayaan (wealth tax), melainkan baru mengenakan pajak pendapatan (income tax), yakni pengenaan tarif PPh (pajak penghasilan) 35% kepada orang berpenghasilan di atas Rp 5 miliar.

Untuk membalik keadaan tersebut, pemerintah dapat memulai tarif pajak kekayaan di angka 0,05% hingga 2%, seperti yang didorong oleh OECD dan G20. Pada pertemuan  di Rio de Janeiro pada Juli 2024, para menteri keuangan G20 sepakat untuk mengenakan pajak minimal 2% kepada kelompok super kaya. 

Dukungan masyarakat sipil di Indonesia terhadap pajak kekayaan pun sudah menyentuh 80%. Selain itu, di saat yang sama, mereka juga mendesak pemerintah untuk segera mengambil upaya mitigasi perubahan iklim, menurut survei IPSOS Global di tahun 2024.   

Kini, Indonesia hanya membutuhkan kemauan politik dan komitmen dari para pengambil kebijakan untuk mengenakan pajak kekayaan dan pajak progresif lainnya sehingga transisi energi berkeadilan bisa tercapai. 

Editor: Robby Irfany Maqoma

#keadilan-iklim#pajak-kekayaan#transisi-energi#transisi-energi-berkeadilan

Populer

Terbaru