Refleksi Transisi Energi Indonesia 2025: Banyak Ambisi, Salah Aksi

Robby Irfany Maqoma Penulis

29 Desember 2025

total-read

3

6 Menit membaca

Refleksi Transisi Energi Indonesia 2025: Banyak Ambisi, Salah Aksi

Pada awal 2025, Presiden Prabowo Subianto sempat mengklaim bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang termaju di dunia dalam hal transformasi energi, termasuk energi terbarukan. Ia menyatakan akan terus mendorong transformasi tersebut melalui banyak hal, misalnya swasembada energi.

 

Pernyataan tersebut merupakan salah satu di antara banyak rencana besar yang digaungkan Prabowo untuk transisi energi Indonesia. Sebelumnya, ia menginginkan kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bisa diakhiri hingga 15 tahun mendatang, dan mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun.

 

Tapi, berkaca dari realita saat ini, mencapai ambisi Prabowo tak ubahnya punguk merindukan bulan. Per November 2025, transisi energi Indonesia masih berjalan lambat: pembangkit listrik energi terbarukan hanya 15,47 gigawatt (GW) atau sekitar 14,4% dari bauran energi nasional. Capaian tersebut kemungkinan besar meleset dari target sebesar 15%. Selain itu, alih-alih mengakhiri PLTU, Indonesia justru menambah kapasitasnya, sekitar 1,1 GW. Sebanyak 6,3 GW PLTU baru pun akan dibangun hingga 2034 mendatang.

 

Kontrasnya ambisi dan realita ini seakan menyiratkan bahwa transisi energi Indonesia bergerak ke arah yang salah. Dan sederet kebijakan yang diterbitkan pemerintah sepanjang 2025 justru memperparah risiko transisi energi pada tahun-tahun berikutnya.

 

Transisi energi tanpa mengakhiri batu bara

Ambisi transisi energi Indonesia menjadi paradoks ketika pemerintah tak mendukungnya dengan rencana pengakhiran PLTU. Harapannya, berkurangnya kapasitas PLTU bisa memantik peluang-peluang investasi energi terbarukan seperti surya, angin, laut, hingga mikrohidro lebih banyak lagi.

 

Seretnya dukungan pengakhiran PLTU terlihat dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 yang baru bisa diakses publik pada awal 2025 silam. RUKN lebih memilih menggunakan coal phase-down atau penurunan kontribusi batu bara secara bertahap, bukannya pengakhiran. RUKN merencanakan PLTU terus menghasilkan listrik secara dominan hingga 2035.

 

Peningkatan kapasitas hingga 2035 tersebut disumbang oleh ekspansi PLTU captive, yang memasok listrik di sentra pengolahan mineral. Angkanya tak tanggung-tanggung, yakni mencapai 20 gigawatt (GW) alias setara dengan hampir dua kali lipat kapasitas PLTU captive Indonesia pada 2023, yakni 11,2 GW.

 

Pendekatan pembangunan PLTU yang ada pun terlihat sangat ekspansif, dengan mengunci dominasi PLTU melalui peningkatan kapasitas yang jorjoran dalam lima tahun ke depan. Ini terbukti dari upaya pemerintah mendahulukan penambahan PLTU sebesar 4,1 GW hingga 2030 dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Begitu pula dengan pembangkit bertenaga gas yang akan begitu besar penambahannya, sebesar 9,9 GW dalam periode yang sama. 

 

Mendahulukan pembangunan pembangkit energi fosil akan memperkuat sandungan infrastruktur (infrastructure lock-in) karena investasi pembangkit ini sangat besar dan mencakup berbagai fasilitas seperti pelabuhan, terminal gas, dan sebagainya. Alhasil, keberadaan pembangunan ini akan membuat pemerintah berpikir dua kali dalam menggenjot energi terbarukan, setidaknya setelah 2030.

 

Keengganan beralih dari pembangkit energi fosil semakin berisiko terjadi melalui terbitnya Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan pada April 2025.  Dalam kebijakan ini, pemerintah memprioritaskan pertimbangan teknis dan ekonomi, misalnya pendanaan, umur teknis PLTU, dan efisiensi operasional. Faktor lingkungan justru berada di prioritas terbawah, di tengah PLTU yang menjadi biang keladi perubahan iklim dan menyebabkan kematian dini jutaan orang di seluruh dunia.

 

Sikap pemerintah juga kian kentara melalui tiga rencana pemerintah menurunkan kontribusi PLTU secara bertahap. Melalui strategi bernama repurposing, Indonesia menjaga operasional sejumlah PLTU melalui fleksibilitas operasi (penurunan kontribusi PLTU dalam sistem kelistrikan) dan penggunaan teknologi rendah emisi. Padahal, teknologi rendah emisi, misalnya penangkapan karbon, justru berisiko tidak efektif meredam kerusakan lingkungan akibat PLTU dan membuat tarif listrik lebih mahal. Parahnya lagi, strategi ini termuat dalam rencana investasi Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP), yang sejak awal dirancang sebagai kemitraan dari negara-negara maju untuk mengakhiri operasional PLTU di Indonesia.

 

Berbagai kebijakan tersebut juga didukung oleh tata kelola energi fosil saat ini yang sarat dengan subsidi. Kebijakan Energi Nasional (KEN) baru yang terbit pada September 2025 masih membiarkan kebijakan subsidi energi fosil yang memakan ratusan triliun rupiah setiap tahun. Dengan dalih ketersediaan dan keterjangkauan energi, dan berbagai dukungan seperti diskon harga batu bara domestik, insentif pajak, hingga subsidi dan kompensasi tarif listrik, KEN seakan menjadi basis pemerintah untuk melegitimasi dukungannya terhadap energi fosil.

 

Tantangan fundamental energi terbarukan

Masifnya dukungan terhadap energi fosil melemahkan sokongan negara untuk pengembangan energi terbarukan. Misalnya, pengembangan energi terbarukan untuk skala bisnis dan industri juga terhambat karena Indonesia masih memusatkan kontrol energi kepada PT PLN.

 

Sejak 2024, koalisi bisnis RE100 yang berminat menggunakan 100% energi terbarukan untuk operasional mereka sudah meminta Indonesia melegalkan praktik pemanfaatan jaringan PLN untuk memasok listrik energi terbarukan ke fasilitas perusahaan (power wheeling). Koalisi bahkan menghitung skema tersebut, selain mempercepat pengembangan energi terbarukan berskala besar, juga dapat menambah kebutuhan modal PLN, termasuk perkiraan US$5 miliar yang dibutuhkan setiap tahun untuk pembangkit listrik. Selain itu, sumber dana ini bisa menutup kekurangan investasi US$146 miliar demi memenuhi target iklim Indonesia pada 2030 mendatang.

 

Namun hingga kini, gayung tak kunjung bersambut karena anggapan sempit bahwa “listrik harus dikuasai negara melalui PLN”. Di sisi lain, PLN yang menguasai pasar justru memiliki sistem listrik yang disokong oleh pembangkit energi fosil. 

 

Persoalan tersebut juga menjadi penyebab mengapa pengesahan Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) tak kunjung menemui kata sepakat. Padahal, naskah legislasi itu sudah dibahas DPR bersama pemerintah sejak lebih dari satu dekade silam.

 

Sementara itu, pengembangan energi terbarukan berskala kecil di tingkat komunitas memiliki tantangan tersendiri. Soal ini, Prabowo sebenarnya mengungkapkan targetnya menghidupi desa dengan 100% energi surya. Namun, karena target tersebut tidak berangkat dari partisipasi masyarakat yang bermakna, pelaksanaannya justru berpotensi menemui banyak tantangan. Di tingkat desa, pengembangan energi surya setidaknya 1 megawatt yang menjadi target Prabowo sulit terlaksana karena anggaran tak cukup. Belum lagi persoalan sumber daya manusia untuk pembangunan dan perawatan yang memerlukan banyak pelatihan dan pendampingan. 

 

Menaksir 2026

Sulit untuk menakar transisi energi Indonesia tahun 2026 akan cerah apabila kita mengacu pada serangkaian kebijakan dan program pemerintah yang tak tentu arah. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini justru adalah kejelasan kebijakan untuk mengakhiri dominasi energi fosil dan dukungan negara terhadapnya, sembari menguatkan dukungan kebijakan, pendanaan, dan investasi untuk energi terbarukan.

 

Pemerintah harus berani mengambil langkah krusial merevisi berbagai kebijakan yang terbit pada 2025. Ini bisa dimulai dengan menetapkan jadwal pengakhiran operasional PLTU secara definitif. Dominasi energi fosil harus dikurangi dengan menghentikan berbagai bentuk subsidi dan insentif fiskal yang selama ini memanjakan batu bara, lalu mengalihkan sumber daya tersebut untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan.

 

Selain itu, keberhasilan transisi ini sangat bergantung pada keberanian negara untuk mendemokratisasi tata kelola energi. Monopoli pusat perlu mulai dikurangi dengan membuka jalur legal bagi dunia usaha untuk terlibat langsung dalam pasar energi bersih. Indonesia pun perlu memastikan masyarakat di tingkat akar rumput tidak hanya menjadi penonton, melainkan pelaku utama dalam pengelolaan energi berbasis komunitas.

 

Tanpa sinkronisasi antara pengakhiran energi fosil, penguatan dukungan energi terbarukan, dan keterlibatan publik yang bermakna, target swasembada “energi hijau” Prabowo hanya akan menjadi narasi tak berdasar yang gagal menjawab krisis iklim.

Populer

Terbaru